JAKARTA, GRESNEWS.COM - Andro Supriyanto dan Nurdin Prianto terus melawan. Dua orang korban salah tangkap oleh Polda Metro Jaya pada 2013 lalu itu terus melakukan upaya hukum. Setelah memenangkan kasusnya di tingkat kasasi di Mahakamah Agung (MA), kali ini Andro dan Nurdin mempraperadilankan Kepolisian Polda Metro Jaya untuk menuntut ganti rugi ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang telah terdaftar dengan Nomor Perkara 98/ Pid.Prap/2016/PN. Jkt. Selatan.

Kuasa hukum Andro dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Arif Maulana, mengatakan kliennya memilih menempuh jalur praperadilan untuk memulihkan nama baik mereka serta mendapat restitusi. Arif mengaku jalur hukum praperadilan memberi ruang bagi korban untuk memperoleh haknya.

"Gugatan Andro dan temannya adalah gugatan ganti rugi melalui praperadilan. Bagi korban yang salah tangkap atau dari peradilan sesat, KUHAP memberikan jalan agar dipulihkan nama baiknya dan mendapat restitusi," ungkap Arif kepada wartawan di PN Jakarta Selatan, Senin (25/7).

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), korban salah tangkap dapat memperoleh haknya berupa ganti rugi, salah satu upayanya melalui praperadilan. Peluang hukum ini dimanfaatkan bagi Andro dan Nurdin agar pemerintah bisa memulihkan nama baiknya.

Kedua korban salah tangkap itu telah melewati proses hukum yang cukup panjang. Pada pengadilan tingkat pertama, Andro dan Nurdin terbukti melakukan pembunuhan dan dihukum tujuh tahun penjara.

Namun dia tak patah arang, Andro melalui kuasa hukumnya kemudian mengajukan upaya hukum banding ke Pengadilan Tinggi (PT) Jakarta. Upayanya pun membuahkan hasil. Andro dan rekannya akhirnya menang pada tingkat banding di PT. Begitu pun pada tingkat kasasi di Mahkamah Agung (MA), Andro pun dimenangkan oleh hakim MA.

Selama proses itu, Andro ditahan oleh pihak Kepolisian Polda Metro Jaya selama dua bulan. Lalu dipindahkan ke Lembaga Pemasyarakatan (LP) Cipinang sehingga mereka ditahan selama 11 bulan. "Andro dan Nurdin sudah ditahan sebelas bulan. Kalau ancamannya itu tujuh tahun penjara," ujar Arif.

Peristiwa itu terjadi pada 2013 lalu. Saat itu, Andro di ditangkap oleh Kepolisian Polda Metro Jaya atas tuduhan pembunuhan terhadap korban Dicky Maulana, seorang pengamen di Cipulir. Andro ditangkap bersama rekannya Nurdin termasuk empat orang anak bawah umur.

Menurut pengakuan Andro, dia ditangkap saat berada di warnet di daerah Parung, Bogor, Jawa Barat. Pada saat itu, Andro sedang tidur lalu ditangkap oleh Kepolisian Metro Jaya. "Langsung dibawa ke Polda. Udah ada anak-anak. Terus disuruh ngaku, mata saya dilakban, disetrum, ditendangi, dipukuli sampai saya enggak kuat. Capek dipukulin terus, kami terpaksa mengakui melakukan pembunuhan," aku Andro.

Sampai saat ini, meskipun dirinya sudah divonis bebas oleh MA, Andro mengaku sangat terpukul. Di mata masyarakat, menurut Andro, dirinya mendapat stigma negatif meskipun dirinya sudah divonis bebas oleh hakim.

"Ya semuanya susah. Gak ada yang ajak kerja. Di lingkungan semenjak kejadian ini memandang saya ini sebagai orang gak bener. Sebelah mata. Padahal di lingkungan saya baik aja. Biasanya sering ajak kerja, tapi enggak lagi," kata Andro.

SISTEM PERADILAN SESAT - Pengamat hukum pidana Universitas Tarumanagara (Untar) Hery Firmansyah menyayangkan kasus yang menimpa Andro dan Nurdin. Hery menilai adanya kelalaian pihak kepolisian saat melakukan penyidikan dalam kasus tersebut. Kalau penyidikan berdasarkan standard operational prosedure (SOP), sambung Hery, dia meyakini tidak akan terjadi korban salah tangkap seperti kasus Andro ini.

"Kepolisian harus menjunjung tinggi hukum acara dan hak asasi manusia. Dalam hal membuktikan pun tidak boleh yang unlawfull atau melanggar hukum. Jangan digunakan cara menegakkan hukum dengan melanggar hukum itu sendiri," katanya.

Lebih lanjut dia menegaskan dalam Pasal 3 Peraturan Kepolisian Republik Indonesia (Perkab) Nomor 14 Tahun 2012 menyatakan bahwa proses penyidikan harus mengacu pada undang-undang. Dengan begitu ada aturan yang jelas dalam proses penyelidikan dan penyidikan.

Pasal 3 huruf a itu berbunyi; Prinsip-prinsip dalam peraturan ini: a. legalitas, yaitu proses penyelidikan dan penyidikan yang dilakukan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan;

Selain itu, Hery melihat banyak celah hukum dalam sistem peradilan di Indonesia. Pada kasus korban salah tangkap, lanjut Hery, tidak ada kewajiban polisi melakukan ganti rugi dan rehabilitasi. "Banyak loopholes yang diciptakan dari sistem peradilan kita mulai dari hulu sampai hilir. Aturan hukum yang tumpang tindih. Tidak jelas misalnya kalau terbukti, kalau tidak terbukti dilakukan rehabilitasi dan ganti rugi kepada korban bagimana," ujarnya.

Bahkan untuk penyidik yang melakukan kesalahan tidak ada sanksi yang jelas. Dengan begitu, jika tidak ada sanksi tegas bagi penyidik yang melanggar SOP bukan tidak mungkin kasus serupa akan terjadi lagi.

Hery menjelaskan beberapa kasus salah tangkap yang bisa lepas tanpa ada sanksi yang jelas bagi penyidik. "Dulu ada kasus salah tangkap David Kemat dalam perkara Rian Jombang dan sebelumnya ada kasus Sengkon Karta," ujar Hery.

Kasus serupa juga pernah menimpa Imam Hambali alias Kemat dan David Eko Priyanto. Keduanya divonis bersalah oleh PN Jombang karena dituduh membunuh M. Asrori di Kebun Tebu. Namun keduanya dibebaskan Mahkamah Agung dengan putusan Peninjauan Kembali (PK) yang membatalkan putusan PN Jombang pada Mei 2008.

Kasus yang lain juga Sengkon dan Karta yang biasa disebut kasus Sengkon Karta. Keduanya divonis bersalah oleh pengadilan Bekasi dan diperkuat oleh putusan Pengadilan Tinggi Jawa Barat. Sengkon dan Karta dituduh merampok dan membunuh pasangan suami istri bernama Sulaiman dan Siti Haya pada 1974 lalu.

Lalu polisi menangkap Sengkon Karta dan menetapkannya sebagai tersangka. Keduanya dipaksa menandatangani Berita Acara Pemeriksaan (BAP) hal yang sama juga dilakukan terhadap Andro dan Nurdin. Akhirnya pada Oktober 1977, keduanya divonis bebas oleh MA melalui putusan PK.

BACA JUGA: