JAKARTA, GRESNEWS.COM - Penetapan tersangka mantan petinggi Lippo Group Eddy Sindoro oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) diliputi misteri. Lembaga antirasuah itu hingga sekarang sangat tertutup memberikan informasi terkait kasus ini.

Sebenarnya keanehan KPK dalam mengusut kasus yang melibatkan Eddy Sindoro bukan kali ini saja. Eddy diketahui pernah dicegah pada 28 April 2016 untuk enam bulan ke depan, yang berarti berakhir pada 27 Oktober 2016. Tetapi setelah, masa pencegahan selesai, KPK tidak pernah lagi menginformasikan apakah status pencegahan itu diperpanjang atau tidak.

Hal itu kembali berlanjut pada penetapan status Eddy Sindoro sebagai tersangka. Status ini diketahui dari surat tuntutan Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Edy Nasution. Jaksa KPK dalam surat tuntutan itu menyebut ada barang bukti yang disita untuk perkara lain atas nama Eddy Sindoro.

"Itu kan kemarin sudah dikatakan (jaksa) di persidangan ya. Karena sudah dikatakan bahwa sebagian yang disita itu adalah untuk dijadikan alat bukti kasus yang lain," kata Wakil Ketua KPK Laode M. Syarif saat dikonfirmasi perihal tersebut di Gedung KPK Jakarta, Selasa (22/11).

Dikonfirmasi kapan sprindik Eddy diteken pimpinan KPK, Syarif enggan membuka secara detail. Ia justru menyebut, setiap penetapan tersangka tidak perlu dipublikasikan. Hal itu karena Edy tidak berada di Indonesia dan sedang dicari oleh KPK.

"(Sprindik ditandatangani) sebelum jaksa-jaksa kami sidang. Hmm tidak harus diumumkan semua," pungkas Syarif.

PERTARUHAN KREDIBILITAS - Tertutupnya informasi mengenai penetapan tersangka Eddy Sindoro ini memang menjadi pertanyaan tersendiri. Sebab biasanya KPK selalu mengumumkan status seseorang sebagai tersangka jika dalam proses hukumnya telah naik ke tingkat penyidikan.

Apalagi dalam UU KPK juga mengatur adanya akuntabilitas serta transparansi kepada publik. Setidaknya ada dua aturan hukum yang menjadi dasar, pertama Pasal 5 dan Pasal 20 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK.

Ahli Hukum Pidana Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar mengaku bingung mengapa KPK begitu tertutup memberi informasi kepada publik hanya dalam hal penetapan tersangka. Sebab menurut Fickar, hal seperti ini, selain menjadi pertanyaan tersendiri juga bisa mempengaruhi kredibilitas Agus Rahardjo cs.

"Azas keterbukaan dan akuntabilitas yang menjadi urat nadi KPK tidak terlihat dan jelas kredibilitas KPK sangat dipertaruhkan dalam perkara Eddy Sindoro ini," kata Fickar kepada gresnews.com, Selasa (29/11).

Tak hanya itu, Fickar juga menganggap KPK bisa saja melanggar aturannya sendiri yaitu Pasal 5 dan dan Pasal 20 UU Nomor 30 Tahun 2002. Dan hal ini tentu saja bertolak belakang dengan apa yang dilakukan KPK selama ini terutama perihal transparansi tentang seorang tersangka.

Menurut Fickar, sikap aneh KPK memang sudah terlihat dalam beberapa perkara korupsi sebelumnya seperti dalam kasus suap reklamasi di Teluk Jakarta. Hingga sekarang, kasus ini sendiri baru melibatkan dua-tiga orang.

Pertama Mohamad Sanusi yang merupakan Ketua Komis D DPRD DKI Jakarta, kemudian bos PT Agung Podomoro Land Ariesman Widjaja serta asistennya Trinanda Prihantoro. Padahal dalam fakta persidangan beberapa pihak lain diduga juga tirut terlibat salah satunya bos PT Agung Sedayu Grup, Sugianto Kusuma alias Aguan.

"Sebenarnya sudah terlihat dari kasus lain. Saya merasa aneh kenapa pencegahan Aguan tidak diperpanjang padahal namanya sudah ada dalam fakta persidangan," terang Fickar.

Selain itu ada juga nama lain seperti Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaya Purnama atau Ahok. "Nama Ahok juga ada, tapi tindak lanjutnya sekarang gimana? kan gak jelas," pungkas Fickar.


TEBANG PILIH - Hal senada juga dikatakan peneliti Indonesia Legal Rountable Erwin Natosmal Oemar. Menurut Erwin, saat ini KPK terkesan tebang pilih dalam menghadapi beberapa kasus korupsi terutama yang melibatkan nama besar atau pun petinggi penegak hukum.

"Coba bagaimana saat ini kasus suap PT Brantas itu yang diduga melibatkan Kajati DKI (Jakarta)? kita gak tahu kelanjutannya seperti apa," tutur Erwin kepada gresnews.com.

Sama halnya, kata Erwin saat KPK mengusut kasus Eddy Sindoro. Sikap tertutup lembaga antirasuah ini patut dipertanyakan. "Ini kan Eddy Sindoro juga diduga melibatkan korporasi besar seperti Lippo Grup, kenapa harus tertutup seperti ini?" terangnya.

Erwin menjelaskan, salah satu kelebihan KPK daripada lembaga penegak hukum lain adalah tentang transparansi serta akuntabilitas. Dan sikap KPK yang "menutupi" perkara ini selain melanggar asas juga bisa mengecewakan masyarakat.

"KPK sudah dianggap rumah oleh masyarakat. Tetapi akhir-akhir ini justru sikap mereka dalam menangani perkara malah tertutup, kan masyarakat jadi bertanya-tanya ada apa sebenarnya," ujar Erwin.

KPK, jelas Erwin di era Agus Rahardjo juga berbeda dari periode-periode sebelumnya terutama dalam penanganan perkara. Dan hal ini sangat riskan menuai dugaan adanya kepentingan tertentu yang menunggangi lembaga antirasuah.

"Sejak awal terpilih pun kita sudah sanksi. Dan perkiraan kita sekarang ternyata tidak meleset," kata pria yang juga tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil ini.

BACA JUGA: