JAKARTA, GRESNEWS. COM - Meski mengakui secara ideal perlu ada lembaga baru yang menangani sengketa pemilihan umum kepala daerah, Jaringan Pendidikan Pemilih Untuk Rakyat (JPPR) menilai tidak seharusnya Mahkamah Agung (MA) menyatakan keenggannnya, saat kembali diberi wewenang menyelengesaikan sengketa pikada. Sebab MA sudah pernah belajar atas penyelenggaraan sengketa yang sebelumnya ditanganinya.

Apalagi yang mengamanatkan adalah peraturan perundang-undangan, yakni Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota (Perppu Pilkada). "Memang perlu lembaga baru untuk menagani sengketa Pilkada, tetapi MA tidak seharusnya cuci tangan untuk tidak menyelengesaikan sengketa pikada," kata Manajer Koordinator Program JPPR, Sunanto kepada Gresnews.com, Minggu (11/1).
 
Menurut Sunanto, sebagai upaya penegakan yang komprehensif dan penegakan hukum pemilu dapat menemukan bentuknya, MA tidak ada alasan menolak tugas itu. Alasannya, sampai saat ini payung hukum sengketa hasil pilkada sudah ada diserahkan ke MA pasca keputusan Mahkamah Konstitusi (MK).
 
Perkara ini, lanjutnya, awalnya sudah ditangani MA sebelum menjadi kewenangan MK sejak 2009. Tetapi kemudian kewenangan ini dibatalkan oleh MK sendiri pada Senin, 19 Mei 2014 lalu. Saat itu, Majelis hakim MK memutuskan untuk menghapus kewenangannya sendiri mengadili sengketa pilkada.

MK menghapus pasal 236C Undang Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda) dan Pasal 29 ayat 1 huruf e UU No. 48/2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Pasal 236C mengatur mengenai penyerahan wewenang Mahkamah Agung menggelar sengketa pilkada ke MK. "Saat ini, hal itu solusi yang tepat ketimbang di sengketa di MK," tegasnya.
 
Menindaklanuti putusan tersebut, Susilo Bambang Yudhoyono, presiden kala itu mengeluarkan perppu yang menganulir keberadaan Undang Undang Nomor 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Kepala Daerah (UU Pilkada). Diantaranya menyebutkan sengketa pilkada diselesaikan di Pengadilan Tinggi (PT). Jika tidak puas, maka para pihak bisa mengajukan banding ke MA. Putusan MA ini bersifat final dan mengikat.
 
Hal tersebut tertuang dalam Pasal 157 Perppu Nomor 1 Tahun 2014 yang menyatakan dalam hal terjadi perselisihan penetapan perolehan suara hasil pemilihan, peserta pemilihan dapat mengajukan permohonan pembatalan penetapan hasil penghitungan perolehan suara oleh KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota kepada Pengadilan Tinggi yang ditunjuk oleh Mahkamah Agung.
 
Merespons ketentuan itu, salah satu hakim agung dari MA memunculkan wacana pengadilan khusus pemilu atau electoral court. Hakim Agung MA bidang Tata Usaha Negara Supandi mengatakan perselisihan pemilu dari administrasi hingga pidana harus melewati Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) lebih dulu.

Lebih lanjut, ia berharap sengketa pemilu akan lebih baik jika selesai di tingkatan tersebut dan tidak berlanjut ke pengadilan. Salah satu alasannya, mereka yang bersengketa seringkali tidak puas dengan hasil putusan sehingga justru menghina pengadilan. Meski demikian Supandi mengakui, wacana pengadilan khusus pemilu memang masih bersifat ius konstituendum (hukum yang dicita-citakan).

"Kita menginginkan negara ini mempunyai suatu pengadilan khusus pemilu, semacam wasit sepakbola," katanya usai bertemu dengan pimpinan Komisi Pemilihan Umum (KPU) di Jakarta, beberapa waktu lalu.

BACA JUGA: