JAKARTA, GRESNEWS.COM - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak lagi "mengistimewakan" mantan Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Hadi Purnomo. Mereka membuka peluang kembali mengeluarkan Surat Perintah Penyidikan (Sprindik) baru kepada mantan Direktur Jenderal Pajak itu.

"Sprindik baru itu salah satu yang jadi opsi yang sedang dipertimbangkan," kata Pelaksana Harian (Plh) Kabiro Humas KPK, Yuyuk Andriati saat dikonfirmasi, Selasa (28/6).

Pernyataan Yuyuk ini berawal atas putusan Mahkamah Agung (MA) yang menolak langkah hukum KPK berupa Peninjauan Kembali (PK) atas gugatan praperadilan Hadi Purnomo pada Pengadilan Negeri, Jakarta Selatan beberapa waktu lalu.

Saat ditanya kapan langkah itu akan diambil, Yuyuk belum bisa menjawabnya. Sebab saat ini pihaknya belum menerima salinan putusan secara lengkap tentang perkara ini. Setelah menerima salinan, tim biro hukum KPK akan menelaah terlebih dahulu sebelum membuat keputusan.

"KPK belum terima salinan putusan. Kami akan diskusikan dulu di internal mengenai hal ini," pungkas Yuyuk.

Sebelumnya,Juru Bicara MA, Suhadi menyatakan, putusan PK yang diajukan KPK dibacakan Majelis Hakim Agung pada 16 Juni 2016 lalu di Majelis Hakim Agung yang diketuai Salman Luthan dengan anggota Hakim Agung Sri Wahyuni dan Hakim Agung MS Lume menilai KPK sebagai jaksa tidak dapat mengajukan PK.

Hal itu berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) nomor 33/PUU-XIV/2016 mengenai uji materi Pasal 263 (1) UU nomor 8 tahun 1981 tentang KUHAP. "Benar (PK KPK ditolak). Tanggal 16 Juni tahun 2016. Putusan tidak dapat diterima karena jaksa tidak boleh mengajukan PK berdasarkan putusan MK," kata Suhadi saat dikonfirmasi awak media, Selasa (28/6).

Suhadi beralasan putusan MK dapat dijadikan dasar putusan MA, meskipun baru dibacakan pada Kamis (12/5) lalu walaupun memori PK diajukan KPK sejak setahun lalu. Hal ini lantaran putusan mengenai PK Hadi Poernomo baru dibacakan setelah adanya putusan MK. "Belum diputuskan bisa diterapkan yang baru," kata Suhadi.

Selain putusan MK, ada alasan lain mengapa PK yang diajukan KPK ini ditolak majelis. Alasannya, ada Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) yang menyebut PK tidak dapat dilakukan atas putusan pada sidang praperadilan.

"Kalau putusan MK kan jaksa tidak boleh PK. Kalau Surat Edaran Mahkamah Agung karena PK itu milik terdakwa dan ahli waris jadi putusan praperadilan tidak boleh PK," tutur Suhadi.

BEDA PERLAKUAN - Sikap KPK yang ketika itu memilih mengajukan PK atas praperadilan yang dimenangkan Hadi Purnomo memang terlihat berbeda dengan sikap yang ditunjukkan kepada Walikota Makassar, Ilham Arief Sirajuddin. Ilham, setelah memenangkan praperadilan kembali ditetapkan sebagai tersangka.

Dan hasilnya, Ilham Arief terbukti bersalah secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi terkait kerjasama dalam pengelolaan dan transfer instalasi Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) di Makassar sejak 2007 hingga 2013.

"Terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi bersama-sama," kata Ketua Majelis Hakim, Tito Suhut, Senin (29/2).

Alhasil, Ilham dihukum penjara selama 4 tahun dan denda Rp100 juta subsider 1 bulan. Selain itu ia juga dijatuhkan hukuman tambahan berupa uang pengganti sebesar Rp150 juta dari hasil uang korupsi yang dinikmatinya.

Dan dari informasi yang diterima gresnews.com, banding yang diajukan KPK ke Pengadilan Tinggi DKI Jakarta atas putusan ini telah keluar. Dan Ilham Arief, ditambah hukumannya menjadi 6 tahun, atau naik 2 tahun dari vonis pengadilan tingkat pertama.

Sayangnya saat dikonfirmasi mengenai hal ini, Humas PT DKI Jakarta, Heru Pramono dan juga Pelaksana harian Kepala Biro Humas KPK Yuyuk Andriati belum menanggapi hal ini.

Sementara untuk Hadi Purnomo, KPK memilih mengajukan PK ke MA atas putusan tersebut. Padahal, dalam beberapa peraturan disebut bahwa PK hanya bisa dilakukan oleh terdakwa, keluarga, ataupun ahli waris dan tidak ada kriteria penuntut umum yang disebutkan dapat mengajukan PK.

Salah satu tim hukum KPK Anatomi Mulyawan membeberkan alasan pengajuan permohonan PK di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Menurut dia, ada dalil-dalil dalam ‎putusan praperadilan Hadi Poernomo yang melebihi permohonannya. Dalil tersebut juga dinilai bertentangan dengan Undang-undang KPK.

"Secara substansi kita menyampaikan bahwa putusan hakim praperadilan dalam perkara Hadi Poernomo itu salah satu dalilnya over ke kita. Jadi melebihi permintaan karena KPK dinyatakan harus menghentikan penyidikan dan itu bertentangan dengan Undang-undang KPK. Pointnya itu doang," ujar Anatomi usai sidang PK di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Rabu 9 September 2015.

Anatomi menjelaskan, permohonan PKatas putusan praperadilan merupakan hal yang sah. Hal itu juga berdasarkan sejumlah putusan Mahkamah Agung (MA) yang menerima permohonan PK dalam beberapa kasus.

"Bahwa permohonan PK terhadap putusan praperadilan itu dalam praktik diakui. Karena kita menemukan ada beberapa putusan Mahkamah Agung yang menerima permohonan PK," ucap dia.

Selain alasan itu, KPK juga menyebut adanya surat edaran yang dikeluarkan MA memperbolehkan seseorang atau pihak-pihak tertentu mengajukan gugatan PK apabila ada kekeliruan dalam putusan praperadilan.

"Kemudian ada juga Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 tahun 2014 yang memperbolehkan diajukannya PK terhadap putusan kalau ada kekeliruan. Jadi dasar itulah yang kita gunakan untuk mengajukan PK," papar Anatomi.

LEWAT TIGA KEPEMIMPINAN - Kasus Hadi Purnomo ini memang cukup menarik. Perkara melewati tiga kepemimpinan komisioner KPK yang dimulai dari Abraham Samad, Pelaksana tuga Taufiequrrachman Ruki, dan saat ini Agus Rahardjo.

Hadi menjadi tersangka pada 21 April 2014 lalu ketika kepemimpinan Abraham Samad. Kemudian dalam proses praperadilan hingga kalah dan mengambil langkah hukum PK pada 30 Juli 2015 lalu adalah di era Taufiequrrachman Ruki. Dan penolakan PK terjadi di era Agus Rahardjo.

Seperti diketahui Pengadilan Negeri Jakarta Selatan mengabulkan gugatan atas penetapan tersangka Hadi yang dilakukan KPK. Dalam putusannya, Hakim Haswandi menyatakan bahwa penyelidikan dan penyidikan yang dilakukan KPK terhadap Hadi batal demi hukum dan harus dihentikan.

Pasalnya, penyelidik dan penyidik KPK yang saat itu bertugas mengusut kasus mantan Direktur Jenderal Pajak ini sudah berhenti tetap dari kepolisian dan kejaksaan.

Dalam kasus yang menjeratnya ini, Hadi selaku Dirjen Pajak periode 2002-2004 diduga mengubah telaah Direktur Pajak Penghasilan mengenai keberatan SKPN PPh BCA. Surat keberatan pajak penghasilan 1999-2003 itu diajukan BCA pada 17 Juli 2003 terkait non-performance loan (NPL atau kredit bermasalah) senilai Rp5,7 triliun kepada Direktur PPh Ditjen Pajak.

Setelah penelaahan, diterbitkan surat pengantar risalah keberatan dari Direktur PPh pada 13 Maret 2004 kepada Dirjen Pajak dengan kesimpulan bahwa permohonan keberatan wajib pajak BCA ditolak.

Namun, satu hari sebelum jatuh tempo untuk memberikan keputusan final BCA pada 18 Juli 2004, Hadi memerintahkan agar Direktur PPh mengubah kesimpulan, yaitu dari semula menyatakan menolak diganti menjadi menerima semua keberatan.

Hadi kemudian mengeluarkan surat keputusan Dirjen Pajak yang memutuskan untuk menerima semua keberatan wajib pajak sehingga tidak ada cukup waktu bagi Direktur PPh untuk memberikan tanggapan atas kesimpulan yang berbeda itu. Atas penerimaan keberatan itu, negara dirugikan senilai Rp375 miliar.

BACA JUGA: