JAKARTA, GRESNEWS.COM - Hari raya Idul Fitri tahun ini, rupanya membawa "berkah" tersendiri bagi terpidana kasus penggelapan pajak Gayus Tambunan, dan terpidana berbagai kasus korupsi besar M Nazaruddin. Nama Gayus dan Nazaruddin berada di antara 1.421 narapidana kasus korupsi yang mendapatkan remisi hari besar untuk tahun ini.

Hal itu ditegaskan sendiri oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly. Dia mengatakan, dari 2.789 napi tipikor di seluruh Indonesia, sebanyak 517 narapidana berdasarkan PP Nomor 28 Tahun 2009 mendapatkan remisi. Berdasarkan PP Nomor 99 Tahun 2012 sebanyak 1.421 narapidana koruptor mendapatkan remisi.

"Termasuk di dalamnya Gayus Tambunan, M Nazaruddin, Neneng Sri Wahyuni, Deviardi dan Kosasih Abbas mendapatkan remisi karena rekomendasi KPK," ujar Menteri Yasonna di Kemenkum HAM, Jakarta Selatan, Senin (17/7).

Dari ribuan narapidana yang mendapatkan remisi, sebanyak 16 orang ditolak KPK. Sedangkan 848 orang masih dalam tahap pendalaman. "Seharusnya kita akan berikan semua remisi dasawarsa ke semua narapidana kecuali yang dihukum seumur hidup, narapidana mati dan melarikan diri. Khusus napi Tipikor yang kami harus lakukan pendalaman dan melihat pandangan masyarakat ada 848 orang dan 16 ditolak," terang Yasonna.

Gayus sendiri seperti dikatakan Kadiv Pemasyarakatan Kanwil Kemenkumham Jabar Agus Toyib mendapatkan remisi selama dua bulan. Remisi itu termasuk yang terbesar dari besaran remisi yang mulai dari 15 hari hingga dua bulan. "Yang paling besar itu ada tiga napi, salah satunya Gayus mendapat remisi dua bulan," kata Agus.

Gayus saat ini tengah menjalani total hukuman 30 tahun penjara di Lapas Gunung Sindur, Kabupaten Bogor setelah dipindahkan dari Lapas Sukamiskin, Kota Bandung 22 September 2015 silam. Pemberian remisi terhadap Gayus menurut Agus dilakukan karena yang bersangkutan berkelakuan baik. "Tapi selama ini dia (Gayus) berkelakuan baik semenjak tinggal di Lapas Gunung Sindur, jadi bisa mendapat remisi," ucap dia.

Tentunya, soal "berkelakuan baik" bagi Gayus sendiri bisa menjadi pertanyaan besar. Pasalnya, selama ini Gayus justru bukanlah tipe narapidana yang patuh pada hukum. Tentu publik masih ingat ketika Gayus pada tanggal 5 November 2010 pernah plesiran ke Bali menonton pertandingan tenis Commonwealth World Championship.

Padahal, ketika itu, Gayus masuh berada di tahanan Mako Brimob Kelapa Dua, Depok. Belakangan, plesiran Gayus keluar tahanan itu juga ikut mengungkap kasus suap yang dilakukan Gayus terhadap para penjaganya.

Tak cukup sampai di situ, saat sudah divonis dan kemudian dipenjara di LP Sukamiskin, Gayus juga kedapatan pelsiran lagi. Hal itu terungkap dari beredarnya foto Gayus tengah makan siang bersama dua orang perempuan di sebuah restoran di kawasan Panglima Polim, Jakarta Selatan.

Gayus yang saat itu keluar penjara dengan alasan mengikuti persidangan gugatan cerai oleh istrinya di Pengadilan Negeri Agama Jakarta Utara, menyogok petugas yang mengawalnya untuk bisa makan-makan di restoran itu. Akibat "kecolongan" itulah, Gayus kemudian ditransfer ke LP Gunung Sindur.

Pemberian remisi terhadap M Nazaruddin pun menimbulkan pertanyaan. Pasalnya, untuk Nazaruddin, meski tak tercatat pernah kabur dari tahanan, namun Nazaruddin adalah narapidana yang terlibat dalam banyak kasus korupsi. Terakhir, Nazaruddin pada Juni lalu baru saja divonis bersalah dalam kasus tindak pidana pencucian uang (TPPU) dalam pembelian saham perdana PT Garuda.

Nazaruddin divonis 6 tahun penjara dan hukuman membayar denda sebesar Rp1 miliar subsidier satu tahun penjara oleh pengadilan tindak pidana korupsi. Oleh majelis hakim, Nazaruddin dinyatakan bersalah melanggar Pasal 378 KUHP jo Pasal 55 Ayat (1) ke 1 KUHP dan Pasal 3 Ayat (1) huruf a dan c Undang-undang No 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, sebagaimana telah diubah dengan UU No 25 Tahun 2003 jo pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.

Yasonna Laoly sendiri beralasan, pemberian remisi kepada narapidana kasus korupsi--termasuk pada Gayus dan Nazaruddin-- dilakukan berdasarkan aturan hukum. "Harus pokoknya yang sudah dikasih remisi harus ada ketentuannya. Kalau sudah ada ketentuannya pasti kita kasih. Kalau tidak penuhi syarat ya tidak kita kasih. Siapapun itu. (Kasus) narkoba, teroris juga kita kasih. Semua kita kasih tapi harus memenuhi syarat," ujar Yasonna.

Yasonna mengaku hanya bersandar pada aturan, namun dia mengunci dengan pernyataan remisi pada napi korupsi itu diberikan apabila ada persetujuan dari instansi penegak hukum yang memproses, apakah itu Kejaksaan, KPK, atau Polri. "Kalau dari kejaksaan sudah di kasih izin, kita kasih. Kalau dari KPK dikasih kita kasih. Kalau KPK tidak kasih, tidak kita kasih," sebutnya.

DIPERTANYAKAN - Pemberian remisi kepada narapidana kasus korupsi ini, terutama pada narapidana kelas berat seperti Gayus dan Nazaruddin, tentu saja ditentang keras pada pegiat antikorupsi. Alasannya, pemberian remisi itu tidak memberikan efek jera dan melanggar rasa keadilan masyarakat.

Peneliti Indonesia Legal Roundtable (ILR) Erwin Natosmal Oemar mengatakan, dengan pemberian remisi terhadap para napi kasus korupsi, presiden Jokowi dianggap tidak lagi berkomitmen dalam melakukan pemberantasan korupsi. Terlebih, napi sepeti Gayus Tambunan yang mendapatkan remisi, meski pernah berkali-kali kabur dari penjara.

Erwin juga menyoroti pemberian remisi untuk M Nazaruddin. Pasalnya, Nazaruddin terlibat banyak dalam kasus korupsi dan yang terutama adalah kasus korupsi Wisma Atlet, di Palembang, Sumatera Selatan, dimana dia divonis hukuman selama tujuh tahun penjara.

Karena itu, kata Erwin, ILR mempertanyakan alasan pemberian remisi tersebut. "Kasus korupsi di Indonesia sudah banyak terjadi, tetapi pemerintah malah memberikan remisi bagi para koruptor, seakan pemerintah tidak memiliki komitmen dalam memberantas korupsi," kata Erwin di Jakarta, Selasa (12/7).

Dia mengaku, pemberian remisi terhadap dua napi koruptor juga seakan ada kepentingan politis. Alasannya, karena tidak semua koruptor bisa mendapatkan remisi dari pemerintahan Jokowi-JK. Erwin menyebut, ada beberapa para koruptor dari parpol yang tidak mendapatkan remisi. "Ada koruptor dari parpol oposisi pemerintah tidak dapat remisi," jelasnya.

Beberapa diantaranya adalah mantan Menteri Pemuda dan Olahraga Andi Mallarangeng dan mantan anggota Komisi X DPR Angelina Sondakh yang selama menjalani masa hukuman belum sekalipun mendapatkan remisi. Padahal, dibandingkan Nazaruddin atau Gayus, Andi dan Angie relatif lebih kooperatif dalam menjalani hukuman.

Untuk soal itu, Andi Mallarangeng sendiri tak mempersoalkannya. "Remisi? Kita tidak dapat remisi ,yang penting lebaran dimana pun kita bisa nikmati bisa beribadah. Walau tidak bisa pulang masih bisa kumpul dengan keluarga masih bisa makan makanan lebaran, nikmati saja apa yang bisa dinikmati," kata Andi.

Sementara, Angie yang sudah menjalani lima kali lebaran di penjara berharap ada pengampunan, "Ya, berdoa mudah-mudahan cepat bebas dan bisa kumpul. Semoga lebaran keenam saya bisa kumpul dengan keluarga," ujarnya.

Terkait masalah ini, anggota Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan Indonesia Corruption Watch (ICW) Aradila Caesar Ifmaini Idris mengatakan, sikap Menkumham yang gampang memberikan remisi kepada napi korupsi kelas berat bertentangan dengan norma yang ada. "Tentu hal ini tidak tepat. Pertama, memberikan remisi bagi koruptor selayaknya memberikan remisi bagi pelaku kejahatan biasa lain. Serta dapat dianggap sebagai tindakan menyamakan kejahatan korupsi dengan kejahatan biasa," katanya.

Dia menjelaskan, PP No. 99 Tahun 2012 tentang Remisi pada dasarnya tak menghilangkan hak bagi terpidana korupsi sebagaimana yang diatur dalam UU No. 12 Tahun 1995. PP No. 99 Tahun 2012 hanya memperketat pemberian hak tersebut bagi pelaku yang bekerja sama alias whistle blower dan justice colaborator.

"Dengan demikian, argumentasi seluruh napi memiliki hak yang sama terbantahkan, karena terpidana korupsi juga mendapatkan hak remisi yang diperketat dalam PP No. 99 Tahun 2012," katanya.

ICW, kata Aradilla, menekankan, korupsi adalah extraordinary crime. Itu menempatkan posisi pidana korupsi tak setara dengan pidana biasa lain. Oleh karenanya perlakuan terhadap pelaku juga tak bisa serta merta disamakan.

"Kita perlu melihat konteks korupsi dalam skala yang lebih luas, dampaknya dan lain sebagainya. Dalam rangka upaya dan mendorong kerja pemberantasan korupsi pemberatan hukuman bagi terpida korupsi menjadi penting. Sehingga segala upaya dalam hal meringankan hukuman terpidana korupsi dalam bentuk apapun tak boleh terjadi," ujarnya.

Karena itu, "pengistimewaan" kepada terpidana korupsi, menurut Aradilla, adalah wujud ketidakberpihakan pemerintah terhadap upaya pemberantasan korupsi. "Dan pemberian remisi dan pembebasan bersyarat yang syaratnya tidak lebih sulit dibanding dengan narapidana tindak pidana umum, merupakan wujud ketidakadilan bagi masyarakat yang menjadi korban koruptor," ujarnya.

MASIH BISA DITOLERIR - Pendapat berbeda disampaikan pengamat politik dan hukum dari Universitas Pelita Harapan (UPH) Emrus Sihombing. Dia mengatakan, pemberian remisi terhadap terpidana korupsi tidak menjadi persoalan selama remisi yang diberikan kepada  koruptor sesuai dengan UU, dan masih dapat diterima masyarakat.

Hanya saja Emrus menegaskan, pemberian remisi terhadap koruptor juga harus bebas kepentingan politik dan intervensi dari siapapun, sehingga tidak terkesan adanya paksaan. "Saya melihat pemberian remisi menjadi dilematis, karena tidak akan membuat jera para koruptor lainnya, namun di satu sisi dalam UU ada hak-hak terpidana yang harus diindahkan," kata Emrus kepada gresnews.com, Rabu (13/7).

Dia juga mengungkapkan, dalam pemberian remisi juga bukan melihat dari sisi kemanusiaan, tetapi harus dilihat dari kasus korupsi dan hukuman yang mereka jalani agar tidak menjadi persoalan baru bagi pemerintah. Menurutnya pemerintah juga harus bersikap tegas dan selektif dalam pemberian remisi kepada koruptor agar tidak menjadi polemik di masyarakat.

Sebaiknya para napi yang mendapatkan remisi hanya para napi tertentu saja. "Boleh saja napi koruptor dapat remisi tetapi yang harus menjadi perhatian adalah tidak semua para koruptor yang kasus besar dapat remisi, karena akan menimbulkan polemik di masyarakat, jangan juga remisi untuk kepentingan politik," tegasnya. (dtc)

BACA JUGA: