JAKARTA, GRESNEWS.COM - Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengabulkan permohonan uji materi istri terpidana korupsi kasus BLBI Djoko Tjandra, Anna Boentaran terkait ketentuan Peninjauan Kembali (PK) dalam Pasal 263 ayat (1) UU Nomor 8 Tahun 1981 (KUHAP) disesalkan Kejaksaan Agung.  Putusan yang diketok oleh Majelis MK yang diketuai Arief Hidayat pekan lalu itu dinilai terlalu memberi perlindungan berlebihan kepada pelaku tindak pidana dan kejahatan. Tanpa mempertimbangkan sisi pencari keadilan yakni korban.

Akibatnya putusan MK yang diharapkan mengakhiri polemik soal bisa tidaknya jaksa melakukan upaya Peninjauan Kembali (PK). Putusan tersebut malah memantik polemik baru. Sebab Kejaksaan Agung menjadi tertutup peluangnya mengajukan PK.

Jaksa Agung Mohamad Prasetyo mengaku kecewa atas putusan tersebut. Dia juga menyatakan keprihatinannya dari sisi mencari keseimbangan untuk mewujudkan kebenaran dan keadilan. Prasetyo menuding, MK saat ini lebih dikuasai pemikiran memberikan perlindungan berlebihan kepada pelaku tindak pidana dan kejahatan dalam hal ini para koruptor. Sementara melupakan sisi lain Pencari keadilan yaitu korban kejahatan.

"MK yang membuat keputusan bahwa Jaksa tidak bisa mengajukan PK adalah langkah mundur dalam penegakan hukum," kata Prasetyo dalam keterangannya di Kejaksaan Agung, Senin (16/5).

Prasetyo mengungkapkan, dalam melaksanakan tugas penegakan hukum, Jaksa mewakili kepentingan korban, kepentingan masyarakat dan kepentingan negara. Tindak pidana korupsi yang dirugikan bukan hanya keuangan negara,  tetapi di dalamnya juga rakyat karena tindak pidana korupsi sebenarnya telah merampas hak kehidupan ekonomi dan sosial dari rakyat.

Lebih jauh Prasetyo menyampaikan, bukan hanya kali ini MK membuat keputusan yang menunjukkan keberpihakan yang justru menyulitkan penegakan hukum. Sebelumnya MK telah memutuskan memperluas cakupan obyek gugatan praperadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 77 KUHAP. Dampaknya saat ini orang akan begitu mudah dan serta merta menuntut praperadilan ketika ditetapkan sebagai tersangka. Begitu pun ketika penegak hukum Jaksa dan Polisi melakukan penggeledahan dan penyitaan.

"Sesuatu yang sangat menghambat dan mempersulit penyidikan (perkara korupsi)," kata Prasetyo.

Selama ini jaksa mengajukan PK memiliki dasar, celah dan peluang yang dibuka oleh MA melalui Jurisprudensi Keputusan MA yang dalam praktik penegakan hukum di Indonesia merupakan salah satu sumber hukum untuk mengatasi kekosongan hukum yang ada. Namun kini pintu itu ditutup rapat-rapat dan dirampas oleh MK yang salah seorang Pimpinannya menyatakan bahwa keputusan-keputusan itu dibuat untuk melindungi kepentingan hukum tersangka, terdakwa dan terpidana.

Mereka lupa bahwa apa yang diatur dalam KUHAP hampir seluruh pasal-pasalnya sudah merupakan perlindungan bagi kepentingan pelaku kejahatan dan sangat sedikit sekali perlindungan bagi korban kejahatan.

"Jadi dalam menanggapi keputusan MK tersebut sekali lagi Kejaksaan selaku institusi yang tugas dan tanggung jawabnya mewakili kepentingan negara dan masyarakat hanya bisa menyampaikan keprihatinan dan penyesalan. Sebab dengan demikian menjadi hilang kesempatan terakhir bagi mereka untuk dibela dan dilindungi hak-haknya," kata Praseyo.

Seperti diketahui pada 12 Mei lalu, MK mengabulkan uji materi Pasal 263 Ayat (1)UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang dimohonkan Anna Boentaran, istri terpidana kasus cessie (hak tagih) Bank Bali Djoko S Tjandra senilai Rp904 miliar. Pasal 263 ayat (1) KUHAP berbunyi "Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung."

Dalam putusannya MK menyatakan Jaksa Penuntut Umum tidak bisa mengajukan permohonan PK, kecuali terpidana atau ahli warisnya. Ketua Majelis MK Arief Hidayat membacakan amar putusan bernomor No. 33/PUU-XIV/2016 itu.

PK HANYA UNTUK TERPIDANA - Seperti diketahui, Anna Boentaran, lewat kuasa hukumnya, mempersoalkan konstitusionalitas Pasal 263 ayat (1) KUHAP lantaran kasus yang dialami suaminya dinilai tidak adil. Awalnya, Djoko diputus bebas oleh PN Jakarta Selatan hingga tingkat kasasi pada tahun 2001. Alasannya, perbuatan yang didakwakan bukan tindak pidana, tetapi lingkup perbuatan perdata.

Selang 8 tahun kemudian, Jaksa Penuntut Umum mengajukan permohonan PK atas putusan kasasi yang membebaskan Djoko Tjandra ini pada 2008. Pada 2009, majelis PK memvonis Djoko selama 2 tahun penjara karena dinilai turut serta melakukan tindak pidana korupsi. Selain itu, Djoko harus membayar denda Rp15 juta dan merampas uang sebesar Rp45 miliar yang berada di Bank Bali untuk dikembalikan ke negara.

Namun sebelum dijebloskan ke penjara (eksekusi), Djoko kabur meninggalkan Indonesia ke Papua Nugini pada 10 Juni 2009. Djoko dikabarkan menjadi warga negara Papua Nugini dan mengubah namanya menjadi Joe Chan.

Dalam uji materi tersebut, pemohon merasa dirugikan sebagai ahli waris Djoko Tjandra atas pengajuan PK yang diajukan Jaksa tersebut. Pemohon menganggap pasal 263 ayat (1) KUHAP seharusnya dimaknai hanya terpidana dan ahli warisnya yang diberikan hak mengajukan PK. Intinya, Pemohon meminta agar Pasal 263 ayat (1) KUHAP ditafsirkan bahwa permohonan PK hanya bisa diajukan oleh terpidana atau ahli warisnya.

Dalam putusannya, MK memuat empat landasan pokok. Pertama, PK hanya diajukan terhadap putusan yang telah berkekuatan hukum tetap. Kedua, PK tidak dapat diajukan terhadap putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan. Ketiga, permohonan PK hanya dapat diajukan terpidana atau ahli warisnya. Keempat, PK hanya dapat diajukan terhadap putusan pemidanaan.

Kuasa hukum pemohon, Muhammad Ainul Syamsu mengapresiasi putusan MK ini. Dengan begitu, kata dia, putusan ini sekaligus mengakhiri perdebatan panjang boleh  tidaknya jaksa mengajukan PK terhadap putusan inkracht. Sebab, secara filosofis pengajuan PK sedari awal ditujukan melindungi kepentingan terpidana atau ahli warisnya, bukan kepentingan negara yang diwakili lembaga kejaksaan, korban, atau pihak lain.

BACA JUGA: