JAKARTA,GRESNEWS.COM - Pimpinan Mujahidin Indonesia Timur ( MIT) Santoso tewas dalam baku tembak dengan TNI dan Polri di Poso, Sulawesi Tengah pada Senin (18/7) lalu. Namun itu tak membuat jaringan terorisme di Poso berakhir.

Menteri Politik Hukum dan HAM (Menko Polhukam) Luhut Binsar Panjaitan mengatakan paska tewasnya Santoso, masyarakat tak perlu khawatir adanya serangan balik dari jaringan kelompok Santoso. Kekuatan kelompok ini sudah sangat lemah.

"Hingga kini aparat Polri dan TNI yang tergabung dalam Satgas Operasi Tinombala terus mengejar 19 anggota kelompok Santoso yang masih tersisa, "kata Luhut di kantornya Kemenpolhukam dalam diskusi coffee morning, Rabu (20/7).

Ia menjelaskan tewasnya Santoso dan rekannya Muhtar atau Kahar membuktikan bahwa pemerintah Indonesia serius dalam menangani pemberantasan terorisme. Namun selain Poso , Sulawesi Tengah, pemerintah juga mewaspadai ancaman terorisme di daerah lainnya seperti di Pulau Jawa, yakni, Solo, Sukabumi, dan Kepulauan Riau. Terlebih diketahui dalam kelompok Poso ada militan Uighur dari China yang ikut bergabung.

Bahkan, kata Luhut untuk mengawasi kegiatan kelompok tersebut pemerintah telah memberdayakan semua elemen aparat keamanan mulai dari Polri, TNI, Bintara Pembina Keamanan dan Ketertiban Masyarakat (Banbinkantibmas) serta pembinaan masyarakat desa. Semua dikerahkan untuk mencegah berkembangnya paham terorisme.

Kapolri Jenderal Tito Karnavian menjelaskan meski Santoso sudah tewas, sel teroris tak sepenuhnya hilang di Indonesia. "Ada beberapa sel-sel kecil ya. Ada beberapa sel yang lain yang ada di Jawa kemudian di Bima masih ada. Santoso itu yang paling utama kan di Sulteng," ucap Jenderal Tito di Komplek Istana, Jakarta, Selasa (19/7).

Tito menjelaskan Santoso bukanlah tokoh utama gerakan terorisme di Indonesia. Sulteng tepatnya Poso, dipilih oleh Santoso karena ingin dijadikan sebagai basis utama gerakan teroris atau ´qaidah aminah´. "Dia (Santoso) tokoh utama di Sulteng tapi dia bukan tokoh utama di Indonesia." ucapnya.

"Poso mau dijadikan qaidah aminah, tempat aman bagi kelompok-kelompok ini untuk mereka membuat base kekuatan di situ," katanya. Namun dengan tewasnya Santoso dan beberapa anggotanya dalam pengejaran oleh Satgas Tinombala, Poso sebagai basis kelompok teroris sudah tak efektif.

"Dengan dipatahkan seperti ini, otomatis mereka kehilangan qaidah aminah dan kehilangan harapan mereka bisa buat base yang aman di sana jadi bubar," ucap Tito.

KEDEPANKAN PENCEGAHAN - Ikatan Cendikiawan Muslim se Indonesia ( ICMI) mendukung upaya pemberantasan teroris yang dilakukan Satgas Gabungan TNI-Polri. "Kami sangat mengaprsiasi kerja TNI -Polri yang tergabung dalam satgas Tinombala, yang sudah bekerja keras dalam menumpas terorisme dan menembak mati Santoso," kata Ketua ICMI, Jimly Asshiddiqie dalam keterangan tertulis, Rabu (20/7).

Jimly mengaku bahwa setelah tim identifikasi memastikan kematian Santoso, pemerintah harus mencegah munculnya Santoso-Santoso yang baru. Baik akibat ketidakadilan di masyarakat, maupun karena lemahnya penegakan hukum. "Seharusnya jangan ada lagi pembiaran bagi pihak tertentu untuk sengaja menciptakan Santoso baru, apalagi membiarkan drama war on terorisme terus berjalan dengan tujuan politik atau lainnya ," ungkapnya.

Dia meminta agar operasi Tinombala dihentikan jika Santoso benar-benar telah meninggal dunia , karena warga Poso butuh ketenangan lahir bahtin.

Sementara mantan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Teroris ( BNPT) Ansyaad Mbai mengatakan pembasmian terhadap terorisme justru tak boleh berhenti setelah Santoso tewas setelah ditembak oleh Satgas Gabungan TNI-Polri. "Justru operasi itu dilakukan untuk membebaskan masyarakat yang sudah lama dicengkeram ketakutan oleh kelompok Santoso. Seyogyanya kita pahami dengan benar situasi yang terjadi di Poso baru komentar," kata Ansyaad kepada gresnews.com, Rabu (20/7).

Dia menyebutkan, bahwa saat ini yang penting adalah bagaimana melindungi masyarakat Poso terutama sekitar penangkapan Santoso dari balas dendam kelompok teror ini. " Beberapa kali terjadi setiap ada anggota kelompok ini yang tewas akan ada tindakan balas dendam ke aparat dan masyarakat setempat," ujarnya.

Wakil Presiden Jusuf Kalla mengatakan ada beberapa hal yang dapat dilakukan untuk memberantas penyebaran paham terorisme di Indonesia. Pendidikan hingga lapangan kerja menjadi beberapa faktor yang dapat membantu meredam paham terorisme.

"Pendidikan, lingkungan yang baik dan lapangan kerja, hanya itu," ujar JK usai peresmian pesantren modern internasional Dea Malela di Sumbawa, NTB, Rabu (20/7).

Selain itu peningkatan taraf ekonomi serta pendidikan agama yang modern juga menjadi beberapa hal lain untu melindungi masyarakat dari paham keagamaan yang menyimpang. "Ekonomi yang baik dan agama yang baik tapi moderat," kata JK.

Terkait kelompok Santoso, dia mengatakan masih ada 19 orang terduga teroris kelompok Santoso yang berada di hutan Poso, Sulteng, setelah dua orang tewas termasuk Santoso. JK yakin sisa anak buah Santoso tersebut pasti akan menyerahkan diri. "Biasanya kalau pemimpinnya turun biasanya tidak ada yang lainnya juga pasti turun," jelas JK.

TETAP WASPADA - Pengamat militer dan teroris Khairul Fahmi mengatakan meskipun operasi Tinombala bisa diakhiri dalam waktu dekat namun kemampuan dan kewaspadaan aparatur di daerah harus diperkuat. Caranya dengan melakukan pemeliharaan keamanan secara intensif dan menyiapkan skema mitigasi, mencegah gangguan muncul kembali, menguatkan daya tahan dan melakukan pemulihan kondisi paska operasi dan gangguan keamanan bertahun-tahun ini.

"Tentu saja dengan catatan kuat, jangan sampai mengganggu hak-hak warganegara, kenyamanan di ruang publik apalagi menyisakan trauma berkepanjangan," kata Khairul kepada gresnews.com, Rabu (20/7).

Khairul menjelaskan, tantangan bagi aparat TNI dan Polri untuk bisa menyelesaikan perburuan ini secepat-cepatnya. Sebelum anggota kelompok Santoso yang tersisa berhasil melakukan konsolidasi dan membangun kembali simpul-simpul yang kocar-kacir.

"Tentu ini juga harus dibarengi dengan menutup rapat akses logistik dan sumber daya mereka dari luar. Termasuk di kantong-kantong penyuplainya," ucapnya.

Menurutnya, kelompok Santoso sebenarnya bukan ancaman utama belakangan ini. Posisi mereka sudah terkurung rapat dan kekuatannya terus berkurang tapi jika pemerintah lengah, mereka dapat membangun kekuatan kembali.

Dia menambahkan, kematian Santoso akan berdampak pada krisis di internal kelompok. Pilihannya bagi mereka hanya ada dua, pemimpin baru mengajak turun gunung dan menyerah, atau tetap meneruskan perlawanan dengan melakukan konsolidasi secepatnya, kalkulasi ulang dan mencoba peluang-peluang yang tersisa.

"Saya mengkhawatirkan itu terjadi. Tewasnya Santoso dianggap final dan kita memberi ruang dan waktu bagi mereka untuk semacam hibernasi lalu belakangan muncul kembali dengan pimpinan baru yang bisa saja lebih kuat," katanya.

Menurutnya potensi ancaman teror di Indonesia tidak berkurang hanya dengan tewasnya Santoso. Karena teror ini sesungguhnya adalah kejahatan balas dendam, kejahatan yang berlandaskan kebencian. Dalam persepsi yang diyakini pelaku teror, mereka sudah dijahati, ditindas, diabaikan sehingga mereka layak membalas atau mewakili melakukan pembalasan.

"Nah ini sepenuhnya soal fanatisme dan kegalauan. Akan lebih marak, lebih beragam pola dan metodenya, lebih acak lokasi dan sasarannya. Namun tetap berkonsep panggung," imbuhnya.

Seperti diketahui, dalam penyergapan yang menewaskan Santoso dan Mukhtar, Senin (18/7) lalu ada tiga orang yang melarikan diri dalam waktu baku tembak. Ketiga orang tersebut diketahui, bernama Basri, dan dua lainnya adalah istrinya Santoso bernama Jumiatun Muslimayatun, berasal Bima dari Nusa Tenggara Barat, dan istri Basri bernama Nurmi Usman yang berasal dari Nusa Tenggara Timur.

BACA JUGA: