JAKARTA, GRESNEWS.COM - Dewan Perwakilan Rakyat menunda pembahasan revisi Undang-Undang tentang Komisi Pemberantasan Korupsi dan mengembalikan naskahnya kepada partai pengusul. Penundaan itu dilakukan karena di internal DPR sendiri tak ada kata sepakat soal revisi itu dan akan melakukan konsultasi dulu dengan Presiden Joko Widodo.

Beberapa fraksi terutama yang tergabung dalam Koalisi Merah Putih (KMP) minus Golkar terus menyuarakan penentangan atas rencana revisi yang dinilai akan melemahkan KPK itu. Sementara partai pengusul seperti PDIP, Nasdem dan Golkar masih terus berupaya untuk menggolkan revisi.

Di sela-sela perdebatan itu, ada kabar sedikit menggembirakan yang disampaikan Wakil Ketua DPR Fadli Zon terkait hal ini. Dalam keterangan pers seusai bertemu dengan Pimpinan KPK Senin (12/10) di kantor KPK, Kuningan, Jakarta, Fadli menyampaikan DPR akan bekerjasama dengan KPK memberantas korupsi.

"Kami ingin bekerja sama dengan KPK untuk sama-sama mengurangi dan memberantas korupsi di Indonesia dan berbagai tempat lain," kata Fadli Zon.

Dia mengakui, pemberantasan korupsi bukan sesuatu yang mudah. Korupsi, kata Fadli, tidak hanya terjadi di legislatif, eksekutif dan yudikatif namun hampir terjadi di semua lini.

Pria yang baru saja terpilih sebagai Presiden Global Conference Parlementarian Anticorruption (GOPAC), atau konferensi anti korupsi antar parlemen yang diikuti 106 negara ini menegaskan, terkait masalah revisi, DPR akan terlebih dulu akan melakukan rapat konsultasi dengan Presiden Joko Widodo.

"Kita di DPR sudah sepakat bertemu dengan Presiden untuk melakukan rapat konsultasi terkait revisi UU KPK. Rapat konsultasi tersebut diharapkan mendapatkan solusi apa yang harus dilakukan," terang Fadli.

Dia mengaku, DPR tidak ingin KPK dibubarkan atau dilemahkan. Jika pun revisi atas UU Nomor 30 tahun 2002 tentang KPK tetap dilakukan, kata Fadli, itu terkait perbaikan dan penguatan. "Untuk itu pasti akan kita dukung," tegasnya.

Dia mengatakan, tak semua usulan revisi yang dinilai melemahkan KPK merupakan usulan DPR. "Pada dasarnya tidak semua yang beredar itu merupakan usulan DPR karena memang belum dibahas," ujarnya.

Komitmen memperkuat KPK, kata Fadli, merupakan bagian dari hasil konferensi GOPAC yang digelar pada Kamis, 8 Oktober 2015 di Yogyakarta. Hasil konferensi itu menegaskan komitmen parlemen meberantas korupsi termasuk melaksanakan mandat Perserikatan Bangsa Bangsa melaksanakan pengadilan khusus kasus tindak pidana korupsi.

"Justru kita mau menyampaikan komitmen itu dari hasil konferensi GOPAC kemarin dan mudah mudahan nanti ada masukan, ada diskusi juga dengan pimpinan KPK," ujarnya.

Sementara itu Ketua KPK Taufiequrrachman Ruki mengatakan kedatangan Fadli Zon ini merupakan sinyal positif bagi lembaga yang dipimpinnya. Alasannya, dari pertemuan itu dia tahu para anggota parlemen seluruh dunia telah berkomitmen untuk memberantas tindak pidana korupsi yang merupakan musuh bersama

Ruki memaparkan, dari hasil pertemuan dengan lima pimpinan, KPK terbukti merupakan lembaga antikorupsi yang telah diakui dunia. "Beliau datang untuk berkonsultasi dengan KPK yang memang diakui juga sebagai agency antikorupsi yang memiliki reputasi yang tidak kecil," pungkas Ruki.

DORONG FRAKSI TOLAK REVISI - Dalam kesempatan itu, selain menerima kunjungan Fadli Zon, pimpinan KPK juga menerima kedatangan Jemmy Setiawan yang merupakan Ketua Departemen urusan KPK DPP Partai Demokrat. Partai besutan Susilo Bambang Yudhoyono ini memang mempunyai departemen khusus antar lembaga pemerintah. Selain KPK, departemen lain seperti ESDM, dan juga perlindungan perempuan dan anak.

Menurut Jemmy, kedatangannya kali ini untuk memberikan dukungan penuh kepada KPK untuk menolak revisi RUU. Hal itu dilakukan setelah pihaknya mendapat masukan dari sejumlah Koalisi Masyarakat Sipil yang diantaranya terdiri dari Indonesia Corruption Watch (ICW) yang menyatakan bahwa revisi RUU akan mengebiri kewenangan KPK.

Menariknya, Jemmy mengakui atas konsistensi KPK sejumlah petinggi partainya pernah menjadi korban. "Kita coba konsisten mendukung KPK, meskipun pahit getirnya pemberantasan korupsi itu dialami Partai Demokrat," ujar Jemmy.

Dalam catatan gresnews.com, sejumlah kader penting Demokrat memang telah terseret kasus korupsi. Mereka diantaranya mantan Ketua Umum Anas Urbaningrum, mantan Bendahara Umum Muhammad Nazaruddin, anggota Majelis Tinggi Jero Wacik, serta Andi Mallarangeng.

Saat ditanya bagaimana bentuk dukungan konkret kepada KPK, Jemmy menjawab singkat. "Kita dorong fraksi di DPR untuk tetap dalam keputusannya menolak RUU KPK," pungkas Jemmy.

Meskipun begitu, Jemmy mengakui bahwa hal ini belum menjadi sikap resmi partainya. Demokrat akan menyampaikan sikap tersebut melalui Sekjen Hinca Panjaitan. Tetapi Jemmy menjamin, sikap resmi nanti tidak akan berbeda dengan pernyataannya ini. Sebab, para DPD dan DPD sepakat menolak revisi tersebut.

PEMERINTAH DUKUNG KPK - Di level pemerintahan sendiri, Menko Polhukam Luhut Pandjaitan mengatakan, Presiden Joko Widodo sama sekali tidak ingin KPK dilemahkan. "Presiden Jokowi tak mau sampai ada pelemahan daripada KPK. Presiden tetap minta KPK sebagai badan yang bisa melakukan penindakan korupsi yang kuat," ujar Luhut di Istana Negara, Jl Veteran, Jakarta Pusat, Senin (12/10).

Luhut menambahkan bahwa pemerintah ingin mendengar penjelasan DPR secara resmi mengenai poin apa saja yang akan diubah dalam UU KPK. Tetapi pemerintah juga telah berkonsultasi dengan berbagai pihak mengenai hal apa saja yang nantinya menguatkan KPK.

"Ada hal pokok, yang pertama adalah menyangkut pada SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan). (Tidak bisa)SP3 itu menurut Ketua Mahkamah Agung, kami konsultasi, itu melanggar hak asasi manusia karena orang yang meninggal (atau) orang yang stroke masa perkaranya jalan terus," ujar Luhut.

Sehingga pemerintah ingin ada kajian lebih lanjut mengenai kemungkinan KPK bisa mengeluarkan SP3. Akan tetapi KPK pun diharapkan tidak asal memberikan SP3 kepada para tersangka korupsi.

Hal-hal yang dianggap memungkinkan KPK keluarkan SP3 selain kematian atau pun tersangka sakit keras adalah ditemukannya bukti bahwa yang bersangkutan tak bersalah. Sehingga ke depannya KPK diminta lebih kuat dalam mengumpulkan bukti-bukti.

"Kedua adalah pengawas. Bagaimana pun KPK harus ada pengawasnya. Organisasi apa yang tak punya pengawas?" imbuh Luhut.

Pengawas itu nantinya bisa ditunjuk oleh pemerintah yang punya tugas tertentu. Luhut membantah bahwa pengawas KPK berasal dari unsur penegak hukum yang masih aktif.

"Ketiga adalah masalah penyadapan itu dilakukan setelah ada alat bukti atau adanya alat bukti bahwa orang ini terlibat korupsi. Setelah itu dilakukan penyadapan dengan izin tim pengawas sehingga dengan demikian tak ada semena-mena atau yang di luar kontrol," kata Luhut.

Penyadapan pun tak memerlukan izin dari lembaga kehakiman. Mengenai penyadapan sendiri menurut Luhut di negara mana pun pasti ada aturan yang mengaturnya.

"Terakhir mengenai penyidik independen. Bisa juga dibenarkan, tapi itu usulan kita belum tahu. Sepanjang itu diaudit kualifikasinya oleh pemerintah," sebut Luhut.

Dengan adanya penyidik independen diharapkan KPK makin kuat. Luhut juga menegaskan bahwa pemerintah sama sekali tak pernah mengusulkan bahwa KPK hanya berusia sampai 12 tahun lagi. "Pokoknya selain empat poin itu, tidak ada!" kata Luhut.

Hal senada disampaikan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Menurut JK, revisi ini bukan untuk membebaskan korupsi di Indonesia namun mengatur pelaksanaannya. Ia memberi contoh adanya pengajuan agar KPK bisa mengeluarkan SP3 untuk kasus yang ditanganinya.

Alasannya, penyidik di KPK juga manusia sehingga tidak luput dari kesalahan. "Kan orang KPK kan manusia biasa bisa salah, contohnya juga AS dan BW minta SP3 juga, masa ketua KPK minta SP3 tapi KPK tidak bisa, tidak adil kan?" sambungnya.

Ia pun memberi ruang sepenuhnya pada DPR terkait pembahasan ini. "Kalau dikembalikan ke fraksi, terserah DPR," ucapnya.

HENTIKAN REVISI - Jika DPR dan pemerintah sepakat menunda revisi UU KPK karena alasan koordinasi, para aktivis antikorupsi yang tergabung dalam Koalisi Bersih justru menegaskan agar revisi UU KPK dihentikan. Koalisi Bersih merupakan gabungan dari ICW, Walhi, KPA, PSHK, Kontras dan Yappika.

Mereka menganggap, pemerintah dan DPR mendukung aksi-aksi korupsi jika revisi tersebut tetap dilaksanakan. Pasalnya, poin-poin yang direvisi dalam UU KPK, justru akan melemahkan aksi pemberantasan korupsi.

"Patut diduga bahwa upaya ini adalah titipan dari para koruptor atau sebut saja pihak-pihak yang berpotensi menjadi tersangka KPK," kata Kepala Departemen Kajian dan Penggalangan Sumber Daya Walhi, Khalisah Khalid dalam konferensi pers di Bakoel Koffie, Jl Cikini Raya, Jakarta Pusat, Senin (12/10).

"Kami khawatir institusi DPR semakin dijadikan arena bagi para koruptor untuk melemahkan musuh-musuhnya," imbuhnya.

Menurut Koalisi Bersih, sejumlah poin yang akan direvisi, mengandung unsur pelemahan KPK. Yakni mengenai batas umur KPK yang hanya 12 tahun dan mengurangi kewenangan penindakan serta menghapus upaya penuntutan KPK.

Selain itu, kewenangan KPK juga dibatasi hanya melakukan penyelidikan dan penyidikan perkara korupsi. Penyadapan dan penyitaan juga harus melalui ketua Pengadilan Negeri (PN).

"Ruang gerak KPK dipersempit. Kasus dibatasi yang bernilai di atas Rp50 miliar. Operasi tangkap tangan tampaknya mustahil dilakukan di masa mendatang," ucap Khalisah.

Oleh karena itu, Koalisi Bersih berharap agar revisi tersebut tidak dilanjutkan. Sebab saat ini KPK lah yang dianggap paling dapat dipercaya Oleh publik dalam menangani kasus korupsi.

Sementara itu, Indonesia Corruption Watch (ICW) menyerukan agar tak memilih calon dari partai pengusung revisi UU KPK. "Perang ini kami lakukan dengan tidak merekomendasikan calon-calon kepala daerah dari partai-partai yang mengajukan revisi seperti Golkar, PDIP dan Nasdem," kata Koordinator bidang Korupsi Politik ICW, Donal Fariz dalam konferensi pers di Bakoel Koffie, Jl Cikini Raya, Jakarta Pusat, Senin (12/10).

ICW, kata Donal, mengimbau masyarakat supaya dalam Pilkada Serentak Desember 2015 mendatang tidak memilih calon kepala daerah dari partai-partai itu. Mereka juga mencatat pihak-pihak yang meminta UU KPK untuk direvisi dan berupaya melemahkan pemberantasan korupsi. "Kami juga siapkan daftar hitam kader-kader partai yang akan mengajukan pileg," tuturnya.

Koalisi Bersih mengaku kecewa berat dengan anggota Komisi III dari Fraksi PDIP Masinton Pasaribu yang justru jadi salah satu inisiator revisi ini. Koalisi ini rupanya pernah mendorong Masinton sebagai politikus yang berkomitmen mencegah korupsi.

Masinton didorong oleh Koalisi Bersih untuk menelurkan ide-ide transparansi, anti korupsi, penegakan HAM, lingkungan hidup dan sebagainya. "Kami sampaikan pada Masinton, ini tanggung jawab kami, Koalisi Bersih yang lari dari perjuangan. Saya nilai saudara Masinton sudah mengkhianati agenda Bersih 2014," kata Donal.

Donal menjelaskan, Bersih 2014 merupakan platform yang didesain oleh Koalisi Bersih dari caleg-caleg yang bersih. Dari proses caleg bersih, ada sekitar 20 orang yang terpilih dari berbagai level. 4 Orang dari 20 orang tersebut, saat ini menjadi anggota DPR, di mana salah satunya adalah Masinton Pasaribu.

"Ada 3 peristiwa yang ditunjukkan oleh Masinton, keluar dari cita-cita Bersih 2014. Peristiwa ini menunjukkan Masinton lebih tunduk pada partai dari pada NKRI," ujarnya.

Peristiwa pertama, kata Donal yakni saat Masinton mendesak Presiden Joko Widodo melantik Komjen Budi Gunawan menjadi Kapolri. Namun akhirnya Jokowi memilih Komjen Badrodin Haiti.

"Kedua, Masinton tidak kami dengar perjuangkan hentikan kriminalisasi Bambang Widjojanto, Abraham Samad dan Novel Baswedan yang seharusnya itu diperjuangkan oleh beliau dalam agenda Bersih 2014," kata Donal.

Kemudian yang ketiga adalah saat Masinton ikut menginisiasi revisi UU KPK ini. Melihat langkah Masinton tersebut, koalisi menganggap Masinton bukan lagi anggota Bersih 2014. "Ini adalah klimaks yang tidak tertahan dan tidak ditolerir lagi untuk coret dia jadi anggota bersih," tegasnya. (dtc)

BACA JUGA: