JAKARTA, GRESNEWS.COM - Sejumlah dokter yang tergabung dalam Dokter Indonesia Bersatu (DIB) meminta Mahkamah Konstitusi menyatakan Pasal 66 Ayat (3) Undang Undang Praktik Kedokteran bertentangan dengan Undang Undang Dasar 1945 (UUD). Para dokter itu meminta MK menyatakan pasal tersebut inkonstitusional bersyarat (conditional unconstitutional).
 
Para pemohon yang terdiri dari dr. Agung Sapta Adi, dr. Yadi Permana, dr. Irwan Kreshnamurti, dr. Eva Sridiana, dan dr. Lewis Isnadi meminta pasal yang berisi tentang pengaduan dokter oleh pasien ini dihapus dari UU Praktek Kedokteran. Sebab pasal itu membuka peluang dokter dikriminalisasikan tanpa alasan yang kuat.
 
Pasal 66 Ayat (3) berbunyi: "Pengaduan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) dan Ayat (2) tidak menghilangkan hak setiap orang untuk melaporkan adanya dugaan tindak pidana kepada pihak yang berwenang".
 
Dalam sidang lanjutan permohonan pencabutan pasal terseut di MK hari ini, Rabu (1/10), DIB menghadirkan saksi ahli pemohon Prof Dr Syamsu Hidayat Sp Bedah. Dalam kesaksiannya, Syamsu mendorong agar lembaga Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) dioptimalkan ketimbang membuat aturan yang membuka peluang mengkriminalisasikan seorang dokter.

Syamsu mengatakan, saat ini sesuai UU Praktek Kedokteran, seorang dokter dapat diadukan, diadili, dan diputus bersalah oleh sebuah lembaga bernama Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia. "MKDKI perannya harus dioptimalkan sehingga seperti harapan semuanya, rakyat terlindungi dan dokter dapat menjalankan tugasnya secara profesional," jelas Syamsu saat bersaksi di gedung MK, Jalan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Rabu (1/10).

Juru Bicara DIB dr. Agung Sapta Adi menjelaskan, tindakan kedokteran yang dapat dibawa ke ranah hukum pidana harusnya dibatasi dalam dua kondisi. Pertama, tindakan kedokteran yang mengandung kesengajaan (dolus/opzet). Kedua, tindakan kedokteran yang mengandung kelalaian nyata/berat (culpa lata) seperti yang sudah diatur dalam Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia Nomor 4 Tahun 2011 tentang Disiplin Profesional Dokter dan Dokter Gigi.

Ia mencontohkan tindakan kedokteran yang mengandung kesengajaan adalah melakukan perbuatan yang bertujuan untuk menghentikan kehamilan yang tidak sesuai dengan UU. Sedangkan tindakan kelalaian dokter, misalnya, tertinggalnya peralatan medik dalam tubuh pasien, operasi yang seharusnya pada kaki kanan keliru pada kaki kiri dan seterusnya. "Selain kedua tindakan tersebut, seharusnya, tidak tepat dan tidak dapat dijadikan obyek tindak pidana," kata Agung kepada Gresnews.com, Rabu (1/10).

Agung mengungkapkan, seorang dokter dapat diadukan, diadili, dan diputus bersalah oleh MKDKI atas pengaduan masyarakat menyangkut pelanggaran disiplin profesional kedokteran dan kedokteran gigi. "Ancaman hukumannya sungguh tidak ringan, antara lain berupa pencabutan surat izin praktik (SIP) atau Surat Tanda Registrasi (STR) baik untuk sementara waktu atau pun selamanya," jelasnya.

Untuk itu, pemohon meminta Pasal 66 Ayat (3) UU Praktek Kedokteran harus dibaca: "Pengaduan sebagaimana dimaksud Ayat (1) dan Ayat (2) tidak menghilangkan hak setiap orang untuk melaporkan adanya dugaan tindak pidana kepada pihak yang berwenang sebatas hanya berlaku terhadap tindakan kedokteran dalam dua kondisi saja, yaitu tindakan kedokteran yang mengandung kesengajaan (dolus/opzet) atau tindakan kedokteran yang mengandung kelalaian nyata/berat (cupta lata) dan telah dinyatakan terbukti terlebih dahulu dalam sidang Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia".

"Tujuan memberikan kepastian hukum pada profesi dokter, agar dapat memberikan layanan kesehatan yang berkualitas kepada masyarakat," kata Agung. Alasan mereka, ketentuan pasal tersebut membuka interpretasi luas terhadap tindakan kedokteran diserupakan dengan perbuatan yang dapat dikualifikasi sebagai tindak pidana.
 
Kemudian, ada beberapa tindakan medis yang tidak dilakukan karena keadaan mendesak dan harus segera menyelamatkan jiwa pasien serta tidak tersedianya waktu untuk melakukan pemeriksaan penunjang lagi. Dalam situasi seperti ini, menurut mereka dokter akhirnya dapat dipersalahkan karena diangap melakukan kelalaian yang mengakibatkan kematian seseorang.
 
Dalam legal standing (kedudukan hukum) para pemohon tersebut, mereka menjelaskan ada kerugian yang nyata atas berlakunya pasal tersebut. Diantaranya, kasus yang menimpa dr Dewa Ayu Sasiary Prawarni, dr Hendry Simanjuntak, dan dr Hendy Siagian. Ketiga dokter spesialis kandungan ini sempat dipidana karena tuduhan malpraktik atas meninggalnya pasien Julia Fransiska Makatey tahun 2010 lalu.
 
Di Pengadilan Negeri Manado, ketiga dokter tersebut divonis bebas. Namun, MA mengabulkan kasasi jaksa, memvonis ketiga dokter dengan 10 bulan penjara. Ketiga dokter kemudian ditangkap. Selanjutnya, MA mengabulkan permohonan Peninjauan Kembali (PK) yang diajukan dokter Dewa Ayu Sasiari Prawani dan kawan-kawan.

Majelis PK MA membalikkan putusan kasasi yang memvonis dokter yang bertugas di Manado, Sulawesi Utara, itu 10 bulan penjara. "Kerugian potensial adalah nasib dari para Pemohon ini menurut penalaran yang wajar akan bisa bernasib sama seperti dokter Ayu," kata kuasa hukum pemohon, Wirawan Adnan, dalam sidang sebelumnya, Selasa (18/3) lalu.
 

BACA JUGA: