JAKARTA, GRESNEWS.COM – Pemilihan umum legislatif pada 2014 lalu ternyata masih menyisakan persoalan. Permasalahannya bukan di Mahkamah Konstitusi (MK) atau Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), namun antara Frans Katha Palayukan, calon anggota legislatif, dan salah seorang yang diduga tim suksesnya, Immanuel Ope Manting.

Frans, pensiunan anggota Polri berpangkat brigadir jenderal, saat itu maju sebagai calon legislatif dari Partai Gerindra. Ia melaporkan Immanuel dengan tuduhan menggelapkan dana yang diberikannya saat pelaksanaan Pileg 2014 lalu senilai Rp6,2 miliar.

Jaksa Penuntut Umum sudah mendakwa Immanuel dengan Pasal 372 KUHP karena diduga melakukan penggelapan uang. "Perbuatan terdakwa telah merugikan saksi Frans Katha Palayukan dan diancam pidana dalam Pasal 378 KUHPJo. Pasal 64 Ayat (1) KUHP dan Pasal 372 KUHP Jo. Pasal 64 Ayat (1)," kata Jaksa Rumondang Sitorus dalam pembacaan dakwaannya beberapa waktu lalu di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

Perkara itu berawal saat Frans mendaftarkan diri sebagai calon anggota legislatif dari Partai Gerindra Dapil Sulawesi Selatan III pada 2014. Niat itu didiskusikannya kepada Baharudin Hakim, staf DPR di Senayan. Diskusi tersebut berlanjut dengan penawaran Baharudin untuk mempertemukan Frans dengan salah seorang pegawai negeri sipil (PNS) di Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) yang saat itu diperbantukan di Kantor KPU Pusat, Immanuel Ope Manting.

Dalam pertemuan itu, Frans bercerita seputar pencalonannya sebagai caleg DPR Dapil III Sulsel. Terhadap keluhan Frans, Immanuel berjanji akan membantu Frans sampai menjadi anggota DPR. Menurut pengakuan Immanuel, dirinya  telah berhasil membantu salah seorang anggota DPR periode 2009-2014.

Pada pertemuan selanjutnya sekitar September 2013 di Restoran American Grill, Pondok Indah Mall, Jakarta Selatan, tercapai kesepakatan antara Frans Katha Palayukan dan Immanuel Ope Manting. "Poin perjanjian itu, Frans memberikan uang senilai Rp5.712.085.000,- (lima miliar tujuh ratus dua belas juta delapan puluh lima ribu rupiah) dengan imbalan Immanuel akan membantu suara untuk Frans sebanyak 100.000 (seratus ribu)," kata Rumondang.

Namun saat penghitungan suara, Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengumumkan perolehan suara Frans hanya  sebanyak 11.677 suara. Merasa ditipu karena Immanuel tidak memenuhi janjinya sedangkan Frans sudah menyerahkan uang untuk biaya pengurusan bahkan sampai kepada pendaftaran gugatan sengketa di MK. Atas dasar itu, Frans mengadukan Immanuel kepada Polda Metro Jaya dengan tuduhan melakukan penggelapan uang.

BUKAN PIDANA TAPI PERBUATAN MELAWAN HUKUM - Kuasa hukum terdakwa, Sidik, menyatakan dakwaan jaksa tidak beralasan. Pasalnya, dalam perkara a quo, terdapat perjanjian antara terdakwa dengan saksi H. Frans Katha Palayukan, akan membantu perolehan suara sebanyak 100.000 (seratus ribu) suara, dengan cara mensosialisasikan dan mengawal suaranya di PPS, sampai ke KPU. Padahal Immanuel merupakan PNS yang tidak diperbolehkan menjadi tim sukses sesuai prinsip netralitasnya.

"Dalam perkara ini terdakwa juga merupakan korban bujuk rayu oknum calon anggota legislatif yang bergelimang harta dan kuasa sehingga membuat terdakwa lupa akan statusnya sebagai ASN/PNS," kata Sidik kepada gresnews.com, Jumat (29/4).

Kerena itu, kata Sidik, Jaksa tidak cermat dalam membuat dakwaannya dengan mendakwa melakukan penggelapan uang. Menurutnya perjanjian yang terdakwa buat dengan Frans batal demi hukum karena kliennya sebagai PNS yang sedang bekerja di KPU dan tidak boleh berpolitik.

"Karena itu perjanjian yang terdakwa buat dengan saksi Frans batal demi hukum," tutur Sidik. Jika demikian maka perolehan uang yang didapatkan terdakwa dari saksi H. Frans Katha Palayukan tidak ada unsur penggelapan sebagaimana didakwakan jaksa.

Bahkan Sidik menyatakan perbuatan terdakwa tersebut bukanlah perbuatan penggelapan melainkan suatu perbuatan melawan hukum berupa penyalahgunaan jabatan dan melanggar prinsip netralitas PNS. "Perbuatan terdakwa bukan merupakan suatu tindak pidana melainkan suatu perbuatan melawan hukum," ujar Sidik.

BACA JUGA: