JAKARTA, GRESNEWS.COM — Kader Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Masinton Pasaribu berharap Komisi Pemberentas Korupsi (KPK) bertindak cermat, objektif, adil, dan profesional dalam menangani kasus e-ktp. Hal demikian ditegaskan Masinton lantaran dia menduga adanya upaya politisasi di dalam kasus yang menjerat sederet nama tokoh dan partai politik negeri ini.

"Penegakan hukum jangan sampai melebar ke mana-mana. Jangan sampai hukum jangan jadi alat politisasi. Jadi peradilan sosial dan opini," kata Masinton, Sabtu (18/3).

Masinton menerangkan, selama KPK tidak memiliki konstruksi hukum yang kokoh dalam mengungkap kasus e-ktp, kasus yang heboh dibicarakan publik beberapa waktu belakangan ini bakal rentan ditunggangi kepentingan politik. Terlebih, sambung Masinton, meski ada banyak nama yang disebut dalam surat dakwaan yang tebalnya 121 halaman itu, sejauh ini baru dua nama saja yang dijadikan terdakwa di persidangan, yakni Irman dan Sugiharto.

Masinton menekankan, KPK mestinya terlebih dulu memiliki bukti kuat sebelum menyebut sejumlah nama di dalam surat dakwaan. "Harusnya fokus dulu mencari aktor utama. Kasihan yang namanya disebut, tapi belum terbukti secara hukum. KPK mestinya bekerja dalam senyap, ketimbang mengumbar sana-sini dan menciptakan opini. Itu tentu melukai banyak pihak," katanya.

Masinton juga menyatakan, KPK tidak perlu khawatir pihaknya akan dilemahkan atau dikriminalisasi, selama lembaga anti rasuah tersebut bertindak cermat, adil, objektif, dan profesional. Dalam konteks penegakan hukum seperti itu, kata Masinton, dukungan publik terhadap KPK tidak akan surut. ´Sepanjang KPK bekerja demi keadilan dan pemberantasan korupsi, KPK maupun pimpinannya tidak usah khawatir akan dikriminalisasi," sambungnya.

Namun demikian, Masinton mengingatkan, andai KPK bekerja tidak berdasar empat prinsip di atas, reaksi publik akan sebaliknya. Alih-alih didukung publik, anggota Komisi III itu khawatir kasus e-ktp akan jadi lonceng kematian bagi KPK sendiri. "Andai tidak terbukti, kita khawatir kasus e-ktp hanya akan meruntuhkan marwah KPK sendiri. Itu yang kita khawatirkan," katanya.

Saat disinggung gresnews.com apakah pemberitaan saat ini mencederai harga diri PDI P—salah satu partai yang bersama Partai Demokrat dan Partai Golkar disebut-sebut KPK turut terlibat dalam kasus e-ktp—Masinton memberi jawaban singkat. "Silakan dibuktikan sendiri di persidangan," pungkasnya.

Senada dengan Masinton, peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Agus Sunaryanto menyatakan, KPK mestinya fokus pada proses hukum, alih-alih menceburkan diri dalam pusaran arus politik. Hal demikian disampaikan Agus sebagai tanggapan atas pernyataan Ketua KPK Agus Rahardjo beberapa waktu lalu, yang menyebut bakal ada guncangan politik yang ditimbulkan kasus koruspi e-ktp lantaran melibatkan sejumlah nama besar di dalam kasus tersebut.

"Harus dikurangi nih komunikasi-komunikasi (pimpinan KPK-red) yang tidak diperlukan, yang kemudian menimbulkan keresahan politik," kata Agus, Sabtu (18/3).

Agus pun menegaskan, hal paling penting yang kini harus dilakukan KPK adalah fokus pada penegakkan hukum, salah satu bentuknya yakni mengumpulkan alat bukti sebagai bahan di persidangan.

Berkaca pada kasus-kasus korupsi yang sebelumnya terjadi, Agus mengingatkan, saat salah seorang tokoh ataupun atau partai politik tertentu dijerat KPK, tanpa mengeluarkan statement berbau politik pun KPK sudah dianggap sebagian pihak dipolitisasi. Lantaran itulah Agus menekankan pentingnya KPK berjalan di atas rel hukum.

Namun demikian, berbeda dengan Masinton, Agus cukup yakin bahwa apa yang didakwakan KPK benar adanya. Terlebih ada sejumlah pihak yang menyatakan diri telah mengembalikan uang korupsi tersebut sampai 250 miliar rupiah.

"Logikanya, ini kan kasus pengadaan barang dan jasa. Nanti pasti ada pihak swastanya. Karena ini menyangkut anggaran yang memerlukan otoritas DPR, ke depan pasti akan ada nama-nama lain yang muncul. Ini baru tahap awal. Bahkan sangat awal. Makanya pelakunya pun baru level dirjen. Dan itu pun sebelumnya sudah ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejaksaan Agung," papar Agus.

Agus menduga, KPK sengaja menyebut sederet nama sebagai sebuah strategi agar para saksi bicara di pengadilan. Keterangan para saksi itulah yang kemudian akan menjadi legitimasi hukum bagi KPK untuk menyeret nama-nama lainnya. "KPK terlalu berjudi kalau mencantumkan sesuatu tapi tidak punya alat bukti. Ada 100 orang lebih yang akan dipanggil sebagai saksi, dan pasti itu semua akan silih berkait satu sama lain," katanya.

Agus pun mengimbau publik agar sepenuhnya percaya bahwa KPK menegakkan hukum secara profesional. Namun demikian, Agus kembali mengingatkan agar kepercayaan publik itu dibarengi integeritas pimpinan KPK menjaga marwah lembaganya.

"KPK harus hati-hati mengeluarkan pernyataan politik yang membuat keresahan politik. Hal itu pastinya akan memunculkan dinamika di DPR, paling tidak dengan berupaya melindungi nama-nama yang disebut KPK itu," kata Agus.

Agus pun menyebut sinyalemen ke arah sana mulai terlihat. Misalnya, dengan sinyalemen DPR bakal mengeluarkan hak angket—yang secara politik diduga untuk melindungi beberapa nama yang disebut dalam di surat dakwaan—juga upaya mendorong revisi UU KPK. "Itu kan bagian dari upaya melemahkan KPK," katanya.

DIJERAT UU TPPU — Sementara itu, mantan Direktur Tindak Pidana Korupsi Kejaksaan Agung Chairul Imam mengatakan, kasus e-ktp terbilang unik lantaran bukan hanya karena jumlah kerugian negara amat besar dan menyeret sejumlah nama besar, namun karena surat dakwaannya pun demikian tebal. "Surat dakwaan sebanyak 24 ribu halaman adalah hal yang baru. 40 tahun saya bekerja di Kejaksaan, baru kali ini saya dapat kabar ada surat dakwaan setebal itu," kata Chairul.

Lantaran itulah Chairul menyebut kasus ini akan berjalan lama. Andai KPK bisa menuntaskan kasus itu dalam kurun waktu 2 tahun, Chairul menyebut pencapaian demikian patut diacungi jempol. "Jika dua tahun selesai, itu prestasi," katanya.

Terlepas dari persoalan tebalnya surat dakwaan, Chairul menyayangkan bahwa sejumlah nama yang diberitakan sudah mengembalikan uang ke KPK justru tidak disebut di dalam surat dakwaan. Padahal, berdasar Pasal 4 UU Tipikor, Chairul menyebut pengembalian tersebut tidak berarti yang bersangkutan lepas dari jerat hukum pidana.

"Jika dia korupsi, katakanlah tahun 1972, lalu mengembalikan uang itu pada 1976, artinya kan negara rugi karena pada 1973 hingga 1975 tidak bisa melakukan pembangunan," kata Chairul memberi ilustrasi.

Pasal 4 UU Tipikor sendiri berbunyi: "Pengembalian kerugian negara atau perekonomian negara tidak menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3".

Chairul juga menyebut bahwa dalam kasus e-ktp, KPK sebetulnya bisa menjerat para pelaku dengan dua UU sekaligus, yakni UU Tipikor dan UU Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU). Menggunakan dua UU sekaligus disebut Chairul bakal menimbulkan efek jera yang lebih besar.

"Dengan penerapan dakwaan korupsi dan pencucian uang, maka tuntutan dan hukumannya bisa lebih berat sehingga memberikan efek jera bagi para pelaku," kata Chairul.

Menurut Chairul, UU TPPU bisa lebih mudah diterapkan karena saat KPK yang punya kewenangan untuk memeriksa tindakan pencucian uang menemukan aliran dana dari satu rekening ke rekening lain, hal itu sudah bisa ditetapkan sebagai tindak pidana pencucian uang. "Sekali saja pindah tangan, sudah bisa didakwa dengan TPPU," tegasnya.

BOM WAKTU — Direktur Eksekutif IndoBaremeter Muhammad Qadari menilai, jika pernyataan Chairul Imam terbukti benar bahwa kasus e-ktp akan berlangsung lama, maka hal itu akan menjadi bom waktu bagi partai-partai politik yang terseret kasus tersebut.

Saat ini, kata Qadari, dampak politis dari kasus e-ktp mungkin belum terlihat benar. Namun hal itu akan beda jadinya jika melihat konstelasi politik dua tahun mendatang. "Jika memang proses peradilannya berlangsung selama 2 tahun, kasus e-ktp akan jadi bom waktu di 2019. Dampak politisnya akan terlihat di 2019," kata Qadari.

Pakar Politik tersebut juga mengingatkan, kasus korupsi punya daya rusak yang besar terhadap elektabilitas dan citra partai politik. Qadari pun menyebut kasus yang menjerat Partai Demokrat beberapa tahun lalu.

"Partai Demokrat meraih suara di atas 20% pada Pemilu 2009. Namun setelah Angelina Sondakh—yang ironisnya saat itu justru merupakan salah seorang duta antikorupsi,Anas Urbaningrum, Nazarudin, dan Andi Mallaranggeng terkena kasus Hambalang, perolehan suara Partai Demokrat di tahun 2014 menurun hingga hanya 10%," papar Qadari.

Namun demikian, Qadari menyebut penyelesaian atau recovery dampak besar kasus korupsi itu bisa berlangsung cepat tergantung soliditas internal partai yang bersangkutan. Qadari menyebut Partai Keadilan Sejahtera (PKS) merupakan contoh yang baik untuk persoalan ini.

"Setelah Lutfi Hasan Ishaq terkena kasus impor sapi, PKS dengan cepat melakukan recovery. Berbeda dengan Demokrat, perolehan suara PKS di 2014 tidak merosot signifikan," kata Qadari.

Namun demikian, melihat peta politik saat ini, Qadari menyebut kalaupun skandal e-ktp berdampak besar pada 2019, partai yang bisa terkena imbas adalah PDI P. Bagaimanapun, berbeda dengan Partai Demokrat dan Golkar, partai yang mengusung slogan partai milik wong cilik itu sejauh ini tergolong partai yang bersih. "Ini yang terjadi pada Demokrat. Di 2009 mereka mencitrakan diri sebagai partai anti-korupsi, tapi jatuh di 2014," kata Qadari.

Terkait reaksi publik, Qadari pun mengingatkan bahwa hujatan dan serangan publik terhadap partai Islam atau partai yang dikenal bersih dari kasus korupsi, akan berbeda dengan serangan terhadap partai yang selama ini sudah identik dengan budaya laten tersebut. Hal inilah yang bisa membedakan dampak kasus e-ktp--selama belum ada partai lain yang ikut disbut KPK-- antara PDIP, Demokrat, dan Golkar.

"Belum tentu kasus korupsi e-ktp berdampak besar bagi Partai Golkar. Dia kan pemain lama," kata Qadari, diiringi tawa.

Hanya, terlepas dari persoalan bom waktu, Qadari pun menyebut kasus e-ktp sebagai pertaruhan besar bagi KPK. Lantaran itulah senada dengan Masinton dan Agus Sunaryanto, Qadari pun mengingatkan agar KPK setia berjalan di atas rel hukum.

Ada pertaruhan politik di dalam kasus hukum ini. Pertaruhan politiknya memang besar. "KPK bertanggungjawab untuk membuktikan bahwa kasus ini diangkat memang demi penegakkan hukum semata, bukan demi pertarungan politik di 2019," katanya. (Gresnews.Com/Zulkifli Songyanan)

BACA JUGA: