JAKARTA, GRESNEWS.COM - Persidangan terakhir kasus dugaan kekerasan seksual yang melibatkan dua guru Jakarta Intercultural School (JIS) Neil Bantleman dan Ferdinant Tjong di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan mengungkap bukti baru. Bukti tersebut adalah hasil pemeriksaan medis dari KK Women´s and Children´s Hospital Singapore yang menunjukkan anus korban normal dan tidak ada ciri-ciri sodomi.

"Laporan medik ini jelas menunjukkan bahwa anak tersebut tidak mengalami kekerasan seksual. Fakta ini jelas jadi bukti bahwa kedua guru tersebut tidak melakukan kekerasan seksual kepada si anak," kata kuasa hukum kedua guru JIS tersebut, Hotman Paris Hutapea, seusai sidang dengan agenda duplik dari terdakwa di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Kamis (26/3).

Hasil medik tersebut adalah milik korban AL. Laporan itu juga dilengkapi dengan putusan High Court of Singapore atau Order of Court dengan nomor: S 779/2014 tanggal 11 Februari 2015. Hasil medik ini didapat setelah dilakukan anuskopi kepada korban yang terdiri dari ahli bedah, ahli anestesi dan ahli psikologi.

Dalam proses anuskopi dilakukan pemeriksaan lengkap sehingga anak harus dibius total (anestesi) terlebih dahulu sehingga bagian dalam anus terlihat jelas. Itu dilakukan untuk mendapatkan akurasi dari hasil pemeriksaan terhadap anak.

Namun tindakan itu tidak dilakukan oleh dokter di Indonesia karena tidak melakukan bius kepada anak sehingga tidak mungkin dilakukan pemeriksaan anuskopi secara lengkap. "Karenanya hasil visum dokter di Indonesia yang diajukan Jaksa Penuntut Umum (JPU) diragukan kebenarannya," kata Hotman.

Hasil visum ini dibenarkan oleh ahli kedokteran bernama dr Ferryal Basbeth dan dr David Well yang dihadirkan dalam persidangan. Dua dokter tersebut membenarkan bahwa tindakan anuskopi dilakukan dengan memasukkan alat bivalve ke anus anak setelah dibius total terlebih dahulu.

Kuasa hukum dua guru JIS lainnya, Mahareskha Dillon, mengatakan selain fakta medik, tuduhan tentang kejadian kasus JIS sangat tidak masuk akal. Ketiga anak yang dikatakan disakiti di toilet dan lantai dua kantor administrasi yang disebut sebagai ruang rahasia.

Padahal, kata Mahareskha, itu adalah ruang guru rapat dan makan siang sehingga selalu ramai dengan puluhan orang pada jam sekolah dan istirahat. "Kini semakin terang bahwa kasus ini sangat dipaksakan karena tidak didukung bukti yang kuat," kata Dillon.

Sayangnya, JPU tidak mau mengomentari bukti baru yang disampaikan kuasa hukum dua guru JIS tersebut. JPU lebih memilih diam dan menunggu putusan hakim pada pekan depan.

Dalam tuntutannya, JPU memohon kepada majelis hakim agar menjatuhkan hukuman 12 tahun penjara terhadap dua guru JIS tersebut. Tuntutan ini lebih berat dari tuntutan JPU terhadap lima terpidana lain yang merupakan petugas kebersihan di JIS yang dituntut 10 tahun penjara. Kelima petugas kebersihan JIS itu akhirnya divonis tujuh dan delapan tahun penjara.

BACA JUGA: