JAKARTA, GRESNEWS.COM - Sejumlah lembaga masyarakat sipil yang tergabung dalam Koalisi Selamatkan Mahkamah Konstitusi melayangkan surat peringatan terbuka kepada majelis hakim Mahkamah Konstitusi, Kamis sore (1/12). Surat peringatan itu dilayangkan terkait adanya dua perkara mengenai masa jabatan hakim MK yang kini tengah diperiksa sendiri oleh MK.

Perkara pertama teregistrasi dengan nomor 53/PUU-XIV/2016, diajukan oleh hakim Binsar Gultom dan Lilik Mulyadi. Sedang perkara kedua yang teregistrasi dengan nomor 73/PUU-XIV/2016 diajukan oleh sejumlah peneliti dari Center for Strategic Studies University of Indonesia (CSSUI). Kedua perkara tersebut sama-sama menguji Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 jo UU Nomor 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi terhadap UUD 45.

Perwakilan Koalisi Selamatkan Mahkamah Konstitusi, Aradila Caesar, menyatakan bahwa surat peringatan terbuka itu dilayangkan kepada para hakim MK dengan tembusan kepada Dewan Etik MK, Presiden, Pimpinan DPR, dan Ketua Mahkamah Agung (MA). Aradila menilai, ada kode etik yang sudah dilanggar majelis hakim MK manakala mereka menerima dan memeriksa perkara yang berkaitan langsung dengan diri mereka sendiri.

"Kami menyampaikan surat peringatan terbuka agar menjadi perhatian Dewan Etik terkait uji materi yang sedang dilakukan. Jangan sampai jika tidak diawasi, terjadi pelanggaran etik, salah satunya konflik kepentingan. Makanya hari ini kami mengingatkan Dewan Etik," kata Aradila, Kamis (1/12).

Lazim diketahui, dalam kaidah hukum ada satu dalil berbunyi nemo judex in causa sua. Artinya, hakim dilarang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara yang berkaitan dengan dirinya sendiri.

Selain itu, Aradila mengaku ada kekhawatiran besar jika permohonan mengenai masa jabatan hakim MK dikabulkan oleh MK. Aradila khawatir masa jabatan hakim MK ke depan akan jadi seumur hidup. "Para pemohon memang tidak meminta masa jabatan hakim MK seumur hidup. Tapi secara tidak langsung, jika permohonan itu dikabulkan, mau tidak mau akan ada norma baru yang mengatur masa jabatan hakim MK. Kami khawatir norma baru itu akan memberi mereka masa jabatan seumur hidup," paparnya.

Aradila juga berpendapat semestinya MK tidak menerima kedua permohonan itu. Pasalnya, UU MK sendiri tengah dikaji di Kementerian Hukum dan HAM untuk kemudian dimasukkan ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Aradila berharap, ketentuan soal masa jabatan hakim MK dipercayakan sepenuhnya kepada pemerintah dan DPR melalui mekanisme RUU MK. Hal itu penting dilakukan untuk menghindari kecurigaan publik.

"Hakim MK harus bisa membedakan mana perkara yang berhubungan dengan dirinya secara personal dan mana yang berhubungan secara institusional. Jika melakukan penafsiran dalam rangka meningkatkan kepentingan pribadi, hakim MK berarti telah melakukan penyalahgunaan kewenangan yang diberikan oleh konstitusi. Abusive of constitutionalism," katanya.

Terakhir, Aradila mengingatkan hakim MK untuk menolak permohonan perkara yang berkaitan dengan masa jabatan hakim MK. Apabila peringatan ini diabaikan, kami akan melaporkan seluruh atau sebagian hakim MK kepada Dewan Etik MK," pungkasnya.

Sebagai catatan, inti permohonan hakim Binsar dan Lilik adalah menghendaki agar masa jabatan hakim MK yang diatur dalam Pasal 22 UU MK dibatalkan dan disesuaikan dengan masa jabatan hakim MA, yakni hingga berusia 70 tahun. Pasal 22 UU MK berbunyi, "Masa jabatan hakim konstitusi selama 5 (lima) tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk 1(satu) kali masa jabatan berikutnya".

CSSUI juga memohonkan hal serupa. Hanya, dalam permohonannya CSSUI menambahkan Pasal 4 Ayat (3) UU MK sebagai bahan gugatannya. Pasal tersebut berbunyi, "Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi dipilih dari dan oleh anggota hakim konstitusi untuk masa jabatan selama 2 (dua) tahun 6 (enam) bulan terhitung sejak tanggal pengangkatan Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi".

Menurut CSSUI, aturan mengenai periodesasi masa jabatan ketua dan wakil ketua MK sebaiknya dihapuskan. Alasannya, jika dalam kurun waktu 5 tahun terjadi dua kali pergantian kepemimpinan, hal itu berpotensi menimbulkan konflik kepentingan di internal hakim MK sendiri.

"Soal itu, ini maaf-maaf saja, para hakim MK sendiri kan tidak murni dari akademisi atau praktisi, kadang-kadang ada juga dari politisi. Jadi kalau masa jabatan ketua dan wakil ketuanya hanya 2,6 tahun, dikhawatirkan akan ada upaya-upaya politis tertentu yang dilakukan demi memperoleh dukungan agar bisa memperpanjang masa jabatannya. Hal semacam itu gak bagus juga," kata Tjip Ismail, salah seorang anggota CSSUI, kepada gresnews.com, Kamis (1/12).

ASAS PRECEDENT - Diminta tanggapan mengenai sikap dan pernyataan Koalisi Selamatkan MK, Tjip Ismail tidak mau berkomentar banyak. Menurut Tjip, ia menghormati segala bentuk perbedaan pandangan dan menyerahkan semuanya kepada mahkamah.

"Perkara ini kan masih dalam proses, jadi saya tidak mau komentar. Kalau ada beda pandangan, tanggapannya biar nanti saja di forum persidangan," katanya. Namun demikian, Tjip menyayangkan adanya sejumlah pemberitaan di media yang menyebut bahwa CSSUI menghendaki agar masa jabatan hakim MK tidak dibatasi hingga menimbulkan tafsir masa jabatannya adalah seumur hidup.

"Tidak benar itu. Coba periksa di risalah sidang. Tidak ada permohonan kami menyebut masa jabatan hakim MK seumur hidup. Kami hanya merasa aneh saja, kedudukan MA dan MK di dalam Pasal 24 UUD 45 tentang Kekuasaan Kehakiman itu sama, tapi kok masa jabatan hakimnya berbeda? Itu inti persoalannya," papar Tjip.

Disinggung mengenai adanya pendapat bahwa hakim MK telah melanggar kode etik dengan menerima dan memeriksa permohonan CSSUI, Tjip menyebut hal itu sudah dipaparkan oleh mantan Ketua MA Bagir Manan yang dihadirkan sebagai saksi ahli oleh CSSUI pada persidangan sebelumnya.

Sebagai informasi, dalam persidangan yang digelar (1/11) lalu, mantan ketua MA Bagir Manan meyakinkan MK agar tidak ragu untuk memeriksa perkara yang mau tidak mau berkait langsung dengan posisi para hakim sendiri. Menurut Bagir, ada tiga alasan mengapa hakim MK harus menyingkirkan kekhawatiran terkena prinsip nemo judex in causa sua maupun conflict of interest saat memerika perkara yang diajukan CSSUI.

Alasan pertama, menguji undang-undang merupakan kekuasaan eksklusif MK yang tidak dapat dilimpahkan pada kekuasaan kehakiman lainnya. Alasan kedua, putusan MK mempunyai kekuatan atau sifat hukum sebagai precedent atau stare decisis yang wajib diikuti apabila di kemudian hari ada perkara atau permohonan yang sama.

Dijelaskan Bagir, pokok perkara yang diajukan oleh CSSUI mengenai masa jabatan hakim MK secara substansi sama halnya dengan uji materi mengenai masa jabatan hakim peradilan pajak yang juga diajukan CSSUI beberapa waktu sebelumnya. Saat itu, CSSUI mendalilkan bahwa aturan periodesasi masa jabatan hakim peradilan pajak per 5 tahun sekali akan membatasi kekuasaan hakim pajak dalam memutus suatu perkara. Selain itu, ketentuan mengenai usia pensiun hakim pajak juga dinilai CSSUI bersifat diskriminatif lantaran memberi ketentuan berbeda dengan masa jabatan hakim di peradilan lain yang sama-sama berada di bawah lingkup peradilan MA.

Sebagai informasi, sebelum diputus MK, UU Pengadilan Pajak mengatur usia pensiun hakim pengadilan pajak adalah 65 tahun. Sedangkan UU Peradilan Umum, UU Peradilan Agama, dan UU PTUN menetapkan usia pensiun bagi hakim tinggi di masing-masing lingkungan peradilan tersebut adalah 67 tahun. Permohonan CSSUI saat itu dikabulkan oleh MK lewat putusan nomor 6/PUU-XIV/2016.

"Paralel dengan sistem precedent putusan Mahkamah Konstitusi, dalam permohonan yang sedang disidangkan sekarang ini, walaupun berkenaan dengan Hakim Konstitusi, Mahkamah Konstitusi hanyalah menjalankan precedent yang sudah ada, bukan karena suatu kepentingan yang melekat pada Hakim Konstitusi," kata Bagir.

Bagir juga menjelaskan bahwa salah satu fungsi MK sebagai badan peradilan tertinggi dan terakhir adalah mewujudkan kesatuan tafsir atau kesatuan makna asas dan kaidah hukum. "Untuk itulah demi menjamin perwujudan kesatuan tafsir dan makna, Mahkamah Konstitusi wajib menjaga konsistensi antara putusan yang telah ada dengan permohonan atau perkara baru yang bertalian dengan persoalan atau legal issue serupa," tegasnya.

Ketiga, Bagir menyatakan bahwa saat pemohon menyebut ada kerugian konstitusional yang mereka alami, maka hakim konstitusi tidak bisa mengelak untuk memeriksa, mengadili, serta memutus perkara tersebut. Kalaupun ada kepentingan Hakim Konstitusi, itu adalah akibat belaka dari permohonan para pemohon atau kepentingan tidak langsung, sehingga tidak menghalangi Mahkmah Konstitusi memeriksa, dan memutus permohonan sesuai dengan asas Hakim dilarang menolak memutus perkara.

Terlepas dari etis-tidak etisnya hakim MK memeriksa perkara yang berkaitan langsung dengan kepentingannya sendiri, Tjip menyayangkan adanya komentar dari sejumlah anggota DPR mengenai perkara yang tengah ia ajukan ini. Menurutnya, DPR sudah diberi kesempatan untuk menyampaikan keterangan di MK, namun kesempatan itu tidak mereka gunakan.

"Ini kan perkara sudah lama. DPR kok baru bicara? DPR itu kan, katakanlah, pihak lawan. Mereka mestinya datang ke MK dan berdebat di sana. Jangan di luar, mengomentari perkara yang sedang diproses itu kurang baik juga," kata Tjip. Terakhir, Tjip meminta agar polemik masa jabatan hakim diselesaikan di MK. Menurutnya, permohonan yang ia ajukan juga belum tentu dikabulkan MK.

"Dulu kami pernah juga menggugat soal UU Kekayaan Negara. Dan putusan MK menolak permohonan kami," katanya.

Berita mengenai masa jabatan hakim memang menimbulkan reaksi dari beberapa kalangan dalam kurun seminggu ke belakang. Mantan ketua MK Mahfud MD misalnya, pada Selasa (29/11) lalu menyatakan bahwa di tengah hiruk-pikuk berita mengenai penistaan agama yang dilakukan Basuki Tjahja Purnama, publik telah kecolongan dengan adanya dua perkara yang menggugat masa jabatan hakim MK.

"Ada berita yang tidak banyak ditanggapi dan tidak banyak diberitakan, yang intinya yaitu ada seseorang atau lembaga yang minta hakim MK yang diberi masa jabatan 5 tahun satu periode, bisa diperpanjang kembali dengan kira-kira dua alternatif. Satu diberi jabatan sampai usia 70 tahun, bahkan yang lebih ekstrem sampai seumur hidup," papar Mahfud, di sela diskusi "Hakim Konstitusi Seumur Hidup, Pantaskah?", Selasa (29/11).

Menurut Mahfud, jika masa jabatan hakim MK seumur hidup, hal itu berbahaya bagi perkembangan negara hukum ke depannya. Mungkin (alasan pemohon—red) bisa benar, namun ada asumsi lain yang lebih benar. "Justru dengan tidak dibatasi itu malah berbahaya. Karena merasa ia tidak bisa dipecat oleh siapa pun, jadi bisa melakukan apa pun," jelas Mahfud.

Mahfud juga berpendapat, jika jabatan seumur hidup bagi hakim MK dikabulkan, hal demikian telah melanggar pesan dan semangat reformasi. "Sebelum reformasi, kekuasaan tidak dibatasi. Namun, pascareformasi kekuasaan itu dibatasi sehingga tidak menjadi absolut," katanya.

Senada dengan Mahfud, anggota DPR Taufiqulhadi dan Fadli Zon juga menilai masa jabatan seumur hidup akan berdampak negatif ke depannya. "Kalau itu dikabulkan, banyak hal fatal bisa terjadi,” kata Taufiq. Taufiq menjelaskan, masa jabatan seumur hidup berpotensi mengurangi rasa tanggung jawab pada diri hakim MK sehingga kemudian membuat mereka bisa melakukan banyak kesalahan dalam memutus perkara.

“Karena salah atau tidak salah, jabatan mereka akan seumur hidup," ujar Taufiq, Senin (28/11).

Sementara itu, wakil ketua DPR Fadli Zon berpendapat bahwa jika masa jabatan hakim MK tidak dibatasi, ada peluang bagi para hakim berperilaku korup. Terlebih MK punya preseden buruk dengan terkuaknya perilaku tidak terpuji Akil Mochtar. "Kecenderungan orang yang kekuasaannya penuh itu cenderung korup. Orang-orang itu belum tentu teruji semua. Takutnya kalau seumur hidup nanti mematikan yang lain," katanya, Senin (28/11). (Zulkifli Songyanan)

 

BACA JUGA: