JAKARTA, GRESNEWS.COM – Proses seleksi Hakim Agung oleh Komisi Yudisial (KY) yang dimulai hari ini, Senin (28/3) mendapat sorotan dari para pegiat hukum. Koordinator Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MaPPI) Choky Ramadhan mengatakan, proses seleksi hakim agung yang dilakukan oleh KY harus disesuaikan dengan kebutuhan hakim agung dan jumlah perkara yang ditangani oleh MA.

Tidak hanya itu, Choky menilai, proses seleksi hakim agung oleh KY masih bersifat sangat konvensional. Dalam arti, KY bekerja berdasarkan permintaan yang disampaikan oleh Mahkamah Agung (MA) atas dasar adanya kekosongan kursi hakim agung di lingkungan MA. Seharusnya, lanjut Choky, KY selaku lembaga tinggi yang bertugas mengawasi kode etik hakim dan memiliki kewenangan dalam melakukan seleksi hakim agung juga bisa berperan lebih aktif dalam melihat kebutuhan hakim agung di lingkungan MA saat ini.

"Ini penting agar KY tidak hanya sebatas menjadi penerus apa yang dibutuhkan oleh MA saja tanpa melihat kebutuhan yang sesungguhnya, sehingga yang ada nanti proses seleksi hakim agung akan sebatas prosedur saja," kata Choky kepada gresnews.com, Senin (28/3).

Lebih jauh ia sampaikan, jika merujuk pada ketentuan Undang-Undang Mahkamah Agung (UU MA) dan Undang-Undang Komisi Yudisial (UU KY) penentuan diadakannya seleksi calon hakim agung ketika terdapat hakim agung yang akan memasuki masa pensiun, meninggal dunia, dan komposisi jumlah hakim agung dan jumlah beban perkara dalam setiap kamar yang dibutuhkan.

"Seharusnya MA dan KY itu bisa lebih memprioritaskan kebutuhan hakim agung dengan melihat produktivitas dalam penanganan perkara dalam setiap kamarnya. Jadi tidak hanya sebatas menunggu hakim pensiun saja," tuturnya.

Ia mengisahkan, pada tahun 2013, jumlah hakim agung di MA ada 50 hakim agung, sementara jumlah beban perkara yang masuk pada tahun itu sebanyak 22.449 perkara, atau rata-rata setiap hakim agung minimal menangani sekitar 449 perkara pertahun. Namun, dalam praktiknya, di tahun itu jumlah perkara yang selesai ditangani hanya 16.034 perkara, atau rata-rata setiap hakim agung secara produktivitas hanya mampu menyelesaikan sekitar 321 perkara.

Hal yang serupa juga terjadi di tahun 2014. Total hakim agung di tahun 2014 justru berkurang menjadi 49 orang, dengan beban perkara 18.926 perkara, atau sekitar 386 beban perkara yang harus ditanggung setiap hakim agung. Namun, kenyataannya di tahun itu lagi-lagi penanganan perkara oleh hakim agung tidak sesuai yang diharapkan, sepanjang tahun itu para hakim agung hanya mampu menyelesaikan sebanyak 14.501 perkara, atau setiap hakim agung rata-rata hanya mampu menyelesaikan sekitar 295 perkara.

Belum lagi di tahun 2015. Di tahun itu jumlah hakim agung tercatat berjumlah 52 Hakim, sementara total beban perkara yang masuk ke MA sebanyak 18.402 perkara, atau rata-rata beban perkara yang harus diselesaikan oleh per hakim agung sekitar 353  perkara. Namun, sayangnya, total perkara yang dapat diputuskan pada tahun lalu hanya sebanyak 14.452 perkara, atau sepadan dengan produktivitas rata-rata 277 perkara per-hakim agung.

"Itu artinya kebutuhan hakim agung seharusnya juga menjadi perhatian oleh KY dan MA. MA sesuai dengan undang-undang menyampaikan kebutuhan kepada KY. KY selaku lembaga yang berwenang melakukan rekrutmen harus lebih bisa berperan aktif dalam proses seleksi hakim agung yang harus disesuaikan dengan kebutuhannya itu," pungkasnya.

FOKUS KUALITAS DAN INTEGRITAS – menanggapi desakan tersebut, Komisioner KY Farid Wajdi mengatakan, pihaknya sangat menghargai masukan atau kritikan yang membangun dari masyarakat terkait dengan proses seleksi perekrutan hakim agung. Kendati demikian, ia membantah jika KY hanya menjalankan kinerja atau tugas-tugasnya sebatas prosedural semata dalam proses rekrutmen dan seleksi calon Hakim Agung yang saat ini dibutuhkan oleh MA.

"Tentu saja dalam setiap proses rekrutmen sebisa mungkin diupayakan untuk menjawab kebutuhan riil yang ada, bukan hanya sekadar mengisi kekosongan (procedural) saja," kata Farid Wajdi kepada gresnews.com.

Ia pun mengaskan, KY sebagai salah satu lembaga yang berwenang dalam proses rekrutmen Calon Hakim Agung (CHA) itu tidak akan menjadi lembaga seperti yang dikhawatirkan oleh masyarakat luas dalam menjalankan kewenangannya terkait proses rekrutmen dan seleksi calon hakim agung tersebut. "KY bukan hanya menjadi kotak suara MA saja," tegasnya.

Menurutnya, meskipun dalam UU Mahkamah Agung, MA dapat meminta kuota hakim agung sesuai dengan kebutuhan kamar penanganan perkara yang dibutuhkan kepada KY, KY juga dapat mengajukan calon yang sesuai dengan standar uji kelayakan pada lembaganya sendiri. Tidak hanya itu, Farid menambahkan, jika dalam proses seleksi yang dilakukan oleh KY, seluruh kandidat calon hakim agung tidak ada yang lolos uji sesuai standar, KY tidak akan meluluskan calon hakim tersebut, meskipun kuota kamar yang dibutuhkan oleh MA masih kosong.

"Apapun komentar yang datang, kami tetap berpendirian bahwa hanya calon yang layak secara kualitas dan integritas-lah yang akan lulus dari kami. Dan kebijakan seperti itu pernah dilakukan di KY periode 2, dan akan tetap dilanjutkan pada periode ini. Sekalipun ada kekosongan kursi hakim agung, tetap saja tidak ada alasan untuk memaksa penuhi kuota," pungkasnya.

Untuk diketahui, hari ini KY baru saja memulai proses uji seleksi Calon Hakim Agung (CHA) yang diminta oleh MA beberapa waktu lalu. Berdasarkan data Komisi Yudisial (KY), jumlah CHA yang ikut uji seleksi calon hakim MA hari ini sebanyak 84 calon hakim yang terdiri atas 5 orang untuk Kamar Militer, 16 orang untuk Kamar Agama, 7 orang untuk Kamar Tata Usaha Negara, 20 orang untuk Kamar Pidana, dan 36 orang untuk Kamar Perdata. Sebanyak 2 CHA yang berasal dari 1 orang di Kamar Pidana dan 1 orang di Kamar Perdata menyatakan mengundurkan diri dan tidak mengikuti seleksi kualitas.

Ke-84 CHA itu mengikuti seleksi untuk memperebutkan kebutuhan delapan posisi hakim agung yang kosong, diantaranya 1 orang untuk Kamar Pidana, 4 orang untuk Kamar Perdata, 1 orang untuk Kamar Agama, 1 orang untuk Kamar Militer, dan 1 orang untuk Kamar Tata Usaha Negara.

Sementara untuk calon hakim ad hoc Tipikor di MA, dari total 42 calon hakim yang sudah mendaftar, sebanyak 3 orang mengundurkan diri dan tidak mengikuti seleksi kualitas. Itu artinya peserta uji seleksi calon hakim ad hoc Tipikor MA tinggal 39 orang. Dan ke-39 orang calon hakim ad hoc itu akan memperebutkan tiga kursi calon Hakim Adhoc Tipikor MA.

BACA JUGA: