JAKARTA, GRESNEWS.COM - Pergantian tahun baru saja tiba yang disambut dengan suka cita oleh masyarakat. Tapi tidak dengan sekelompok orang di Desa Manislor, Kecamatan Jalaksana, Kabupaten Kuningan. Kedatangan tahun baru menjadi penanda ihwal panjangnya pengharapan mereka menunggu hak-hak konstitusionalnya sebagai warga negara, terpenuhi.

"Sejak 2012 hingga detik-detik ini, hak sipil kami untuk memperoleh Kartu Tanda Penduduk elektronik (e-KTP) belum terpenuhi. Atas kebijakan bupati, e-KTP kami mash ditahan oleh Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Disdukcapil) Kabupaten Kuningan," kata Irfan, salah seorang pemuka jamaah Ahmadiyah, kepada gresnews.com, Minggu (1/1).

Irfan memaparkan sudah sejak 2012 lalu jamaah Ahmadiyah Desa Manislor sudah melakukan perekaman data sebagai syarat mendapat e-KTP. Dengan kata lain, data mereka sudah ada di Dinas Dukcapil setempat. Namun hingga sekarang e-KTP itu belum juga dicetak dan diterbitkan.

"Karena ada intervensi bupati yang berpegang pada fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang menyebutkna Ahmadiyah dianggap sesat dan non muslim. Itu yang dipersoalkan, sehingga saat ini kami diminta membuktikan ke-Islaman kami dengan membuat pernyataan lewat dua kalimah syahadat tertulis di depan dua orang saksi dari pemerintah dan petugas Dukcapil," kata Irfan.

Irfan menambahkan, pihaknya menolak melakukan hal tersebut karena dinilai bertentangan dengan konstitusi Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) dan syarat seperti itu tidak pernah ada sebelumnya. "Sehingga belum ada titik temu. Dukcapil belum berani mengeluarkan e-KTP dan sebagai gantinya kami hanya diberi secarik kertas keterangan pengganti e-KTP," tambahnya.

Ia menjelaskan, Bupati Kuningan Acep Purnama belum berani menerbitkan e-KTP bagi jamaah Ahmadiyah Manislor yang di kolom agamanya tertera Islam karena adanya protes & keberatan dari kelompok/ormas intoleran. "Padahal di desa tetangga, yang di sana ada anggota Ahmadiyah juga, mereka tidak dipersulit mendapat e-KTP. Termasuk di wilayah lain di Kabupaten Kuningan. Jamaah Ahmadiyah lain juga sama bisa mendapatkan e-KTP. Jadi ini kasusnya hanya lokal di Desa Manislor saja," katanya.

Irfan mengaku pertengahan Desember lalu pihaknya sudah mengadu kepada lembaga Ombudsman. Dalam aduannya, mereka berharap agar warga Ahmadiyah Desa Manislor bisa mencetak e-KTP langsung di kantor pusat Dukcapil. Menurutnya, dengan situasi yang tak kunjung berubah sejak 2012 lalu, mencetak e-KTP di Kuningan tak ubahnya memeluk gunung.

"Dengan kondisi seperti ini, rasanya hal itu masih sangat sulit," katanya.

Irfan menyebut bahwa Ombudsman sendiri sudah berkomitmen membantu, bahkan sudah menyampaikan laporannya ke Ditjen Dukcapil, Kementerian Dalam Negeri. "Cuma sayang sampai sekarang belum ada kabarnya lagi. Infonya, pejabat-pejabat di bawah menteri & dirjen Dukcapil sudah oke. Tapi staf-staf di bawahnya itu yang belum juga melakukan eksekusi," ujarnya.

Dia menjelaskan sebetulnya bupati Kuningan, baik Acep Purnama maupun bupati terdahulu yang meninggal dunia, Utje Suganda, sudah ditegur dan disurati oleh Ditjen Dukcapil. Tapi hal itu tidak membuahkan hasil. Selain itu, stri almarhum Gus Dur Sinta Nuriyah, juga Ketua Pengurus Besar Nahdatul Ulama (PB NU), sudah turun tangan meminta agar e-KTP itu segera dibagikan. Demikian pula ketua DPRD Kuningan dan perwakilan masyarakat Kuningan di DPR RI. Semuanya sudah mencoba berusaha membantu.

"Kyai Maman Imanulhaq, ibu Eva Kusuma Sundari, ibu Puti Guntur dan anggota Kaukus Pancasila DPR sudah datang dan audiensi dengan bupati. Tapi ketika mereka pulang, tidak ada dampak apa-apa. Kami tidak tahu apa yang sebetulnya beliau (Acep Purnama -red) inginkan," kata Irfan.

Irfan juga menjelaskan bahwa pihaknya selaku minoritas kerap dijadikan komoditas politik untuk meraup dukungan massa. Adapun pihak yang kini berkuasa, menurutnya, punya kedekatan dengan sejumlah kelompok intoleran. Padahal, ditinjau dari hubungan sosial, Irfan menyebut tidak memiliki masalah dengan sebagian besar umat Islam. Beberapa ormas Islam dan pemuka agama di Kuningan intens menjalin komunikasi dengan kelompok Ahmadiyah Manislor.

"Kita sering silaturahmi dengan mereka. Bahkan Ketua MUI juga sudah sering diundang untuk memberi ceramah di Manislor. Tidak ada masalah. Responnya bagus. Ini persoalan politik. Pak bupati sepertinya sedang bermanuver. Padahal backgroundnya adalah PDIP. Mestinya beliau nasionalis, bukan malah mempersoalkan keyakinan seperti ini," katanya.

Terakhir, Irfan menyebut kerugian-kerugian yang didapat langsung warga Ahmadiyah di Manislor terkait persoalan e-KTP itu. "Ada ibu-ibu yang sampai menangis-nangis karena anaknya mau melamar kerja belum punya e-KTP. Mau bayar pajak, ngurus SIM, buka rekening dan mengurus keperluan lain di bank juga sulit. Bikin BPJS dan lain-lain juga sama. Memang kami dikasih surat keterangan pengganti e-KTP, tapi kadang gak bisa dipakai karena dianggap gak berlaku," pungkasnya.

MASALAH PELIK - Sementara itu, Kepala Biro Hukum Kementerian Dalam Negeri Widodo Sigit Pudjianto menyampaikan pada prinsipnya semua warga negara Indonesia berhak menerima identitas dari negara berupa Kartu Tanda Penduduk. Terkait hal itu, adalah kewajiban negara untuk memberi kartu identitas itu kepada seluruh warga negara.

"Adapun mengenai kasus Manislor, kepala daerah harus mampu menyelesaikannya karena itu kewenangan yang diberikan kepada kepala daerah," kata Sigit kepada gresnews.com, Minggu (1/1).

Selanjutnya, Sigit juga menjelaskan dalam kasus Manislor kepala daerah juga tidak bisa disalahkan sepenuhnya. Seiring adanya intervensi dari pihak lain yang menyatakan bahwa Ahmadiyah bukan Islam, bupati sendiri sudah berusaha menawarkan penyelesaian dengan meminta warga Manislor untuk bersyahadat di hadapan para saksi.

"Tadi kan dibilang bahwa yang membuat warga Ahmadiyah itu kesulitan mendapatkan e-KTP adalah karena mereka dianggap bukan Islam. Terus mereka diminta mengucapkan syahadat, kenapa gak mau?" kata Sigit.

Sigit lalu memberi analogi. Andai seseorang mengaku sebagai warga Indonesia, namun menolak membacakan Pancasila, hal itu juga sama-sama bisa menimbulkan polemik. "Demikian juga kalau ada orang mengaku beragama Kristen, tapi menolak membacakan Injil atau dibaptis. Itu juga bisa menjadi masalah," tambahnya.

Sigit memaparkan, saat dirinya masih menjabat sebagai Kasubid Sospol Kemendagri, Sigit sudah pernah mendatangi langsung Desa Manislor. Menurutnya, saat itu ada polemik serupa di Kuningan. Sekelompok massa menyebut jamaah Ahmadiyah bukan Islam, dan hal itu terselesaikan karena sebagian dari mereka akhirnya tidak menolak saat diminta mengucapkan dua kalimat syahadat.

"Nah, yang Manislor ini menolak mengucapkan syahadat. Begitu juga dalam kasus e-KTP. Kalau ada jamaah Ahmadiyah lain di Kuningan mendapat e-KTP, itu karena mereka bersedia mengucapkan kalimat syahadat," kata Sigit.

Sebelumnya, dalam sidang judicial review tentang kolom agama yang berlangsung di MK pada (7/12) lalu, Sigit menegaskan akan menegur kepala daerah yang mempersulit warganya mendapatkan e-KTP. Namun dalam konteks Manislor, Sigit menyebut bahwa ungkapan mempersulit itu harus dilihat secara gamblang.

"Jelas, kepala daerah yang mempersulit warga mendapat e-KTP akan kita tindak. Tapi dilihat dulu mempersulit itu seperti apa? Untuk kasus Manislor, bupati juga mendapat kesulitan karena adanya desakan dari pihak lain. Dan dia sudah menawarkan jalan tengah. Jadi itu belum tentu mempersulit," katanya.

Terkait hal itu, Sigit menyarankan agar dalam kasus-kasus seperti itu setiap pihak bisa pandai menempatkan diri agar terhindar dari berbagai bentuk konflik.

Sementara itu, dihubungi terpisah, staf Kementerian Hukum dan HAM Hotman Sitorus menilai, persoalan Manislor memang cukup pelik. Pasalnya, kasus itu berbenturan dengan persoalan perbedaan di dalam satu kelompok agama. Bagaimanapun, tidak bisa dinafikan bahwa masalah perbedaan kepercayaan di dalam beragama merupakan salah satu persoalan laten di Indonesia.

"Kalau menyangkut urusan keyakinan begitu, itu sulit. Perbedaan kan timbul di antara mereka sendiri. Bukan diciptakan pemerintah. Idealnya, persoalan seperti itu bisa diselesaikan oleh mereka sendiri," kata Hotman kepada gresnews.com. (Zulkifli Songyanan)

BACA JUGA: