JAKARTA, GRESNEWS.COM - Polemik mengenai tumpang tindihnya penggunaan tanah di kawasan hutan ternyata menjadi masalah serius yang harus diselesaikan. Hal ini terbukti dari diadakannya pertemuan tiga kementerian dan lembaga yang digagas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dalam pertemuan ini, KPK bersama Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup (Kemenhut dan LH), Badan Pertanahan Nasional (BPN) serta Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) kembali melakukan koordinasi lanjutan untuk membahas masalah tersebut.

Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto mengatakan, pertemuan ini untuk memastikan seluruh reaksi dari agenda aksi yang disepakati sejak beberapa waktu lalu. Selain itu, juga menjadi ajang tatap muka dan koordinasi mengenai masalah tersebut pasca dibentuknya pemerintahan yang baru.

"Di Kementerian ada nomenklatur baru mengenai kementerian, kemudian pimpinan-pimpinannya orang-orang yang menduduki posisi baru. Kami ingin memastikan untuk sharing bersama apa yang sudah kita lakukan dan apa saja yang mungkin muncul menjadi masalah yang harus kita selesaikan bersama," kata Bambang kepada wartawan di Kantornya, Jumat (7/11).

Bambang menyatakan, dalam pertemuan sebelumnya, KPK bersama beberapa Kementerian terkait telah berhasil membuat peraturan bersama mengenai tata cara penyelesaian penguasan tanah di kawasan hutan. Dan kali ini, pertemuan diadakan untuk mendiskusikan lebih lanjut sejauh mana proses itu sudah dilakukan.

Selain itu, kata Bambang pertemuan ini juga membahas masalah yang ditemukan di lapangan dan bagaimana menyelesaikan masalah-masalah itu. Pertemuan itu juga membahas apakah ada problem baru yang ditemukan Kementerian atau Lembaga tersebut selama proses penanganan masalah tanah di kawasan hutan.

"Selanjutnya akan ada kordinasi yang sangat intensif tidak hanya di Kementerian tapi nanti dengan Pemda. Ini harus kita selesaikan semua," tandasnya.

Pendiri Indonesia Corruption Watch ini menjelaskan, dari pertemuan tadi dicapai lima isu menarik yang berhasil diselesaikan. Pertama, masalah mendasar adalah harmonisasi peraturan perundangan di bidang agraria, kehutanan dan lingkungan. Masalah itu menjadi penting untuk segera diselesaikan walaupun perlu waktu yang cukup lama dan tidak mudah untuk menyelesaikan masalah tersebut.

Dan untuk mencapai tujuan itu, lanjut Bambang, bagian paling hilir adalah mencoba mengidentifikasi beberapa masalah yang muncul dari penerapan perturan bersama ini dan bagaimana menindaklanjuti dan membangun koordinasi lebih lanjut. Ia mencontohkan, masyarakat sangat antusias sekali bahwa mereka mendapat hak dari penguasan tanah di kawasan hutan yang sebelumnya itu peraturannya tidak ada.

"Begitu peraturan itu ada dan bisa diselesaikan itu sangat antusias sekali. Itu muncul dari Papua, Kalimantan, masalah-masalah itu bisa diselesaikan. Jadi kita berhasil, melalui peraturan bersama ini kita bisa menyelesaikan," cetusnya.

Tetapi kemudian muncul bahwa perlu dibuat petunjuk teknis Standar Operating Procedure (SOP) yang memungkinan supaya proses peraturan bersama ini bisa ditindaklanjuti dengan baik. Dan hal itu, kata pria yang akrab disapa BW ini, juga menjadi penting untuk dilakukan. Jadi, ada kebutuhan petunjuk teknis yang lebih rinci yang perlu dilakukan secara bersama juga.

Selanjutnya, kata pendiri KontraS ini, perlu diadakan percepatan penanganan penyelesaian masalah terutama tata cara penyelesaian masalah tanah di kawasan hutan. Dan untuk mencapai hal itu, harus ada mekanisme koordinasi yang perlu dilakukan. Dalam pertemuan tadi juga disinggung bagaimana menyelesaikan hal tersebut.

"Sebagai jalan keluar, misalnya forum untuk pertemuan itu menjadi urgent dan diintensifkan dalam periode tertentu supaya kita bisa menyelesaikan seluruh masalah," sambungnya.

Bambang menerangkan, sebenarnya ada isu penting yang tidak dibahas dan menjadi fundamental kebersamaan. Yaitu siapa bangsa yang bisa menguasai dan menyelesaikan masalah tanah ‎adalah bangsa yang bisa menyelesaikan masa depan. Ia beralasan, karena tanah itu adalah masa depan bangsa.

Melalui kerjasama ini, pihaknya dan beberapa kementerian terkait ingin memastikan bahwa persoalan agraria, lingkungan, kehutanan itu menjadi bagian penting. "Masa depan bangsa dan rakyat ada di situ. Kita nanti perginya enggak jauh-jauh ke tanah lagi, kita harus menyelesaikan seluruh persoalan tanah," tegasnya.

Sementara itu, Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup Siti Nurbaya mengaku telah melakukan upaya tindak lanjut terkait dengan supervisi penegakan hukum dalam Nota Kesepakatan Bersama (NKB) yang sudah dilakukan Kemenhut bersama tim penegak hukum, dari Polri, dan Kejaksaan Agung pada 2010 lalu. Pihaknya telah melakukan ekspose tentang penggunaan kawasan  hutan termasuk indikasi-indikasi yang tidak prosedural.

"Ekspose itu telah dilaksanakan di delapan provinsi yaitu Riau, Jambi, Jabar, Kalbar, Kaltim, Kalteng, Kalsel dan Sultra. Ini terkait dengan daerah seperti yang sudah disampaikan Pak Bambang Widjojanto," ujarnya.

Terkait tindak lanjut ekspose ditangani kasus-kasus hutan tanpa izin dan ditangani juga yang masih penyelidikan. Sedangkan mengenai surat pengaduan masyarakat kepada KPK, Siti mengaku juga sudah meminta melakukan penyelidikan usaha-usaha perkebunan di Provinsi Kalimantan Barat, antara lain di kabupaten Sambas Kalbar karena di sana ada indikasi pelanggaran pada 13 perusahaan.

Mengenai koordinasi supervisi penataan usaha tambang, Kemenhut dan LH telah melakukan interaksi dan telah dilaksanakan koordinasi dan supervisi pada 12 provinsi yaitu Keprulauan Riau, Sulawesi Selatan, Bangka Belitung, Jambi, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi Tenggara, Sulawsi Tengag, Sulawesi Selatan, dan Maluku Utara.

Untuk menindaklanjuti hal tersebut, pihaknya telah mengirim surat kepada para Gubernur dan Bupati yang menerbitkan Izin Usaha Pertambahan (IUP) di kawasan konservasi dan meminta untuk segera mencabut IUP yang sudah diterbitkan itu. Dan pihaknya mengaku telah mencabut dan merevisi ijin beberapa perusahan. "Tindak lanjutnya ada enam IUP yang dicabut, dua direvisi, dan sisanya masih dikoordinasi untuk diselesaikan," ucapnya.

Kemudian ia juga mengaku terus berupaya melakukan pengukuhan kawasan hutan. Tetapi, ia mengakui ada masalah mengenai legitimasinya seperti klaim mengenai suatu kawasan hutan dan itu menjadi konflik tersendiri. Dan dalam kaitan dengan NKB, sudah diselesaikan 40 kasus dari 68 kasus klaim yang dilakukan di lapangan.

"Memang ada beberapa hambatan yang terjadi di lapangan yaitu sulitnya mendapatkan dokumen administrasi dan dokumen pendukung seperti akta perusahaan," tandas Siti Nurbaya.

BACA JUGA: