JAKARTA, GRESNEWS.COM – Wakil Presiden Boediono mengapresiasi kinerja Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Boediono menilai, PPATK sukses melepaskan Indonesia dari deretan negara yang masuk daftar negatif pencucian uang di dunia. Menurut Buodiono, PPATK juga telah membuktikan peranannya dalam mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang di Indonesia, khususnya selama masa kerja pemerintahannya.

Hanya saja, kata Boediono, sejalan dengan bertambahnya usia PPATK peran itu perlu terus ditingkatkan untuk maksimalnya penegakan hukum. Khususnya dalam menuntaskan persoalan tindak pidana pencucian uang (TPPU). "Saya pikir, rakyat juga sangat mengharapkan peranan PPATK yang semakin besar. PPATK harus bisa menjadi pengumpan bola yang cermat dan taktis agar penegakkan hukum bisa lebih ditingkatkan," ujar Boediono dalam sambutannya di acara Ulang Tahun ke-12 PPATK di Gedung PPATK, Jalan Juanda, Jakarta, Kamis (17/4).

Senada dengan Wapres, Jaksa Agung Basrief Arief menilai, peran PPATK sebagai lembaga independen sudah dirasakan masyarakat Indonesia. Salah satu buktinya, Indonesia bisa keluar dari daftar hitam tindak pidana pencucian uang pada 2005. "PPATK harus menjalankan tugasnya untuk mengejar uang dan harta kekayaan dari tindak pencucian uang secara lebih agresif lagi," ujar Basrief.

Menurutnya, kelahiran PPATK menjadi warna baru dalam penegakan hukum di Indonesia dalam mengatasi berkembangnya tindak kejahatan yang semakin canggih seiring kemajuan teknologi. "Disahkannya UU Nomor 15 Tahun 2002 itu menjadi landasan kokoh bagi PPATK untuk menangkal tindak pidana pencucian uang bersama pihak-pihak terkait," jelasnya.

Dalam kesempatan yang sama, Kepala PPATK Muhammad Yusuf juga menyampaikan apresiasi kepada seluruh pihak yang bersama-sama PPATK telah berupaya mencegah dan memberantas TPPU. Ia mengungkapkan, kehadiran PPATK berangkat dari kondisi ketidaknyamanan di Indonesia. Saat itu, Indonesia masuk sebagai negara tidak kooperatif terhadap TPPU karena belum punya instrumen untuk mencegah tindak pidana pencucian uang, dan akhirnya kita kena sanksi.

Seiring perkembangan, kemudian muncul UU Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. Seiring perkembangan modus operandi kejahatan, undang-undang tersebut diamandemen menjadi UU Nomor 25 Tahun 2003, dan kini menjadi UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. "Keberhasilan iu tidak bisa dicapai PPATK sendirian, tapi tentu karena kerjasama dengan penyedia jasa keuangan, penyedia barang dan jasa serta penegak hukum lainnya," kata Yusuf.

Yusuf menungkapkan, hingga Maret 2014, jumlah transaksi keuangan mencurigakan (LTKM) lebih dari 162 ribu laporan; transaksi keuangan tunai (LTKT) lebih dari 14 juta laporan; laporan transaksi penyedia barang dan jasa (LTPBJ) diatas 36 ribu; dan laporan pembawaan uang tunai (LPUT) sekitar 12 ribu laporan. "Hasil analisis yang disampaikan ke penegak hukum lebih dari 2 ribu laporan. Sedangkan putusan pengadilan terkait TPPU tercatat 107 kasus dengan hukuman maksimal 17 tahun penjara, denda Rp15 miliar," ujarnya.

Sementara itu, dari 69 laporan hasil analisis PPATK yang ditindaklanjuti diperoleh pemasukan kas negara sebesar Rp1 triliun lebih. Angka ini kata dia, berdasarkan data yang diterima PPATK dari Direktorat Jendral Pajak sejak 2006 hingga saat ini.


Indonesia sebelumnya bersama lima negara lainnya, yaitu Nauru, Nigeria, Myanmar, Filipina, Cooks Island dimasukkan dalam daftar hitam negara yang dinilai tidak koperatif dalam melaksanakan tindak pidana anti pencucian uang. Penyebabnya antara lain, belum maksimalnya penerapan UU Tindak Pidana Pencucian Uang dalam putusan pengadilan, belum patuhnya penyedia jasa keuangan memberikan pelaporan transaksinya, serta belum adanya UU mengenai bantuan hukum timbal balik (mutual legal assistance/MLA).

Kemudian, pada pertemuan tahunan Gugus Tugas Aksi Keuangan untuk Pencucian Uang (Financial Action Task Force/FATF on Money Laundering) di Paris, Perancis, 9-11 Februari 2005, memutuskan, Indonesia bersama Filipina dan Cook Island dikeluarkan dari daftar hitam (non-cooperative countries and territories/NCCT´s) yang dikeluarkan FATF sejak 2001.

Keputusan tersebut dikeluarkan setelah kunjungan tim observasi FATF ke negara-negara tersebut. Dari hasil kunjungan tersebut, Indonesia bersama Filipina dan Cook Island dinyatakan telah sungguh-sungguh dan efektif melakukan perbaikan dalam ketentuan tindak pidana anti pencucian uang yang telah diidentifikasi FATF. Upaya perbaikan meliputi identifikasi nasabah secara ketat, pelaporan transaksi, pengujian atau audit di bank-bank, penerapan secara maksimal ketentuan dalam UU tindak pidana antipencuian uang, serta investigasi mengenai tindakan pencucian uang.

Belum lama ini, Wakil Kepala PPATK Agus Santoso saat memimpin delegasi Republik Indonesia dalam menghadiri sidang FATF di Paris, Perancis pada Senin 10 hingga 14 Februari 2014 lalu, menegaskan sikap Indonesia sebagai negara yang akan memenuhi standar internasional anti pencucian uang. Khususnya anti pendanaan terorisme.

Kata Agus, agenda tersebut menjadi sangat penting lantaran Indonesia sebelumnya masuk dalam daftar hitam FATF karena dianggap tidak mematuhi rekomendasi untuk melakukan pembekuan seketika (freezing without delay) terhadap aset orang-orang yang namanya tercantum dalam list resolusi Dewan Keamanan PBB No. 1267 (UNSC 1267 List). Akibatnya, Indonesia pun masuk dalam public statement sidang tersebut.

"Saya sudah di Paris memimpin delegasi RI di Sidang Financial Authority Task Force. Dalam sidang ini akan saya tegaskan Indonesia adalah negara anti pendanaan terorisme,” kata Agus Santoso kepada Gresnews.com ketika itu.

Lewat pertemun ini, ia berharap Indonesia juga bisa keluar dari Public Statement itu. Untuk memberantas tindak pidana pencucian uang, setiap negara diharuskan mendirikan unit intelijen keuangan yang bertanggung jawab menerima, menganalisis, dan menyampaikan hasil analisis terkait potensi pencucian uang kepada otoritas yang berwenang. Aturan tersebut ditetapkan oleh United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) dan United Nations Conventions Against Transnational Organized Crime (UNTOC).

Kedua konvensi ini telah diratifikasi dengan UU Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi, 2003 dan UU Nomor 5 Tahun 2009 tentang Pengesahan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Menentang Tindak Pidana Transnasional Yang Terorganisasi. Selain itu, standar internasional yang mengatur mengenai pemberantasan pencucian uang dan pendanaan terorisme, yang dikenal sebagai forty recommendations, juga mengatur pentingnya pembentukan unit intelijen keuangan tersebut.

BACA JUGA: