JAKARTA, GRESNEWS.COM - Usai sudah pengajuan saksi dalam sidang uji materi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Sidang uji materi yang dimohonkan oleh Basuki Tjahja Purnama (Ahok) tersebut digelar selama tujuh kali, digelar pertama kali pada Senin (22/8) lalu. Pada sidang berikutnya yang akan diselenggarakan pada Kamis, (27/10), Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi meminta pihak Pemohon dan pihak terkait untuk mengumpulkan kesimpulan.

"Jadi persidangan ini selesai ya? Minggu depan tidak ada lagi saksi yang dihadirkan," kata Hakim Ketua Arief Hidayat, Rabu (19/10).

Habiburokhman selaku pihak terkait yang berkonfrontasi dengan Ahok merasa senang dengan jadwal yang dikeluarkan Majelis Hakim. Habib yang menolak gugatan cuti kampanye pun kini merasa tengah berada di atas angin. "Menang kita. Menang. Tanggal 26 nanti mau tidak mau dia (Ahok) harus cuti. Sidang MK kan sehari berikutnya, tanggal 27. Jadi apa pun putusan MK nanti, permohonan ini sudah gak relevan buat dia. Tanggal 26 harus sudah ada Plt," kata Habib, saat ditemui gresnews.com usai persidangan.

Habib menjelaskan, putusan MK ini tidak berlaku surut. Artinya, kalaupun gugatan Ahok dimenangkan MK, maka gugatan itu baru berlaku bagi petahana yang hendak mencalonkan diri di Pilkada selanjutnya, bukan di Pilkada serentak kali ini.

Sebagai informasi, Komisi Pemilihan Umum (KPU) DKI Jakarta telah menetapkan tanggal 26 Oktober 2016 hingga 11 Februari 2017 sebagai masa kampanye dan debat publik. Penetapan calon dilaksanakan tanggal 22 Oktober 2016, sedang pengundian serta pengumuman nomor urut calon dilaksanakan pada tanggal 23 Oktober 2016. Lepas dari hasil putusan MK, Ahok sendiri sudah mengajukan cuti ke Kemandagri pada Selasa, (11/10) lalu.

Selaku pihak terkait, Habiburokhman menyebut bahwa legal standingnya dalam permohonan uji materiil yang dimohonkan Ahok adalah posisinya sebagai kader partai Gerindra yang diproyeksikan akan maju sebagai bakal calon gubernur di Provinsi Lampung pada Pilkada 2018. Habib merasa jika gugatan Ahok dimenangkan, maka putusan MK akan merugikan hak konstitusionalnya sebagai warga negara.

Habib mengajukan 4 orang saksi ahli untuk melawan gugatan Ahok, yakni Ketua Jaringan Pendidikan Pemilih Rakyat Masykurudin Hafidz, Ketua Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia Mustafa Fakhri, Rektor Universitas Muhammadiyah Jakarta Syaiful Bakhri, serta Wakil Dekan Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Jakarta Ibnu Sinah. Tiga orang saksi sudah memberikan keterangan secara langsung di hadapan Majelis Hakim MK, sedangkan Ibnu Sinah diminta memberi kesaksian secara tertulis.

Pada persidangan (12/10) lalu, setelah menghadirkan Masykurudin Hafidz dan Mustafa Fakhri, Habib meminta kepada majelis hakim agar dapat menghadirkan dua saksi ahli lagi di persidangan. Majelis pun memberi kesempatan kepada Habiburokhman untuk menghadirkan kedua saksi tersebut Rabu (19/10). Dengan demikian, secara otomatis waktu persidangan pun memanjang, sedang masa kampanye kian mendekat.

Saat ditanya gresnews.com apakah upaya menghadirkan empat orang saksi ahli merupakan upaya untuk mengulur persidangan—dengan demikian membuat pihak Pemohon terdesak—Habiburokhman tidak menafikan hal itu. "Ya kalau mau ditafsirkan seperti itu tidak apa-apa. Silakan. Tapi itu kepintaran kita," kata Habib sambil menempelkan ujung telunjuk di kepalanya.

PENYALAHGUNAAN KEKUASAAN DAN MENCEDERAI DEMOKRASI - Pakar Hukum Pidana sekaligus Rektor Universitas Muhamadiyyah Jakarta Syaiful Bahri yang dihadirkan pihak terkait sebagai saksi ahli menekankan bahwa petahana wajib mengambil cuti selama masa kampanye. "Hal itu sebagai upaya untuk menghindarkan potensi penyalahgunaan kekuasaan selama kampanye," kata Syaiful di hadapan Majelis Hakim MK, Rabu (19/10).

Penyalahgunaan yang dimaksud Syaiful antara lain mengerahkan PNS untuk memilih petahana—dengan ancaman PNS yang bersangkutan akan dimutasi andai tidak memilih petahana—menggunakan kendaraan dinas, menyusun program populis seperti memberi sumbangan kepada kelompok masyarakat tertentu untuk kepentingan pribadi petahana, serta menggunakan anggaran daerah.

Dan selain itu, Syaiful menegaskan bahwa perilaku tidak cuti selama kampanye adalah perilaku yang mencederai pendidikan politik. "Petahana yang tidak cuti sama saja dengan tidak berpartisipasi dalam pendidikan politik bersama rakyat," kata Syaiful.

Sehabis persidangan, Syaiful menjelaskan bahwa proses pilkada demokratis yang kini berlangsung di Indonesia merupakan bagian dari pendidikan politik. "Karena melibatkan seluruh rakyat baik yang mempunyai hak pilih, maupun yang tidak mempunyai hak pilih," kata Syaiful kepada gresnews.com.

Syaiful menambahkan, bagi masyarakat yang tidak mempunyai hak pilih, proses pendidikan politik tetap berlangsung karena mereka turut menyaksikannya.

Lantaran hal itulah Syaiful melihat bahwa untuk menjaga marwah pendidikan politik, aturan yang tepat bagi petahana adalah wajib cuti selama masa kampanye, sebagaimana yang dinyatakan dalam Undang-Undang. "Kewajiban Undang-Undang tidak bisa ditawar. Dalam Undang-Undang yang berlaku saat ini petahana diwajibkan cuti. Itu pintu bagi terwujudnya demokrasi dan pembelajaran politik, tidak cuti berarti mencederai demokrasi," katanya.

Ditarik ke ranah pidana, Syaiful menjelaskan bahwa penyalahgunaan wewenang yang lumrah dilakukan oleh petahana erat kaitannya dengan perilaku KKN, dan melibatkan pihak swasta atau pengusaha. Mereka diminta dana untuk membiayai kebutuhan kampanye sang petahana. Jika petahana menang, pihak swasta ini akan mendapat perlakuan istimewa, misalnya dengan mengeluarkan Perda yang menguntungkan pihak swasta.

"Yang sekarang diajukan malah gak cuti. Banyak penelitian mengatakan gak cuti itu abuse of power. Penyalahgunaan kekuasaan besar kemungkinannya," pungkasnya.

Gugatan wajib cuti yang diajukan Ahok ke MK pada dasarnya dilakukan karena Ahok merasa sebagai petahana dirinya punya tanggung jawab kepada masyarakat DKI Jakarta untuk memastikan program unggulan DKI Jakarta terlaksana, misalnya menanggulangi banjir.

Ahok juga merasa bertanggungjawab mengawal mengawal APBD yang mesti diketok palu di akhir tahun ini. "Kalau saya cuti, berarti APBD DKI baru bisa ketok palu Februari ketika saya kembali. Apa ini tidak bertentangan dengan Permendagri yang menyatakan APBD harus ketok palu sebelum tahun berjalan di depan?," kata Ahok. Rabu (12/10) lalu. Ahok pun menyebut bahwa dalam Permendagri Plt diatur untuk tidak memutuskan persoalan APBD. "Plt tidak boleh lakukan (memutuskan APBD). Jadi tunggu cuti balik dulu," sambungnya. (Zulkifli Songyanan)

 

BACA JUGA: