JAKARTA, GRESNEWS.COM - Perjalanan pengungkapan kasus korupsi dalam pembangunan infrastruktur di Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat yang melibatkan pihak Komisi V DPR, semakin membuat para pimpinan Komisi V tersudut. Sebelumnya, pihak Komisi Pemberantasan Korupsi sudah menegaskan, akan menjadikan fakta-fakta persidangan sebagai dasar untuk menjerat pihak lain yang diduga terlibat dalam kasus ini.

Dari fakta persidangan dengan terdakwa mantan anggota Komisi V Damayanti Wisnuputranti terungkap adanya kemungkinan keterlibatan para pimpinan Komisi V diantaranya Ketua Komisi V DPR Ketua Komisi V Fary Djemi Francis, Wakil Ketua Komisi V Michael Wattimena. Damayanti mengungkap, sebagai pimpinan komisi, mereka mendapat jatah cukup besar hingga Rp100 miliar dari proyek-proyek tersebut.

Damayanti mengaku masing-masing anggota mendapat jatah maksimal Rp50 miliar, sedangkan kapoksi (ketua kelompok fraksi-red) maksimal Rp100 miliar. "Untuk pimpinan saya kurang tahu. Kami diberikan dari kapoksi, kapoksi dari pimpinan. Saya nilainya Rp41 miliar," imbuh Damayanti dalam persidangan beberapa waktu lalu.

Belakangan juga terungkap, pimpinan komisi memang berperan besar dalam menentukan anggaran proyek yang berasal dari dana aspirasi. Kepala Biro Perencanaan dan Anggaran Kementerian PUPR Hasanudin mengungkapkan, usulan program proyek aspirasi dari Komisi V DPR ke kementeriannya berlangsung sejak 2014. Dari semula, besaran proyek aspirasi selalu ditentukan oleh pimpinan Komisi V.

"Usulan ini setiap tahun ada, sejak UU MD3 diterbitkan. Karena dasarnya UU MD3 tahun 2014. (Besarnya) di Komisi V selalu ada perubahan," kata Hasanudin saat bersaksi untuk Damayanti, beberapa waktu lalu.

Dirjen Bina Marga Hediyanto menambahkan, besaran pagu anggaran untuk program aspirasi Komisi V DPR RI yakni sebesar Rp2,8 triliun. Sekitar Rp1 triliun diantaranya untuk program aspirasi di kawasan Maluku dan Maluku Utara. "Rp 2,8 triliun itu untuk seluruh Indonesia," ujar Hediyanto. Usulan dari anggota dewan selanjutnya dievaluasi oleh tim dari Kementerian PUPR sebelum diputuskan apakah disetujui atau tidak.

Nah, belakangan juga terungkap, pimpinan Komisi V juga kerap mengusulkan proyek pembangunan yang didanai dana aspirasi di luar wilayah pemilihannya sendiri. Padahal semestinya pengusulan dana aspirasi dilakukan oleh anggota dari wilayah dimana dia terpilih.

Salah satu pimpinan yang mengakui pernah mengusulkan proyek aspirasi untuk wilayah di luar dapilnya adalah Michael Wattimena. Dalam sidang lanjutan dengan terdakwa Damayanti, Michael yang dihadirkan penuntut umum pada KPK sebagai saksi, mengakui hal tersebut.

"Karena daerah kelahiran saya dulu, Tawaka, Kecamatan Saparua, Kabupaten Maluku Tengah, jalan lingkar Saparua tidak tertangani dengan baik, maka saya usulkan tempat kelahiran saya diprogramkan dalam program APBN," kata Michael di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Rabu (20/7).

Tak hanya itu, Michael juga mengusulkan proyek lain yang bukan termasuk daerah pemilihannya. Salah satunya berkaitan dengan infrastruktur lainnya yaitu pembangunan jembatan yang juga berada di wilayah Maluku. Total usulan yang disampaikan sekitar Rp52 miliar.

Ia berdalih bahwa program tersebut memang sudah ada dalam rencana strategis Kementerian PUPR. Sehingga, dirinya hanya mendorong agar program tersebut direalisasikan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). "Jadi sudah ada. Tinggal mendorong karena selama ini tidak tertangani. Sebagai anak negeri lahir di sana, kami dorong‎ (agar terealisasi)," tutur Michael.

Jaksa pun menanyakan, dimana daerah pemilihan (dapil) Michael sebenarnya. "Saya dapil Papua Barat," imbuhnya. Jaksa, sepertinya memang ingin mengungkap motif pimpinan mengusulkan proyek di luar dapil untuk mengetahui apakah motif itu salah satunya terkait dugaan adanya "jatah" dana proyek dari setiap proyek yang disetujui.

Karena itu, jaksa juga menanyakan, apakah prosedur semacam itu dibenarkan. Diakui Michael, program pemberian dana aspirasi bisa didapatkan melalui kunjungan komisi yang dilakukan secara berkala. "Kedua melalui kunjungan spesifik undangan Pemda. Ketiga perorangan ke dapil masing-masing. Program yang diusulkan melalui tiga aspek tadi, yaitu kunjungan komisi ke Ibukota provinsi, spesifik atas kunjungan Bupati walikota, itu rombongan," pungkas Michael.

ATURAN DANA ASPIRASI - Untuk mendalami aturan terkait penggunaan dana aspirasi ini, jaksa KPK juga menanyakan hal serupa kepada Sekjen DPR Winantuningtyastiti yang juga dihadirkan sebagai saksi dalam perkara ini. Win--demikian dia biasa disapa- menjelaskan mengenai mekanisme dana aspirasi.

Menurutnya, untuk proses penyerapan dana tersebut, harus melalui kunjungan kerja berkala. "Ada beberapa jenis, tiap dua bulan harus ke dapil, kunjungan masa reses, dan ada kunjungan spesifik ke dapil jika terjadi hal urgen dan mendesak," katanya.

Jaksa pun menanyakan apakah penyerapan dana aspirasi hanya dibolehkan untuk dapil dimana para anggota dewan berasal? "Di Pasal 11 memang mengusulkan dan memperjuangkan dapil. Tetapi di Pasal 12 wajib tanggung jawab secara moral dan politis di daerah pemilihannya," kata jawabnya.

Win kembali menjelaskan tentang teknis lainnya perihal dana aspirasi. Penyaluran dana itu, kata Win, harus dilengkapi data dan laporan yang lengkap untuk diberikan kepada masing-masing fraksi. Untuk laporan, ada suatu format khusus dan bukan seperti laporan biasa.

Win mengakui, tidak semua anggota dewan melaporkan penyerapan dana aspirasi yang mereka miliki. Dan Hal itu tercermin dari hasil temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) ketika itu yang dilaporkan kepada pihak legislatif. "Ada memang ada yang dikumpulkan ke pimpinan fraksi masing-masing, karena kebetulan ada temuan BPK beberapa waktu lalu untuk buktikan apakah diikuti laporan, dan itu terkumpul," paparnya.

Namun menurut Win, bentuk dana aspirasi sendiri sebenarnya tidak ada. Tetapi para anggota dewan ketika melakukan kunjungan kerja di fasilitasi untuk bertemu konstituen, dan itu diluar biaya tiket perjalanan serta akomodasi. Oleh karena itu dinamakan sebagai biaya kegiatan.

Sementara itu, Ketua Komisi V Fary Djemi Francis yang juga dihadirkan sebagai saksi, memberikan kesaksian yang sepertinya cenderung membela pernyataan Michael Wattimena. Dia mengatakan, anggota dewan diberi hak untuk mengusulkan proyek di semua daerah. Meskipun bukan dapilnya, anggota dewan tetap boleh mengusulkan pembangunan proyek infrastruktur.

"Bisa saja para anggota memberikan usulan. Di Maluku saya ada usulan untuk program sumber daya air bina marga," ujar Fary yang berasal dari Fraksi Gerindra Dapil NTT.

Dalam persidangan kali ini, terungkap pula adanya pertemuan informal antara beberapa pejabat di Kementerian PUPR dengan beberapa pimpinan Komisi V. Pertemuan itu diduga membahas beberapa proyek.

Hal tersebut dibenarkan oleh Kepala Bagian Sekretariat Komisi V Prima Maria. Namun, dua pimpinan Komisi V, Fary Djemi Francis dan Michael Wattimena membantah adanya pertemuan yang disebut jaksa terjadi pada akhir September 2015 itu.

"Pernah dilakukan rapat pimpinan dan kapoksi di ruang sekretariat Komisi V, tapi saya lupa siapa saja yang hadir. Sebanyak satu atau dua kali. Saya gak diikutsertakan, karena saya hanya rapat resmi. Pernah dilakukan rapat informal dengan pimpinan dan Sekjen Kementerian PUPR di ruang rapat Komisi V, saya enggak dilibatkan sebagai notulen," tegas Prima.

Aroma kongkalikong pembahasan beberapa proyek infrastruktur mulai tercium setelah KPK menangkap Damayanti Wisnu Putranti. Damayanti ditangkap karena telah menerima uang suap Rp 3,8 miliar untuk pengurusan proyek infrastruktur di Maluku.

Damayanti pun mulai bernyanyi, menyebut bahwa kongkalikong menjadi hal lumrah di Komisi V DPR. Bahkan, Damayanti menyebut sudah ada semacam sistem yang tidak tertulis terkait pembahasan proyek infrastruktur yang dilakukan Komisi V DPR. (dtc)

BACA JUGA: