JAKARTA, GRESNEWS.COM - Nasib Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah DKI Jakarta Prasetio Edi dalam kasus suap pembahasan rancangan peraturan daerah (raperda) terkait reklamasi teluk Jakarta sudah di ujung tanduk. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membidik keterlibatan Prasetio dari pengembangan fakta-fakta persidangan.

Seperti diketahui, peran Prasetio Edi dalam kasus reklamasi terungkap dari sadapan tim penyidik atas pembicaraan antara Manajer Perizinan PT Agung Sedayu Group Saiful Zuhri alias Pupung dengan Ketua Komisi D DPRD DKI Jakarta, Mohamad Sanusi yang telah menjadi tersangka dalam kasus ini.

Dalam percakapan tersebut, Pupung mengungkap adanya desakan dari Bos PT Agung Sedayu Group, Sugiyanto Kusuma, alias Aguan. "Gini Bang, jadi kalau misalnya nanti jam 14.00 lewat tidak ada apa-apa, saya lapor Bos (Aguan), supaya dia bisa tekan Pak Prasetyo (Prasetyo Edi Marsudi) lagi," kata Pupung kepada Sanusi, Rabu (13/7).

Dalam percakapan tersebut, Pupung terlihat menjanjikan uang kepada sejumlah anggota DPRD DKI Jakarta. Pupung memberi janji agar anggota DPRD DKI Jakarta menghadiri rapat paripurna pembahasan reklamasi. Ha itu bertujuan agar jumlah anggota rapat dapat memenuhi syarat pengambilan keputusan.

Dalam rekaman selanjutnya yang diputar penuntut umum, Sanusi mengatakan kepada Pupung, kalau Ketua DPRD DKI Prasetio Edi Marsudi membuat kacau pembagian uang kepada anggota DPRD lain. Dalam hal ini, Prasetio yang menjadi eksekutor pembagian uang terkait pembahasan Raperda reklamasi ini.

"Iya, pembagiannya benar-benar kacau balau deh dia (Prasetio). Makannya kebanyakan. Maksud gue banyak banget, bukan kebanyakan, ngerti enggak lo, kayak enggak ada tempat lain," kata Sanusi kepada Pupung dalam rekaman percakapan telepon.

Kemudian dalam persidangan kemarin, Sanusi yang dihadirkan sebagai saksi membenarkan adanya persetujuan bos PT Agung Sedayu Group, Sugiyanto Kusuma alias Aguan untuk memberikan bantuan sejumlah uang untuk Sanusi. Namun uang itu menurut Sanusi digunakan yang akan maju sebagai bakal calon gubernur DKI Jakarta.

Syarif pun berjanji akan mengusut fakta ini. "Khusus terkait fakta persidangan dalam kasus Sanusi dan kawan-kawan, perlu teman-teman ketahui bahwa semua fakta-fakta dalam BAP dan muncul di persidang itu tidak berhenti di situ aja," tutur Syarif.

Terkait adanya fakta persidangan itu, KPK mulai menginventarisir sejumlah nama yang muncul pada saat proses persidangan terkait kasus tersebut. Nama-nama tersebut, diduga mengetahui cukup banyak dari masing-masing tindak pidana tersebut.

Wakil Ketua KPK Saut Situmorang mengatakan pihaknya akan mendalami berbagai fakta persidangan yang ada, termasuk mengusut berbagai nama yang muncul dalam proses tersebut. Meskipun begitu Saut tidak ingin gegabah dan memilih untuk menunggu munculnya fakta lain dari para saksi yang dihadirkan.

"Iya fakta persidangan itu harus didalami dong. Itu harus di follow-up. Namun tindaklanjutnya seperti apa untuk penyelidikan, tentunya penyidikan yang akan mendiskusikan dengan penyelidik," ujar Saut kepada wartawan, Selasa (19/7).

Selain itu, Saut juga memastikan pihaknya akan kembali melakukan pemanggilan kepada nama-nama yang muncul dalam persidangan. Mereka akan diperiksa lagi untuk mengonfirmasikan kebenaran fakta-fakta tersebut.

"Saya akan kordinasikan kepada penyelidik lebih dulu kapannya (waktu pemanggilan)," kata pria yang sebelumnya menjabat staf ahli Badan Intelijen Negara (BIN) ini.

Hal ini senada dengan pernyataan Wakil Ketua KPK lainnya, Laode Muhammad Syarif. Ia mengatakan pihaknya akan mengusut kebenaran dugaan keterlibatan nama-nama yang muncul dalam proses persidangan. "Kalau seandainya informasi itu ada tambahan penguatan dengan bukti-bukti yang lain, itu akan ditindaklanjuti oleh KPK," kata Syarif, Senin (19/7) kemarin.

PRASETIO MEMBANTAH - Terkait sadapan rekaman pembicaraan antara Saiful dan Sanusi itu soal bagi-bagi uang itum Prasetio sendiri membantah dengan tegas. "Kan mereka menyebut nama gue (saya). Tapi kan bukan suara gue. Silakan tanya ke orangnya," kata Prasetio.

Dia menegaskan tak mau mengomentari hal terkait kasus tersebut. Termasuk soal pengakuan Sanusi dalam pemeriksaan di KPK terkait keresahan anggota dewan karena duit yang dibagikan Prasetio dirasa tidak adil. "Sudah lah, gue enggak comment saja lah. Gue diam saja lah," kata Prasetio.

Politisi PDIP ini justru meminta wartawan untuk mengonfirmasikan ke orang yang berbicara di rekaman atau yang termaktub dalam BAP yang dibacakan jaksa KPK di pengadilan Tipikor. Prasetio bersedia memenuhi panggilan persidangan untuk memberikan keterangan terkait hal ini. "Pasti hadir sebagai warga negara Republik Indonesia yang baik," kata Prasetio.

Sanusi sendiri di persidangan juga menegaskan bahwa Prasetio memang berperan "mengkondisikan" anggota dewan sebelum paripurna. Namun apa yang dimaksud Sanusi dengan mengkondisikan tersebut tidak dijelaskan dengan detail.

"Pimpinan dewan harusnya bisa mengkondisikan anggota-anggota, biasanya kan Rapimgab dulu. Maksudnya semua paripurna itu semua pesannya sampai, tapi ini Pras enggak bisa mengkomunikasikan ke semua orang," kata Sanusi.

Belakangan dari hasil sadapan percakapan Sanusi-Pupung, terkuak yang dimaksud dengan "mengkondisikan" adalah bagi-bagi uang dari pengembang. Lantaran dianggap tak adil, maka rapat paripurna pembahasan raperda reklamasi teluk Jakarta kerap kosong.

"Sehari sebelum percakapan (dengan Pupung) ini, saya ketemu dengan teman-teman (di) Komisi (D), kok kosong-kosong, masak enggak ada isinya paripurna, yang biasa mereka ngomong kok enggak ada isinya, enggak ada bagi-bagi atau apa," kata M Sanusi dalam sidang lanjutan terdakwa Ariesman Widjaja dan Trinanda Prihantoro di Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi (PN Tipikor) Jakarta, Jalan Bungur Raya, Jakarta Pusat, Senin (18/7).

Keterangan itu klop dengan keterangan Sanusi kepada penyidik bahwa banyak anggota dewan resah dan komplain gara-gara Prasetio tak membagi duit dengan rata. Prasetio mendapat bagian duit yang mereka rasa terlalu banyak.

Rapat paripurna untuk mengesahkan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) terkait reklamasi Pantai Utara Jakarta akhirnya tertunda-tunda meski pembahasan sudah selesai dilakukan.

Pupung akhirnya melapor ke bos PT Agung Sedayu, yakni Sugianto Kusuma alias Aguan. Aguan lantas memerintahkan agara anggota DPRD yang ´melintir´ agar dibereskan. "Maksudnya supaya cepat dibereskan bagaimana supaya paripurna itu dapat terlaksana," kata Pupung menjawab pertanyaan penuntut umum KPK saat sidang tersebut.

PIMPINAN KOMISI V DPR JUGA DIBIDIK - Selain kasus dugaan suap raperda reklamasi, KPK juga membidik kasus lainnya melalui fakta persidangan. Salah satunya adalah kasus kasus korupsi pembangunan jalan di Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) yang melibatkan pimpinan Komisi V DPR.

Beberapa nama baru terungkap dalam persidangan dengan terdakwa anggota Komisi V Damayanti Wisnu Putranti yang menjadi tersangka dalam kasus ini mengungkap "jatah" untuk para pimpinan. Mereka diantaranya Ketua Komisi V Fary Djemi Francis, Wakil Ketua Komisi V Michael Wattimena. Dari pengakuan Damayanti, sebagai Ketua komisi mereka mendapat jatah cukup besar hingga Rp100 miliar dari proyek-proyek tersebut.

Damayanti mengaku masing-masing anggota mendapat jatah maksimal Rp50 miliar, sedangkan kapoksi (ketua kelompok fraksi-red) maksimal Rp100 miliar. "Untuk pimpinan saya kurang tahu. Kami diberikan dari kapoksi, kapoksi dari pimpinan. Saya nilainya Rp41 miliar," imbuh Damayanti.

"Di situ ada Djemi Francis (Ketua Komisi V), Michael Wattimena (Wakil Ketua Komisi V), pimpinan yang saya lihat empat, yang saya baca empat. Anggota yang saya lihat ada Pak Bakri (HM Bakri), Musa (Musa Zainuddin), saya, Budi (Budi Supriyanto), Yoseph Umar Hadi, dan Sukur Nababan," sambungnya.

Syarif juga akan menindaklanjuti keterangan tersebut. "Sama hal juga juga yang ada di persidangan tentang jatah proyek terkait Damayanti cs. Kalau seandainya informasi itu ada tambahan penguatan dengan bukti-bukti yang lain, itu akan ditindaklanjuti oleh KPK," tandas Syarif.

Selain nama-nama tersebut, dalam beberapa kasus korupsi yang ditangani KPK juga muncul nama-nama lainnya. Seperti dua bos PT Paramount International Enterprise Eddy Sindoro dan juga Ervan Adi Nugroho. Dalam dakwaan keduanya disebut bersama-sama dengan Doddy Aryanto Supeno memberi suap kepada panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Edy Nasution.

Kemudian ada juga istri dari Gubernur Sumatera Utara Tengku Erry Nuradi, Evi Diana yang disebut memberi suap kepada anggota DPRD Sumatera Utara. Tak hanya itu, Evi juga diketahui menerima sejumlah uang terkait jabatan suaminya tersebut. Meskipun telah dikembalikan, namun sejatinya hal itu tidak menghilangkan unsur pidana yang bersangkutan. (dtc)

BACA JUGA: