JAKARTA, GRESNEWS.COM - Mekanisme anjuran dalam mediasi atau konsiliasi penyelesaian perselisihan hubungan industrial dinilai tidak diperlukan dalam norma di Undang-Undang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (UU PPHI). Sebab proses mediasi seharusnya bisa memfasilitasi pihak yang bersengketa dan bukannya malah menganjurkan agar perselisihan tersebut dibawa ke pengadilan hubungan industrial. Untuk itu, kata anjuran seharusnya diganti menjadi risalah mediasi. Sebab jika pada akhirnya mediasi hanya berujung pada anjuran ke pengadilan, yang dibutuhkan adalah risalah dari mediasi tersebut.

Persoalan ini diajukan sejumlah pemohon diantaranya Muhammad Hafidz, Wahidin, Solihin, Herwan, dan Yayat Sugara yang semuanya berstatus sebagai pekerja ke Mahkamah Konstitusi. Mereka menggugat Pasal 13 ayat (2) huruf a dan Pasal 23 ayat (2) huruf a Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (UU PPHI).

Pasal 13 ayat (2) huruf a UU PPHI berisi ketentuan ketika tidak tercapai kesepakatan penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui mediasi, maka mediator mengeluarkan anjuran tertulis. Lalu Pasal 23 ayat (2) huruf a mengatur jika tidak tercapai kesepakatan penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui konsiliasi, maka konsiliator mengeluarkan anjuran tertulis.

Kuasa hukum pemohon Iskandar Zulkarnaen mengatakan prinsip mediasi didasarkan pada kerelaan dengan hasil yang sama-sama menguntungkan kedua belah pihak bersengketa atau win-win solution dan bukan hanya sebagai kewajiban. Persoalannya dalam UU PPHI, penyelesaian sengketa melalui mediasi dan konsiliasi diatur memiliki sifat wajib. Tapi pada prakteknya tidak menghasilkan proses penyelesaian damai.

"Sebaliknya malah diatur hukum acara dalam proses mediasi dan konsiliasi yang merupakan bagian dari alternatif penyelesaian sengketa seakan hanya untuk memenuhi prosedur selayaknya sidang pengadilan biasa," ujar Iskandar dalam sidang uji materi UU PPHI di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Kamis (11/6).

Ia melanjutkan mediasi dan konsiliasi faktanya tidak memfasilitasi pihak bersengketa untuk dapat berunding. Sebab pegawai mediator yang seharusnya menjadi kunci sentral dalam memberikan anjuran malah seolah-olah menjadi ´tiket´ untuk mengajukan sengketa ke pengadilan hubungan industrial (PHI). Padahal dalam ranah hukum mediasi seharusnya tidak mengenal anjuran.

Lalu Pasal 83 ayat (1) UU PPHI mengatur pengajuan ke PHI bisa dilakukan dengan melampirkan risalah penyelesaian mediasi dan konsiliasi. Menurutnya seharusnya dalam UU PPHI diatur soal kewajiban mediator untuk menerbitkan risalah mediasi atau konsiliasi yang merupakan syarat formil gugatan ke PHI.

Ia menambahkan dengan tidak diterbitkannya risalah mediasi atau konsiliasi dan tidak dilampirkan dalam gugatan ke PHI, mengakibatkan hakim PHI memutuskan amar gugatan tidak dapat diterima. Menurutnya tidak diterbitkannya risalah oleh mediator atau konsiliator membuat waktu penyelesaian sengketa lebih lama dari waktu yang telah ditentukan yaitu bisa hingga melewati 30 hari sejak penerimaan permintaan penyelesaian perselisihan. Sehingga prinsip penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang cepat, tepat, adil dan murah tidak terakomodir.

Atas dasar di atas, menurutnya seharusnya mediator tidak perlu memberikan anjuran dan cukup menerbitkan risalah mediasi. Dalam petitumnya, ia meminta agar Mahkamah menghapus frasa ´anjuran´ dalam pasal yang digugatnya atau dinyatakan tidak berkekuatan hukum mengikat.

Mahkamah juga diminta agar frasa ´anjuran´ dimaknai dalam hal tidak tercapai kesepakatan penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui konsiliasi, maka konsiliator mengeluarkan anjuran tertulis dalam bentuk risalah penyelesaian melalui konsiliasi.

Terkait permohonan pendahuluan ini, Ketua Hakim panel Maria Farida Indrati mengatakan pemohon masih terdaftar sebagai pekerja dan berpotensi mengalami perselisihan hubungan industrial di tempat bekerjanya. Tapi pada permohonan, pemohon menggambarkan kasus konkrit yang sudah terjadi.

"Ini perlu dipertimbangkan, kalau perkara ini dikabulkan maka potensi anda dirugikan pasal ini sudah tidak ada lagi, karena putusan ini berarti untuk mereka yang berikutnya. Sedangkan anda katakan berpotensi. Ini maksudnya apa? Apakah anda mengajukan gugatan ini untuk yang lainnya atau untuk perkara anda?" ujar Maria pada kesempatan yang sama.

Lalu terkait dengan risalah, harus dijelaskan mengapa risalah harus disertakan bersama dengan anjuran mediator. Menurutnya perlu dijelaskan lebih dulu soal pemahaman soal anjuran tertulis dan risalah.

Selanjutnya, hakim panel Manahan Sitompul mengatakan para pemohon harus menjelaskan apakah mereka pernah terlibat atau tidak terhadap sebuah kasus konkrit. Jika belum pernah maka para pemohon harus menjelaskan dalam permohonannya soal potensi kerugian konstitusional ke depan.

"Misalnya sebagai pekerja sangat rentan dengan putus hubungan kerja, yang penting ada hubungan kausal dan potensial, yang mungkin akan terjadi," ujar Manahan dalam sidang yang sama.

BACA JUGA: