JAKARTA, GRESNEWS.COM - Ada-ada saja gaya yang dilakukan terdakwa kasus korupsi wisma atlet dan pencucian uang dalam pembelian saham PT Garuda Indonesia M Nazaruddin dalam upayanya "mengamankan" proyek-proyek bagi perusahaan yang dipimpinnya. Mantan Bendahara Umum Partai Demokrat itu, selain menggunakan jalur kekuasaan, juga menggunakan cara-cara "rayuan" kepada pejabat pemegang proyek yang diincarnya.

Salah satunya adalah dengan men-entertainment pejabat Kementerian Kesehatan untuk mendapatkan proyek berbagai proyek di sana. Hal itu terungkap dalam persidangan terhadap Nazaruddin, hari ini, Rabu (3/2) di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta.

Dalam persidangan itu terungkap, dalam melakukan pendekatan terhadap pejabat Kemenkes, Nazaruddin juga sangat gigih. Buktinya, tercatat setidakna 160 kali Nazaruddin memberikan berbagai "hadiah" kepada pejabat Kemenkes dan juga anggota DPR.

Hal itu terungkap dari kesaksian Direktur Marketing PT Anugrah Nusantara Minarsih. Dia mengaku pernah diperintah atasannya Muhammad Nazaruddin untuk melobi anggota DPR dan pejabat Kemenkes terkait anggaran proyek pengadaan alat kesehatan.

"Tugas saya salah satunya melakukan pendekatan dengan pihak Depkes dan Komisi IX. Kalau mengenai mendekati pihak Depkes, sesuai perintah Nazar, mendatangi pihak Kemenkes untuk nawarin paket pekerjaan," kata Minarsih di persidangan.

Untuk melobi DPR, Minarsih mengaku berhubungan dengan anggota DPR Komisi IX dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Rudianto Tjen dan anggota Badan Anggaran DPR Tamsil Linrung. "Saya ketemu Rudi Tjen (Rudianto Tjen-red) sama Tamsil (Linrung-red). Tamsil Banggar," kata Minarsih.

Minarsih menjelaskan, pertemuan itu dilangsungkan tidak hanya sekali. Dengan Rudianto, kata Minarsih, dia melakukan 2-3 kali pertemuan. Sedangkan dengan Tamsil Linrung, disebutnya malah sering bertemu. Hal ini pun menarik perhatian jaksa, terkait apa sebenarnya yang dibicarakan dalam pertemuan tersebut.

"Kita menemui hanya untuk menyampaikan ada program-program di Kemenkes, apa ada yang bisa dibantu. Saya ketemu di gedung DPR. Ketemu Rudi 2-3 kali. Kalau ketemu Tamsil sering. Saya temui mereka atas perintah Pak Nazar. Hanya menyampaikan apakah ada program mengenai Alkes yang bisa dianggarkan," kata Minarsih.

Selain itu, Minarsih juga mengakui bahwa dirinya juga bertemu dengan pejabat Kementerian Kesehatan dalam hal ini Sekertaris Jenderal (Sekjen) Kemenkes kala itu, Ratna Rosita. Namun, Minarsih mengaku tidak membahas proyek secara rinci ketika pertemuan itu.

"Jadi kita menyampaikan ke beliau ingin ikut berperan serta bermain dalam pengadaan Kemenkes. Kita sebagai distributor Alkes ingin berkontribusi dalam pengadaan Alkes di Kemenkes. Artinya kita ingin ikut lelang. Rosita bilang, ya silakan aja. Memang kita enggak bicara detail soal proyek. Dia bilang, kamu temuin pejabat yang berwenanglah," pungkasnya.

Kemudian, Jaksa Kresno membacakan Bukti Pemeriksaan Acara (BAP) milik Minarsih bahwa ada 160 kali pemberian baik kepada DPR maupun Kemenkes. "Itu saya ditunjukkan penyidik total pengajuan kas. Ada yang sudah direalisasi ada yang belum. Kalau yang belum, Pak Nazar waktu itu bilang ´ntar dulu aja´," imbuh Minarsih.

Minarsih menerangkan, anak buah Nazaruddin langsung bekerja setelah mengetahui ada alokasi anggaran Kemenkes. Tim dari perusahaan Nazar langsung menawarkan diri menjadi penyedia alkes ke rumah sakit. "Pertama, kita dapat info awal dari RS mengenai kebutuhan alkes, kedua kita kenal vendor sehingga vendor tersebut memberi penawaran harga ke tim kami," sambungnya.

PT Anugrah Nusantara mendapatkan proyek vaksin flu burung pada tahun 2009. Sedangkan pada tahun 2010, pengadaan alkes di sejumlah rumah sakit berhasil didapatkan PT Anugrah Nusantara yang punya beberapa anak perusahaan. "(Keuntungan)  20-40 persen dari nilai penawaran vendor," sebut Minarsih.

Nazaruddin didakwa menerima 19 lembar cek senilai Rp 23,11 miliar dari PT Duta Graha Indah dan uang tunai Rp17,25 miliar dari PT Nindya Karya. Pemberian-pemberian ini merupakan imbalan (fee) karena Nazaruddin mengupayakan PT DGI dalam mendapatkan beberapa proyek pemerintah tahun 2010 yaitu proyek pembangunan gedung di Universitas Udayana, Universitas Mataram, Universitas Jambi, Badan Pendidikan dan Pelatihan Ilmu Pelayaran (BP2IP) Surabaya tahap 3, RSUD Sungai Dareh Kabupaten Darmasraya, gedung Cardiac RS Adam Malik Medan, Paviliun RS Adam Malik Medan, RS Inspeksi Tropis Surabaya, RSUD Ponorogo.

Serta imbalan karena Nazaruddin sudah mengupayakan PT Nindya Karya dalam mendapatkan proyek pembangunan Rating School Aceh serta Universitas Brawijaya tahun 2010.

KONTROL LANGSUNG - Dalam persidangan itu juga terungkap kalau Nazaruddin sangat ketat mengontrol jalannya proyek yang telah didapatkan melalui perusahaannya. Hal itu diungkapkan Yulius Usman, bekas anak buah Nazaruddin di PT Pacific Putra Metropolitan, anak perusahaan PT Anugrah Nusantara

Yulius mengungkapkan, untuk urusan bisnis proyek garapan, Nazaruddin sangat getol melakukan kontrol. Pengawasan pelaksanaan proyek bahkan tetap dilakukan Nazaruddin saat buron pada tahun 2011 hingga ditangkap dan menjalani proses hukum. "Selama dalam pelarian pernah," kata Yulius di persidangan.

Namun Yulius tak tahu dimana Nazaruddin saat memimpin rapat via Skype. "Saya nggak tahu waktu itu dia di Singapura apa Kolombia. Biasanya menanyakan kemajuan," imbuh Yulius.

Yulius yang pernah jadi Dirut PT Pacific Putra Metropolitan ditugaskan khusus mengumpulkan spesifikasi teknis untuk kebutuhan pengadaan peralatan kesehatan di sejumlah rumah sakit. "Hanya sebatas spek RS jadi apa aja yang dibutuhkan RS, kira-kira seperti apa, klas A,B,C," sebutnya

Dokumen spesifikasi teknis ini kemudian diberikan ke rumah sakit yang merencanakan pengadaan peralatan kesehatan. Namun Yulius tak tahu menahu kelanjutan proses pengadaan. "Jadi kita siapin sebelum project berjalan," ujarnya.

Soal rapat via Skype juga dibenarkan Clara Mauren, yang pernah bekerja sebagai marketing di PT Anugrah Nusantara. "Itu hanya sekali, waktu itu Beliau (Nazaruddin) mau ke Kolombia. Tidak ada pelaporan (pekerjaan proyek) sih waktu saya hadir," ujarnya.

Selain lewat Skype, rapat bersama Nazaruddin juga dilakukan di rutan. "Rapat pertama di Mako (Mako Brimob) dulu baru rutin di Cipinang. Yang hadir sama seperti rapat rutin, jadi pas di rutan karena kita tidak ada pekerjaan hanya progress sisa pekerjaan. Di cipinang mamang ada pekerjaan yang harus kita cari lagi," paparnya.

Rapat ini menurut Clara digelar di ruang Karutan. "Ruang karutan. Saya nggak tahu (diperbolehkan karutan atau tidak, red), tinggal masuk aja," ujar dia. Rapat tersebut membahas pekerjaan yang akan digarap perusahaan Nazaruddin termasuk persoalan yang dihadapi. "Pekerjaan yang akan datang dan masalah yang dihadapi," kata Clara.

Namun dia tidak mengetahui ada tidaknya rapat serupa saat Nazaruddin berada di Sukamiskin. "Saya sudah keluar tahun 2012," ujar Clara.

CUCI UANG, BELI ASET - Dengan memegang banyak proyek yang pengadaannya berasal dari APBN, Nazaruddin memang sangat banyak mengumpulkan uang. Dana hasil "bisnis haram" itu oleh Nazaruddin tidak semuanya disimpan dalam bentuk dana tunai. Ada juga sebagian yang dibelikan aset tertentu dengan tujuan untuk mengaburkan dana yang diduga berasal dari hasil kejahatan itu.

Dugaan itu muncul karena Nazaruddin kerap membeli aset dengan menggunakan nama orang lain seperti anak buahnya. Pengakuan ini disampaikan bekas anak buah Nazaruddin, Marisi Matondang, di persidangan. Marisi yang dulunya bekerja sebagai office boy sebelum diberi jabatan Direktur di PT Mahkota Negara ini memang menyebut aset yang dimiliki Nazaruddin mulai dari tanah dan bangunan, unit rusun, gedung dan perkebunan kelapa sawit. "Saya ketahui dari Pak Nazar dan salah satu asetnya ada nama saya," kata Marisi.

Nama Marisi digunakan Nazar untuk membeli bangunan perkantoran di City Square, Blok E/10, Jalan Jenderal Sudirman, Pekanbaru. "Terus dialihkan Pak Nazar ke atas nama Haji Rahmat," sebutnya. Namun ruko tersebut, sambung Marisi, sudah diagunkan ke bank untuk mendapatkan modal membeli 17 mobil tangki.

Ada juga aset bangunan PT Inti Karya Plasma Perkasa di Pekanbaru yang kepemilikannya diatasnamakan Marisi. "Tapi 2012 sudah disita KPK," imbuhnya. Marisi menegaskan kepemilikan aset yang diatasnamakan dirinya merupakan perintah langsung dari atasannya. Marisi memang sudah lama ikut bekerja dengan Nazar sejak tahun 2002. "Pak Nazar," katanya.

Penggunaan nama anak buah sambung Marisi juga dilakukan Nazar saat membeli ruko di Bekasi. "Atas nama Gerhana (Gerhana Sianipar)," ujar dia Dalam persidangan, Marisi menjelaskan dirinya sebagai staf PT Mahkota Negara ditugaskan Nazar untuk memantau seluruh lelang proyek di Indonesia terutama di Jakarta. "Pada 2006 baru dibuat (posisi) saya jadi komisaris," sebutnya.

Perjalanan bisnis Nazaruddin berkembang pada tahun 2006 sejak mendirikan PT Anugrah Nusantara. "Kita sudah mulai dapat proyek awalnya di Departemen Kelautan, proyek pengadaan simulator. Kita hanya disuruh ikut saja, ikut lelang, ngga tahu Pak Nazar gimana (caranya sehingga) kita menang. Pada tahun 2007 kita dapat banyak proyek di Diknas," imbuh Marisi. (dtc)

BACA JUGA: