JAKARTA, GRESNEWS.COM - Tim Penyidik Pidana Khusus Kejaksaan Agung meyakini akan bisa mengungkap dalang kasus korupsi di PT Pertamina Transkontinental (PT PTK). Penyidik saat ini masih mengumpulkan bukti dan memeriksa saksi-saksi untuk mengungkap dua kasus di anak usaha PT Pertamina itu.

Dari pemeriksaan mantan Direktur Utama PT PTK  Ahmad Bambang, penyidik kian meyakini segera mengungkap siapa otak pelaku korupsi yang merugikan negara hingga Rp180 miliar. "(Ahmad Bambang) sudah kita periksa, kita kumpulkan data-data dulu dari saksi lain untuk menetapkan tersangka," kata Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus) Arminsyah di Kejaksaan Agung, Kamis (16/3).

Dua kasus korupsi di PT PTK itu, pertama kasus korupsi penyediaan dan operasional kapal Anchor Handling Tug Supply (AHTS) Kapal Transko Andalas dan Kapal Transko Celebes tahun anggaran 2012-2014. Kedua, kasus dugaan korupsi pengadaan kapal mooring boat dan pilot passenger boat.

Ahmad Bambang  sebelumnya menjalani pemeriksaan kasus penyediaan kapal AHTS pada 20 Februari 2017. Pada Kamis (2/3) ia kembali menjalani pemeriksaan  terkait kasus pengadaan kapal mooring boat. "Dua-duanya masih penyidikan umum belum penetapan tersangka," ungkap  Arminsyah.

Kepada wartawan Ahmad Bambang tak banyak bicara soal kasus pengadaan kapal Mooring Boat. Namun kuasa kukumnya, Djaka Sutrasta menyatakan kasus dugaan korupsi Kapal Mooring Boat, merupakan  kasus lama yang disidik Kejaksaan Agung. Djaka hanya menjelaskan jika rekanan pengadaan dalam kasus ini adalah PT Tri Ratna Diesel Indonesia.

Proyek ini terkait pengadaan dan pembangunan galangan kapal di proyek Donggi Senoro LNG. Penunjukan PT Tri Ratna diduga bermasalah. Dalam kasus ini, Ahmad Bambang yang saat itu menjadi Dirut PT PTK adalah pihak yang dinilai turut bertanggungjawab.

Dari dokumen Minutes of Meeting (MOM) Vessel Procurement Commitee PTK tertanggal 27 November 2013, disebutkan proyek tersebut berupa pembangunan galangan kapal harbour tug, di mana peserta tendernya antara lain Geumgang Shipbuilding Ltd, PT Batarnec, PT Drydocks World. Di mana akhirnya direksi PTK sepakat menunjuk Geumgang sebagai pelaksana pembangunan empat unit harbour tug 60 ton bollard pull.

Sedang, pembangunan galangan small marine vessels di Donggi Senoro LNG, peserta tendernya  antara lain PT Tesco Indomaritim dan PT Tri Ratna Diesel Indonesia. Dimana akhirnya tender dimenangkan oleh Tri Ratna.

Hingga saat ini, delapan mantan Direksi PT PTK telah diperiksa. Mereka diantaranya Endang Sri Siti selaku mantan Direktur Keuangan, Joni H (mantan Direktur Operasional), Adam Marselan (Manager Keuangan/Anggota Tim Pengadaan Kapal dan Gita Dewi Aprilia (Manager Legal dan Compi Lancance). Lalu, Nurkasa Siregar (Corporate Secretary), Ahmad Zainullah Santoso (mantan Sekretaris Pengadaan Kapal), Ana Yuliati (mantan Manager Akunting) dan Ginik Windaryati (Manager Treasury).

KANTONGI BUKTI - Jaksa Agung Moh Prasetyo menyampaikan bahwa penyidik telah mengantongi bukti-bukti dugaan korupsi pengadaan kapal AHTS di PTK. Bukti itu bukan hanya berasal dari hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), tapi penyidik juga telah mengantongi dokumen lain yang mengarah pada tindak pidana.

Menurut Koordinator Divisi Investigasi  Indonesia Corruption Watch (ICW) Febri Hendri AA,  pengadaan dua kapal AHTS senilai 28,4 juta dolar AS (masing-masing 14,2 juta dolar AS) diduga bermasalah. Pengadaan dilakukan oleh PT VMS (Vries Marine Shiypyard) di Guangzhou, Tiongkok.

Berdasarkan data yang dimiliki ICW juga ditemukan kejanggalan PT VMS ternyata yang baru berdiri baru beberapa bulan sebelum mendapatkan kontrak tersebut. Selain itu total dana yang dimiliki perusahaan tersebut hanya Rp1 miliar. Selanjutnya, kata Febri, PT PTK memberikan tambahan uang muka kepada PT VMS senilai 3,5 juta dolar AS tanpa mengikuti prosedur yang telah diatur dalam kontrak sehingga menyalahi perjanjian yang ada dalam kontrak pengadaan kapal.

Namun direksi PT PTK tetap menerima pengadaan satu kapal (trans celebes) meski Gear Box pada main engine tidak sesuai dengan spesifikasi gear box pada kontrak. "Spesifikasi gear box pada kontrak seharusnya merek Reintjes LAF 183P (buatan Eropa) sementara yang dipasang pada kapal tersebut adalah twin disc (buatan Amerika)," kata Febri.

Kejanggalan lainnya, direksi PT PTK tidak menagih denda keterlambatan penyerahan kapal 5 ribu dolar AS perkap per hari sesuai Pasal 8 ayat (4) Kontrak Pengadaan PT PTK dan PT VMS. Dalam kontrak itu kapal pertama harus diserahkan pada 25 Mei 2012 dan kapal kedua 25 Juni 2012. Namun kapan baru diserahkan pada 10 Agustus 2012 (Trans Andalas) dan 8 Oktober 2012 (Trans Celebes).

"Kami menghitung keterlambatan penyerahan dua kapal itu mencapai 175 hari, dengan demikian terdapat denda sebesar 875 ribu dolar AS yang tidak ditagih pada PT PTK pada PT VMS," katanya.

Denda keterlambatan itu, kata dia, dikompensasi pada penambahan peralatan kapal senilai Rp322 juta dan 2.200 dolar AS. Kompensasi denda tidak diatur dalam kontrak dan kontrak tidak diamendemen sesuai dengan masalah ini. "Dengan demikian direksi PT PTK dan PT VMS membuat aturan yang tidak diatur dalam kontrak sekaligus melanggar isi kontrak," katanya.

Kejanggalan lainnya PT PTK memundurkan tanggal amendemen kontrak, yakni tertanggal 3 Oktober 2012. "Tapi sebenarnya kontrak tersebut ditandatangani pada bulan November 2012," katanya.

Namun Ahmad Bambang membantah semua tudingan itu. "Engga ada itu, baca saja laporan resmi BPK, draf itu kan belum dikonfirmasikan ke kita belum kita counter dengan data, dan kalau mau baca saran saya yang final (hasil akhir auditnya)‎," jelas Ahmad Bambang.

Disinggung soal apakah benar dirinya menghapuskan denda keterlambatan kontrak, Ahmad Bambang kembali membantah hal tersebut. ‎"Itu masuk materi, biar pemeriksaan jalan dulu yah,‎" tegasnya.

Yang jelas, Bambang meminta para awak media dan publik dapat membaca hasil akhir audit BPK bukan draf BPK. "Baca lah hasil finalnya, kalau draf itu dia baru lihat dari data, dokumen terus ngambil kesimpulan, lihat lah finalnya," ujar Ahmad Bambang.

BACA JUGA: