JAKARTA, GRESNEWS.COM - Sidang uji materiil terkait dengan perluasan makna Pasal 284, Pasal 285, dan Pasal 292 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) menjadi sidang terpanjang yang pernah digelar oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Sidang dengan Nomor Perkara 46/PUU-XIV/2016 itu digelar pertama kali pada 7 Juni 2016 dan setidaknya masih akan berlangsung hingga 12 Januari 2017 mendatang.

Perkara yang diajukan Euis Sunarti, seorang guru besar Institut Pertanian Bogor (IPB) dkk, itu juga barangkali menjadi sidang di MK yang paling banyak menghadirkan saksi. Euis selaku pemohon menjelaskan bahwa pihaknya mengajukan uji materiil perluasan makna Pasal 284, Pasal 285, dan Pasal 292 ke MK karena ia menilai pasal-pasal tersebut sudah tidak relevan dengan situasi saat ini.

"Kalau soal aturan, KUHP peninggalan Belanda pun sudah mengatur bahwa yang namanya zina, perkosaan, dan homoseksual adalah masalah kriminal," katanya kepada gresnews.com, Sabtu (10/12).

Hanya saja, menurut dia, aturan yang ada di KUHP sekarang sudah sangat lama dan kondisi sosial ekonomi masyarakat sekarang juga sudah berbeda. Begitu juga ideologi dan dasar negara, sudah berbeda dengan saat pertama kali aturan itu dibuat.

Ia menjelaskan, saat ini Pasal 284 yang mengatur masalah zina hanya menyebut zina sebagai perbuatan yang dilakukan oleh salah seorang yang sudah menikah, baik laki-laki atau perempuan, dengan pihak yang belum menikah. Menurut Euis, pasal tersebut perlu diperluas maknanya karena aturan semacam itu hanya mengatur sebagian kecil fenomena yang terjadi di masyarakat.

"Di masyarakat, perilaku zina tidak hanya berlaku bagi mereka yang sudah terikat pernikahan. Mereka yang melakukan hubungan badan tapi belum menikah, atau melakukan praktik kumpul kebo, sebetulnya tergolong berbuat zina," kata Euis.

Selanjutnya mengenai Pasal 285 KUHP yang mengatur soal perkosaan. Euis menjelaskan, pasal itu memaknai bahwa tindakan perkosaan hanya dilakukan oleh laki-laki terhadap perempuan. Menurut Euis, hal itu tidak relevan karena kenyataannya tindakan asusila itu bisa juga dilakukan laki-laki ke laki-laki, atau oleh perempuan terhadap laki-laki. "Misalnya laki-laki itu dibuat mabuk dulu, dirayu, dipaksa atau diancam dan diintimidasi agar melakukan tindakan zina, kan bisa," tuturnya.

Euis menerangkan, saat seorang laki-laki diperkosa oleh laki-laki lainnya, atau diperkosa oleh perempuan, sang pelaku tidak bisa dikenakan jerat hukum. Dengan kata lain, Pasal 285 tidak memberi perlindungan hukum secara menyeluruh.

Adapun mengenai Pasal 292 yang mengatur soal perbuatan cabul atau homoseksual, Euis menanyakan mengapa aturan itu hanya berlaku bagi tindakan yang dilakukan orang dewasa kepada anak-anak. Sedangkan, menurutnya, tidak menutup kemungkinan bahwa perbuatan cabul juga bisa dilakukan oleh orang dewasa terhadap orang dewasa, atau anak-anak terhadap sesamanya.

"Ada juga kan sebetulnya cabul itu antar orang dewasa, bahkan antar anak-anak, jika anak-anak itu didefinisikan belum berusia 18 tahun berdasarkan undang-undang. Soal itu tidak ada hukumnya, padahal fakta-data dan sebagainya sudah sedemikian rupa," kata Euis.

Euis menegaskan apa yang tengah diperjuangkan pihaknya bukanlah bentuk kriminalisasi, karena aturan yang berlaku sebelumnya juga sudah mengatur bahwa zina, perkosaan, dan pencabulan adalah perbuatan kriminal. "Kalau ada yang menolak permohonan kami dengan alasan kriminalisasi, lebih baik tolak saja pasal-pasal itu sekalian. Biar konsisten," katanya.

Euis menyebut bahwa apa yang berlangsung selama persidangan digelar adalah pertarungan ideologi. "Ini adalah pertarungan ideologi, antara kami pemohon yang masih menghendaki ideologi konvensional, dengan pihak-pihak yang menganut paham liberal dan sekuler. Itu intinya. Kita memang bukan negara agama. Tapi juga bukan negara sekuler. Tetapi pemohon berharap ajaran agama bisa mewarnai aturan-aturan yang ada," katanya.

SEJUMLAH ARGUMEN PIHAK TERKAIT - Permohonan Euis Sunarti dkk mendapat respons beragam dari bebagai kalangan. Pihak-pihak yang menyatakan diri sebagai pihak terkait—utamanya yang menolak permohonan Euis—mempunyai argumentasi masing-masing, atas perluasan makna ini.

Komnas Perempuan dan Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), misalnya. Kedua lembaga yang intens memperjuangkan hak-hak perempuan itu menilai, pasal-pasal yang diujikan oleh Euis Sunarti dkk tidak perlu diperluas lagi maknanya. Baik Komnas Perempuan maupun KPI berpendapat aturan yang berlaku saat ini sudah banyak membantu kinerja mereka.

"Dalam upaya mengembangkan kondisi yang kondusif bagi penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan dan penegakan hak-hak asasi manusia perempuan di Indonesia, selama ini Komnas Perempuan merasa cukup terbantu dengan keberadaan Pasal 284 Ayat (1), Ayat (2), Ayat (3), Ayat (4), dan Ayat (5), sebagaimana yang saat ini ada di dalam KUHP dan juga Pasal 292 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana," kata Ketua Komnas Perempuan, Azriana.

Azriana mengakui hal-hal yang menjadi kekhawatiran pihak pemohon memang sudah menjadi fakta yang tidak terbantahkan. Namun demikian, pihaknya menegaskan bahwa hal yang sekarang dibutuhkan untuk menanggulangi masalah-masalah zina, perkosaan, dan pencabulan tidak saja terbatas pada pemidanaan, melainkan juga pada upaya penanganan dan pencegahan. Oleh karena itulah Komnas Perempuan dan jaringannya lebih menghendaki persoalan itu diselesaikan lewat proses legislasi di DPR bersama pemerintah, alih-alih diselesaikan lewat mekanisme judicial review di MK.

"Yang dibutuhkan adalah perubahan yang menyeluruh. Lagipula, kebutuhan perluasan definisi perkosaan dan memberikan payung hukum pada penyiksaan seksual telah diakomodasi dalam Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual yang saat ini sudah masuk dalam Prolegnas prioritas tahun 2016," kata Azriana.

Melengkapi pendapat Azriana, Dian Kartika Sari dari KPI menyebut bahwa perluasan makna pasal-pasal a quo bisa berdampak buruk bagi ketahanan keluarga. Alasannya, perluasan makna tersebut salah satunya akan berakibat pada perluasan subjek hukum sehingga berpotensi meningkatkan jumlah tindak kriminal di Indonesia.

"Perluasan subjek hukum tersebut sekaligus mengakibatkan perubahan predikat pada setiap orang yang melakukan perbuatan zina dari orang yang bersalah karena melanggar norma kesusilaan atau orang yang berdosa karena melanggar norma agama menjadi orang yang jahat atau penjahat," kata Dian.

Dian menjelaskan, dalam praktik kehidupan sehari-hari, kasus perzinaan jarang sekali diselesaikan lewat proses pidana. Menurutnya, jika pelaku zina dipidana, akan ada dampak buruk yang menimpa suatu keluarga—baik dari segi psikologis maupun ekonomi.

"Apabila pelaku perzinaan mengalami tindak pidana maka seluruh keluarga, suami atau istri, anak-anak, dan orang-orang dalam tanggungan keluarga tersebut akan kehilangan pencari nafkah utama dalam keluarga sehingga mengakibatkan kemiskinan, krisis dalam keluarga, dan hancurnya ketahanan keluarga," kata Dian.

Dian tidak memungkiri bahwa salah satu pihak yang akan mudah terjerat pasal ini adalah tenaga seks komersial. Bagaimanapun, tak jarang dari mereka yang bekerja di ranah itu merupakan tulang punggung sebuah keluarga. Atas hal itu perlu dilakukan upaya komprehensif dari semua kalangan agar masalah-masalah seperti itu bisa diselesaikan tanpa lewat hukum pidana.

Selain itu, kalangan agamawan yang dihadirkan pihak KPI juga menyebut bahwa tindakan zina dan homoseksual merupakan tindakan-tindakan yang penyelesaiannya harus diserahkan kepada institusi keluarga—bukan kepada negara lewat jalur hukum pidana. Pastor sekaligus dosen Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Andang L. Binawan bahkan menyebut bahwa menyerahkan persoalan zina, perkosaan, maupun homoseksual secara langsung kepada negara sebagai perkara kriminal, tak ubahnya mengobati sakit flu dengan kemoterapi.

"Dalam hal ini, peran negara jika terlalu keras justru akan berdampak buruk. Biarkan kehidupan sosial ini memberi solusi supaya mereka ‘yang dalam arti tertentu’ tetap dapat diterima. Keberadaannya sebagai manusia. Barulah jika keberadaan mereka merusak orang lain, negara bisa membantu," kata Andang.

Termasuk penilaian Andang terhadap kasus kaum LGBT. Bagaimanapun, stigma bahwa sidang perluasan tiga pasal dalam KUHP yang mengatur soal zina, perkosaan, dan cabul adalah persidangan mengenai LGBT, sedikit banyak masih melekat dalam perkara ini.

Namun demikian, argumen tak kalah menarik juga disampaikan Yayasan Peduli Sahabat (YPS) yang dalam kapasitasnya sebagai pihak terkait, mendukung permohonan Euis Sunarti dkk. Pihak terkait yang juga mendukung permohonan ini adalah MUI dan Persatuan Islam Istri (Persistri)—lebih menekankan pandangan agama dalam keterangannya, YPS justru memberi keterangan lewat sudut pandang kaum LGBT, yang dalam persidangan kerap disebut sebagai salah satu pihak yang akan mudah menjadi korban jika pasal 285 dan 292 KUHP diperluas maknanya.

YPS adalah satu lembaga yang bergerak dalam bidang sosial, keagamaan, dan kemanusiaan. Secara spesifik, mereka mengkhususkan diri melakukan kegiatan pendampingan terhadap orang-orang yang mengalami ketertarikan terhadap sesama jenis (same sex attraction) serta melakukan kegiatan pendampingan terhadap orang-orang yang mengalami kecanduan terhadap pornografi, gadget, games, serta melakukan edukasi mengenai dunia nonheteroseksual, termasuk juga untuk kalangan LGBT.

Perwakilan YPS Agung Sugiarto mendalilkan, permohonan Perkara Nomor 46/PUU-XIV/2016 merupakan momentum yang tepat untuk menutup celah-celah hukum dan melindungi warga negara Indonesia, termasuk klien-klien YPS.

Menurut Agung, para klien YPS yang memiliki ketertarikan terhadap sesama jenis dan kini tengah dalam masa pendampingan merasa dirugikan atas implementasi pasal-pasal a quo. Menurutnya, kerugian itu timbul karena pasal-pasal a quo tidak bisa melindungi kalangan yang cenderung dikategorikan sebagai kaum homoseksual, namun tengah mengupayakan diri agar bisa kembali hidup normal.

"Klien Peduli Sahabat, baik heteroseksual atau pun yang nonheteroseksual yang ingin keluar dari dunia seks sesama jenis atau relasi cinta sesama jenis, sering kesusahan bahkan mendapatkan ancaman atau intimidasi karena tidak ada payung hukum terhadap masalah tersebut," ungkapnya.

Agung menjelaskan bahwa ancaman-ancaman itu tidak selalu bersifat kasar, namun disampaikan secara halus lewat berbagai media, misalnya gambar atau video-video.  

"Bagi orang umum, hal semacam itu dianggap jijik, tapi bagi klien kami yang tertarik sesama jenis itu betul-betul sangat membangkitkan gairah untuk melakukan tindakan homoseksual," katanya. Lantaran hal itulah Agung berpendapat, upaya mencegah dan menanggulangi masalah-masalah seperti LGBT, justru bisa lebih mudah dilakukan jika permohonan perluasan makna pasal-pasal a quo dikabulkan MK.

"Kami ada tidak untuk mencaci dan memaki kaum LGBT yang banyak disakiti oleh masyarakat. Kami ada untuk memberi solusi, berdamai, serta mendampingi siapa pun dari mereka yang ingin hidup normal. Dikabulkannya permohonan pemohon bisa menjadi salah satu jalan mewujudkan hal itu," katanya.

Menarik menunggu putusan MK mengenai perkara ini. Secara umum, persidangan mengenai masalah pidana ini telah berkembang menjadi persidangan yang menyoal pula masalah-masalah sosial, budaya, ekonomi, moral, agama, bahkan kesehatan. Ahli-ahli yang dihadirkan pihak terkait telah memberi argumen masing-masing dengan cemerlang. Satu-satunya pihak terkait yang belum dihadirkan adalah pihak ahli dari Persistri. Di persidangan berikutnya, Persistri akan menghadirkan tiga ahli. (Zulkifli Songyanan)

BACA JUGA: