JAKARTA, GRESNEWS.COM - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bisa jadi sudah punya seabrek bukti soal keterlibatan mantan Sekretaris Mahkamah Agung Nurhadi Abdurrachman dalam kasus suap terhadap Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Edy Nasution. Salah satunya adalah temuan adanya uang senilai Rp1,7 miliar serta beberapa dokumen perkara saat penyidik KPK melakukan penggeledahan di rumah Nurhadi.

Namun hal itu ternyata tak membuat lembaga antirasuah itu yakin untuk menetapkan Nurhadi sebagai tersangka. Bahkan KPK terkesan ragu untuk menaikkan status Nurhadi sebagai tersangka.

Ketua KPK Agus Rahardjo berdalih, semua bukti yang dipegang KPK itu, termasuk rekaman percakapan beberapa pihak terkait Nurhadi, belum cukup untuk menaikkan status Nurhadi ke tingkat penyidikan alias menjadi tersangka.

KPK diketahui memang telah membuka penyelidikan baru untuk Nurhadi sebagai pengembangan kasus suap tersebut sejak 25 Juli 2016. "Jadi kita kan tidak ingin kalah dalam persidangan, oleh karena itu harus kuat betul bila kita mau bawa itu. Apalagi kita mengetahui beliau itu orang yang sangat tahu hukum," kata Agus, Sabtu (20/8).

Alasan yang dimaksud Agus tidak hanya dalam proses penuntutan nanti. Nurhadi bisa saja menggugatnya dalam praperadilan yang selama ini menjadi momok bagi KPK. Praperadilan merupakan langkah seorang tersangka untuk membebaskan diri dari jeratan status tersangka yang disematkan lembaga antirasuah ini.

Apalagi, meskipun Nurhadi telah mencopot jabatannya sebagai sekretaris MA, tetapi pengaruhnya dalam dunia peradilan tentu tidak bisa hilang begitu saja. Terlebih lagi hingga sekarang para saksi yang berkaitan langsung dengan Nurhadi masih belum bisa diperiksa oleh KPK seperti supir sekaligus ajudannya yang bernama Royani. Ia menghilang begitu saja dan belum bisa ditemukan oleh KPK.

Kemudian empat anggota Korps Brimob yaitu Brigadir Ari Kuswanto, Brigadir Dwianto Budiawan, Brigadir Fauzi Hadi Nugroho, dan Ipda Andi Yulianto juga belum diperiksa KPK. Mereka adalah pengawal Nurhadi dan diduga mengetahui proses penyerahan uang.

Agus sendiri mengatakan jika segala bukti-bukti telah cukup maka dirinya tidak akan ragu menjadikan Nurhadi sebagai tersangka. "Ya, tidak ragu-ragu, tapi kita pengen memperkuat alat-alat bukti yang sekiranya bisa kami kumpulkan," tegasnya.

Nurhadi sendiri dalam sidang lanjutan di Pengadilan Tipikor Jakarta membantah segala tuduhan yang dialamatkan padanya. Ia mengklaim selama ini hanya menjalankan tugas sebagai sekretaris tanpa melakukan pelanggaran hukum termasuk mengurus perkara.

Nurhadi‎ menegaskan, istilah ´promotor´ untuk dirinya salah sama sekali. Sebab, dia mengaku tak mengenal Wresti. "‎Bahwa saya disebut promotor itu salah sama sekali. Tidak benar. Saya tidak tahu disebut nama itu, sementara saya tidak kenal Wresti,‎" ujar Nurhadi di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (15/8).

Nurhadi mengklaim, namanya sering kali dicatut oleh pihak-pihak lain, terutama yang sedang berperkara di pengadilan.‎ Karenanya, dia merasa segala tuduhan yang ditujukan itu tidak benar dan dirinya hanya difitnah oleh orang-orang yang kerap menjual namanya

"Itu tegas bahwa saya tidak mengerti kenapa nama saya bisa diganti-ganti begitu. Terlalu sering nama saya dicatut dan dijual. Tapi saya tidak pernah ada sebutan promotor atau yang lain. Nama saya dari dulu Nurhadi, tidak ada yang lain," tuturnya.

LACAK ROYANI - KPK sendiri memang masih memfokuskan diri untuk mencari Royani yang dinilai merupakan saksi kunci untuk mengungkap peran Nurhadi dalam berbagai pengurusan perkara di MA. Agus menegaskan, keberadaan Royani telah diketahui oleh KPK.

Namun lembaga antirasuah tersebut meminta seluruh pihak untuk bersabar karena penyelidikan masih terus berjalan. "Kalau nunggu pengembangan jangan desak-desak dong. Kan berkembang terus, informasi tiap hari bertambah, dari pengadilan dan mungkin ada informasi yang makin terkuak. Jadi tunggu saja kami akan melangkah ke sana," ujarnya.

Ada informasi yang mengatakan Royani sudah ditemukan dan diketahui berada di sebuah tempat. Bahkan telah diamankan oleh KPK. Namun Agus membantah kabar tersebut. "Kamu bahkan lebih cepat dari saya," elaknya.

Walaupun begitu Agus tak menampik bahwa KPK telah mengetahui posisi Royani. "Kan sudah lama tahu posisinya. Saya cek dulu (apakah sudah diambil), tapi posisinya sudah tahu," tegas Agus.

Royani ditengarai memang bakal menjadi kunci untuk mengaitkan berbagai bukti yang kini sudah dipegang KPK. Pasalnya dari proses penyidikan dan juga persidangan terhadap para terdakwa kasus suap Edy Nasution ini, jejak-jejak ke arah keterlibatan Nurhadi sedikit demi sedikit terungkap.

Dalam proses persidangan nama Nurhadi sempat disebut sebagai promotor dan membantu memuluskan kasus-kasus perdata perusahaan besar. Hal itu dikatakan staf bagian hukum PT Artha Pratama Anugrah, Wresti Kristian Hesti.

Saat menjadi saksi di Pengadilan Tipikor Jakarta, Hesti mengatakan dirinya menerima perintah dari Chairperson PT Paramount Enterprise International Eddy Sindoro untuk mengurus sejumlah perkara. Wresti diminta membuat memo, tabel, dan pointer perkara untuk diserahkan kepada Eddy.

Kemudian dokumen memo, pointer, dan tabel pun ditunjukkan penuntut umum KPK di hadapan persidangan. Tertulis, tujuan memo, yakni "Yth Promotor". Wresti mengaku, tidak mengetahui siapa promotor yang dimaksud.

Namun, sesuai penyampaian Doddy Aryanto Supeno kepadanya, promotor itu adalah Sekretaris Mahkamah Agung (MA) Nurhadi. Selain sebutan "Promotor", nama Nurhadi muncul dalam sejumlah rekaman sadapan dengan sebutan Pak "Wu" dan Pak "N".

Awalnya, Wresti mengaku tidak mengetahui siapa orang yang disebut dengan panggilan Pak Wu dan Pak N, tetapi ketika ia menanyakan kepada Doddy, terungkap bahwa Pak Wu dan Pak N adalah Nurhadi.

"Jadi, istilah promotor itu pertama kali. Habis itu ´N´, habis itu ´Wu´. Tapi, itu sama apa yang dimaksud, karena Pak Doddy bilang Pak Wu adalah Pak Nurhadi. Itu yang saya dengar dari Pak Doddy. Waktu itu, saya pernah nanya, ´Wu" itu siapa," kata Wresti, Rabu (27/7).

Wresti menjelaskan, setiap diperintahkan untuk membuat memo kepada Pak Wu, ia biasanya mencantumkan "Yth Promotor" di bagian atas memo. Ia sudah lupa memo-memo terkait perkara apa saja yang pernah dibuatnya. Yang pasti, salah satu memo berkaitan dengan eksekusi perkara sengketa tanah Paramount.

Isi memo itu, memohon bantuan kepada promotor agar isi Surat Ketua Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat No.W10.U1.Ht.065/1987 Eks 2013.XI.01.12831.TW/Estu tanggal 11 November 2013 tentang Permintaan Bantuan Eksekusi Lanjutan dapat direvisi pada bagian alinea terakhir kalimat "belum dapat dieksekusi" menjadi "tidak dapat dieksekusi". (dtc)

BACA JUGA: