JAKARTA, GRESNEWS.COM - Sidang gugatan perdata antara Fahri Hamzah dan petinggi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) terus berlanjut. Partai PKS berupaya mematahkan argumentasi hukum Fahri Hamzah soal legal standing majelis tahkim yang dituding tak berwenang memutuskan SK pemberhentiannya dari Partai PKS karena tidak belum disahkan oleh Kementerian Hak Asasi Manusia (Menkum HAM).

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dalam sidang dengan agenda pemeriksaan ahli tergugat, menghadirkan pakar hukum administrasi negara dari Universitas Padjajaran I Gede Pantja Astawa. Pantja Astawa dimintai keterangannya soal kedudukan majelis tahkim dari tinjauan hukum administasi negara.

Dalam keterangannya, Pantja Astawa mengemukakan kedudukan majelis tahkim Partai PKS. Menurut Pantja Astawa, majelis tahkim tak perlu mendapat pengesahan dari Menkum HAM. Majelis tahkim hanya perlu menyampaikan kepada Menkum soal majelis tahkim sesuai dengan norma dalam Pasal 32 Ayat 3 Undang-Undang Nomor 2 tahun 2011 tentang Partai Politik.

Dia menilai, frase dalam pasal tersebut "disampaikan" bukan disahkan. Logikanya, majelis tahkim disampaikan oleh pimpinan partai yang telah disahkan oleh Menkum HAM.

"Memahami UU tidak bisa parsial karena klausul satu dengan klausul yang lain ada kaitannya. Makna Pasal 32 Ayat 3 disampaikan kepada Menkum HAM karena kepengurusan sudah disahkan melalui pengesahan yang konstitutif," ujar I Gede Pantja Astawa di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Jalan Amper Raya, Senin (24/10).

Dengan begitu, menurutnya kedudukan mahkamah partai (majelis tahkim) sesuai Pasal 32 Ayat 3 Undang-Undang Nomor 2 tahun 2011 tentang Partai Politik tidak mesti mendapat pengesahan dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkum HAM). Dia beralasan bahwa kepengurusan yang mengajukan telah mendapat pengesahan dari Menkum HAM sehingga majelis tahkim tak perlu didaftarkan.

Keterangan Pantja Astwa merupakan upaya PKS untuk membantah keterangan ahli yang sebelumnya dihadirkan oleh Fahri Hamzah, Laica Marzuki. Laica dalam keterangannya justru menyatakan bahwa keberadaan majelis tahkim perlu mendapat pengesahan dari Menkum HAM.

PKS mengaku telah mengajukan surat ke Kemenkum dan HAM tanggal 1 Februari 2016 dan diterima oleh Kemenkum dan HAM tanggal 9 Februari 2016. Atas alasan itu, PKS menganggap bahwa keberadaan Majelis Tahkim telah diberitahukan ke Kemenkum dan HAM sehingga keputusan yang diambil oleh majelis tahkim telah sah mengambil keputusan untuk memberhentikan Fahri Hamzah.

Fahri menggugat sejumlah petinggi Partai PKS diantaranya Tergugat I DPP PKS cq Sohibul Iman Presiden Partai PKS. Tergugat II, Muhammad Hidayat Nur Wahid, Surahman Hidayat , Sohibul Iman, Abdi Suamithi selaku ketua dan anggota majelis tahkim. Sedangkan tergugat III, Abdul Muis Saadih Ketua Badan Penegak Disiplin Organisasi (BPDO). Fahri menggugat para petinggi PKS lantaran telah memecatnya dari semua jenjang keanggotaan Partai PKS.

Dalam persidangan tersebut, kuasa hukum PKS menanyakan terkait keabsahan putusan mahkamah partai yang memecat Fahri Hamzah. Apakah sah putusan majelis tahkim dalam konteks Pasal 32 Ayat 3?

"Sesuai norma Pasal 32 Ayat 3 kalau sudah dipanggil secara patut tidak datang maka bisa saja diputus. Sah," jawab Panjta Astawa singkat.

Selain terkait keberadaan majelis tahkim, Pantja Astawa juga menyatakan, soal pengajuan pemberhentian Fahri Hamzah yang tidak ditantangani oleh sekretaris jenderal PKS. Pasalnya Sekjen Taufik Ridho telah mengundurkan diri pada 8 Februari 2016. Sesuai dengan Tatib DPR RI Nomor 1 tahun 2014 Pasal 14.

"Kalau tidak ada sekretaris jenderal maka diganti dengan wakilnya. Kan yang memerintah agar ditandatangani oleh ketua dan sekjen tapi di UU kan beda (partai). Kan itu fungsinya wakil," kata Pantja Astawa. Dia menyatakan dalam UU MD3 hanya ditandatangi partai politik dan tidak mensyaratkan mesti ditandatangani ketua dan sekretaria jenderal.

Adapun bunyi Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Nomor 1 tahun 2014 Pasal 14 adalah:
(1) Pemberhentian Anggota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 Ayat (1) huruf a dan huruf b serta pada Ayat (2) huruf c, huruf d, huruf g, dan huruf h diusulkan oleh ketua umum atau sebutan lain pada kepengurusan pusat partai politik dan sekretaris jenderal kepada pimpinan DPR dengan tembusan kepada Presiden.

UNGKIT POSISI FAHRI HAMZAH - Kuasa hukum Partai PKS Zainudin Paru juga mengungkit keberadaan Fahri Hamzah di DPR. Pasalnya PKS telah memecat Fahri dari semua jenjang keanggotaan Partai PKS sehingga tidak memiliki legitimasi duduk sebagai DPR.

Zainudin Paru juga sempat menanyakan posisi Fahri Hamzah di DPR. Pantja Astwa menyatakan, Fahri Hamzah telah dicabut posisinya sebagai kader di PKS. "Siapa yang mencalonkan dia kan parpol. Aturan kita tidak mengenal calon perorangan," jawab Astawa.

Namun persoalan itu dibantah kuasa hukum Fahri Hamzah, Mujahid A Latief. Mujahid menganggap tak perlu mempersoalkan kembali posisi Fahri di DPR. Karena menurut Mujahid, sudah ada putusan sela dari PN Jakarta Selatan untuk meneguhkan posisi Fahri Hamzah baik sebagai anggota PKS maupun sebagai anggota DPR.

"Kan sudah ada putusan provisi, sebelum ada keputusan yang berkekuatan hukum tetap maka status Fahri status quo. Dia tetap sebagai anggota PKS, anggota DPR dan tetap sebagai Wakil Ketua DPR," kata Mujahid.

Terkait keterangan ahli yang dihadirkan Partai PKS, Mujahid juga menyinggung keterangan ahli soal Tatib DPR Nomor 1 tahun 2014 Pasal 14 yang tak wajib ditaati. Menurut Mujahid, ketika tidak diatur di dalam undang-undang maka harus kembali ke Tatib.

Sebelumnya, PKS juga mengajukan penarikan Fahri Hamzah ke pimpinan DPR. Dalam surat tersebut hanya ditandatangani ketua PKS dan Wakil Sekretaris Jenderal. Namun menurut Mujahid, surat tersebut harus mengikuti Tatib dimana yang mesti menandatangani adalah ketua dan sekjen dan tidak boleh diwakilkan.

"Ini kan domainnya DPR. Jadi seluruh anggota DPR wajib taat kepada tata tertib," kata Mujahid.

Dia malah mempertanyakan, "Kenapa harus ada tatib kalau tidak mewajibkan kepada anggota DPR," ujarnya. Dia tak menyangkal kalau dalam mekanisme internal partai membolehkan ketika sekjen tidak ada boleh digantikan wakil sekretaris jenderal. "Itu kan di internal partai, tapi kalau di tatib kan tidak boleh. Harus ditandatangani ketua umum dan sekretaris jenderal, tidak boleh diinterpetasikan lagi," pungkas Mujahid. 

BACA JUGA: