JAKARTA, GRESNEWS.COM - Kasus kematian almarhum Munir Said Thalib beberapa tahun silam kembali diungkit. Putusan Sidang Keterbukaan Informasi di Komisi Informasi Pusat yang memenangkan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) atas pemerintah pada Senin (10/10) diharapkan menjadi pintu pembuka tabir gelap kasus pembunuhan Munir.

Pollycarpus yang telah divonis bersalah sebagai pembunuh Munir dinilai bukan tokoh utamanya. Sayangnya dokumen hasil penyelidikan Tim Pencari Fakta (TPF) Munir yang harus diungkap ke publik kini raib. Namun, hilangnya dokumen hasil penyelidikan TPF Munir yang saat ini diributkan bukan hambatan menghukum orang yang paling bertanggung jawab atas pembunuhan Munir.

Jaksa Agung HM Prasetyo mengaku setelah mendapat perintah dari Presiden Joko Widodo, mengaku langsung berkomunikasi dengan pihak-pihak terkait termasuk dengan mantan anggota TPF saat itu. Namun hingga saat ini dokumen tersebut belum didapatnya.

"Yang penting sekarang bagaimana dokumen itu ditemukan, tidak usah dipertanyakan kemana, untuk apa, yang penting kita cari. Kalau ada, kita pelajari, baru langkah selanjutnya," kata Prasetyo di Kejaksaan Agung, Jumat (14/10).

Kejaksaan Agung menyatakan, kasus Munir telah selesai setelah disidangkan dan terbukti dengan menghukum Polycarpus. Namun jika ada fakta baru, jaksa tetap akan mendalaminya. "Untuk penyidikannya menjadi tugas polisi," kata Prasetyo.

Seperti diketahui, dalam sidang gugatan Keterbukaan Informasi beberapa waktu lalu, mantan anggota TPF Hendardi dan Usman Hamid dihadirkan sebagai saksi. Hendardi merupakan anggota TPF dan Usman Hamid adalah mantan sekretaris TPF.

Menurut Hendardi, dirinya telah memberikan hasil penyelidikan TPF pada 23 Juni 2005 kepada presiden saat itu. Hadir saat itu Ketua TPF Marsudi Hanafi, Asmara Nababan, Usman Hamid, dan Kemala Chandrakirana. Sedangkan dari pihak pemerintah hadir selain SBY selaku presiden, ada juga Menko Polhukkam saat itu Widodo AS, Yusril Ihza Mahendra, Sudi Silalahi, Andi Mallarangeng, Hamid Awalauddin dan Jaksa Agung saat itu Abdul Rahman Saleh.

Dalam kesempatan yang sama, Usman Hamid mengaku dokumen tersebut telah diserahkan ke sejumlah pejabat saat itu yakni Menko Polhukam, Kapolri, Mensesneg Yusril Ihza Mahendra, Setkab Sudi Silalahi, Kepala BIN Syamsir Siregar, Presiden SBY dan Jubir Andi Malarangeng. "Seingat saya laporan pendek khusus kepada presiden berupa nama-nama pejabat negara yang terimplikasi dalam pembunuhan berencana kepada Munir," kata Usman dalam kesaksiannya.

Seperti diketahui, TPF Munir dibentuk melalui Keputusan Presiden (Keppres) 111/2004. Tim tersebut bertugas untuk menyelidiki kasus Munir yang dinilai banyak keganjilan lantaran melibatkan Badan Intelejen Negara (BIN). TPF bekerja selama 6 bulan untuk melakukan penyelidikan. Dalam pasal 9 Keppres 111/2004, laporan hasil penyelidikan TPF harus disampaikan kepada publik. Namun, 11 tahun berselang hasil penyelidikan itu tak kunjung diumumkan ke masyarakat.

Kasus pembunuhan Munir sendiri telah menghukum Pollycarpus dengan vonis 20 tahun penjara serta mantan Dirut Garuda Indonesia Indra Setiawan dengan tuduhan memalsukan surat. Namun kini Pollycarpus tak lagi menghuni jeruji besi. Polly mendapatkan kebebasan bersyarat dari pemerintahan Jokowi.

TERGANJAL "ORANG DALAM" - Sementara itu, Koordinator Riset Imparsial Gufron Mabruri mengatakan, langkah Presiden Jokowi memerintahkan Jaksa Agung untuk mencari dokumen TPF patut diapresiasi. Langkah ini juga mestinya dilakukan terhadap Setneg. Tinggal yang perlu dilakukan adalah memastikan Jaksa Agung dan Setneng bekerja untuk mencari itu. Alasannya, meski dokumen hasil TFP ini diserahkan kepada pemerintah sebelumnya, pemerintah sekarang tetap bertanggungjawab untuk membuka hasil penyelidikan TPF munir.

Gufron meminta kasus Munir ini jangan hanya dijadikan alat pencitraan pemerintahan. Meskipun telah memerintahkan Jaksa Agung namun ada ke khawatiran penuntasan kasus Munir akan kembali mandek di Istana. Karena sejumlah pihak yang diduga terlibat kasus Munir ada dalam lingkaran istana. Sebut saja, mantan Kepala BIN Hendropriyono.

Adanya orang di sekitar Jokowi yang diduga terkait dengan kasus pembunuhan Munir, tambah Gufron, harusnya bukan menjadi halangan bagi Jokowi menindaklanjuti putusan sidang gugatan Keterbuakaan Informasi dan mengungkap kasus Munir. Jokowi adalah kepala negara dan pemerintahan yang memiliki kekuasaan untuk memerintahkan pengusutan kasus kasus munir hingga tuntas.

"Publik sangat menanti political will dan langkah konkret Presiden Jokowi untuk mengusut tuntas kasus ini," kata Gufron kepada gresnews.com, Sabtu (15/10).

Hal yang sama disampaikan Wakil Ketua Komisi III DPR Benny K Harman. Persoalan penuntasan kasus Munir bukan hasil penyelidikannya namun kemauan untuk menyelesaikannya. Benny yang juga politisi Partai Demokrat ini mengaku DPR memiliki dokumen tersebut.

Benny meminta pemerintah sekarang fokus untuk menuntaskan kasus ini. Presiden dan pemerintah saat ini diminta jangan terlampau menyalahi pemerintah di masa kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

"Aneh kan kok malah pemerintahnya umumkan hilang dan minta Presiden ke-6 jelaskan itu. Minta aja dulu ke TPF-nya. Jadi lebih baik pemerintah sekarang punya kesungguhan atau keseriusan tidak untuk masalah ini jangan salahkan masa lampau," kata Benny di Kompleks DPR.

TPF MUNIR - Munir Said Thalib, aktivis HAM, tewas diracun dalam perjalanan pesawat menuju Belanda pada 7 September 2004. Tak pelak kematian pendiri Kontras ini menimbulkan reaksi dari masyarakat.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono lantas mengeluarkan Keppres No. 111 Tahun 2004 tentang Pembentukan Tim Pencari Fakta Kasus Meninggalnya Munir. Keppres tersebut secara resmi membentuk Tim Pencari Fakta (TPF) yang bertujuan membantu penyelidikan Polri dalam kasus Munir. TPF Munir yang beranggotakan 14 orang tersebut dipimpin oleh Brigjen Pol Marsudi Hanafi.

Selain membentuk Tim, Keppres tersebut juga mencantumkan kewajiban Presiden yang tercantum dalam Penetapan Kesembilan yang menyatakan: "Pemerintah mengumumkan hasil penyelidikan Tim kepada masyarakat." Setelah kurang lebih selama enam bulan TPF Munir bekerja, masa tugas TPF Munir pun berakhir pada 23 Juni 2005.

Presiden SBY tak membeberkan hasil penyelidikan yang dilakukan TPF. Presiden saat itu hanya menindaklanjuti laporan tersebut dengan membentuk tim penyidikan di internal Polri yang dipimpin oleh Brigjen Marsudi Hanafi.

Tidak diumumkannya laporan tersebut dinilai menghambat proses pengungkapan kasus Munir. Masyarakat tidak dapat mengawasi secara langsung apakah penegak hukum menindaklanjuti setiap fakta yang tercantum dalam laporan TPF.

BACA JUGA: