JAKARTA, GRESNEWS.COM - Pengungkapan tindak pidana pencucian uang oleh Badan Narkotika Nasional (BNN) terhadap 4 anggota komplotan bandar narkotika kelas kakap, telah mengungkap kenyataan masih maraknya peredaran bisnis narkoba di balik jeruji penjara.

Lembaga pemasyarakatan sepertinya tak pernah berbenah diri untuk melakukan perbaikan. Kendati terungkap kasus peredaran narkoba dari balik penjara berulangkali,  kasus serupa masih kembali terulang.

Seolah-olah penjara menjadi tempat paling aman untuk mengoperasikan perdagangan narkoba. Bandar narkoba yang dipidanakan ke dalam penjara untuk menjalani pembinaan, justru semakin leluasa mengembangkan bisnisnya.

Mereka juga leluasa mengorganisasikan jaringannya, mulai dari memesan barang di luar negeri, memasukannya ke dalam penjara dan mendistribusikannya. Kendati pelakunya masih tetap berada di dalam penjara.

Hal ini tak bisa dipungkiri karena adanya peran oknum di lingkungan lembaga pemasyarakatan yang telah memfasilitasi. Minimal melakukan pembiaran. Sehingga para napi leluasa beroperasi. Bahkan dalam kasus Haryono Chandra alias Gombak yang ditangkap Badan Narkotika Nasional karena mengendalikan peredaran narkoba dari balik penjara, petugas menemukan alat komunikasi hingga CCTV yang menghubungkan seluruh sel dengan kamar terpidana.

Bahkan petugas mendapati sel milik Haryanto bagai hotel berbintang, karena selnya dilengkapi berbagai perangkat elektronik yang memudahkannya berkomunikasi dari dalam Lapas.

Sepak terjang Haryanto Chandra terpidana 14 tahun penjara di Lapas Cipinang kelas 1A terungkap setelah BNN mengembangkan kasusnya dari tersangka  LLT yang  juga ditangjap saat tengah menghuni Lapas Cipinang.

Dari pengembangan itu BNN akhirnya mengungkap jaringan Harianto bersama tersangka lain yakni A, CJ, dan CSN.  Selain tersangka petugas juga menyita uang senilai Rp39 miliar dalam berbagai mata uang asing dan rupiah, dari rekening LLT dan A.

Menurut Kepala BNN Komjen Pol Budi Waseso, LLT merupakan narapidana kasus narkoba di Lapas Kelas IA Cipinang. Sedangkan A merupakan seorang perempuan warga negara Inggris ditangkap di lapas Medaeng, Surabaya. Sedang CSN diketahui merupakan keponakan Chandra Halim alias Akiong, seorang terpidana mati kasus narkoba. Akiong sendiri diketahui memiliki hubungan dengan Alm Freddy Budiman terpidana mati kasus narkoba yang telah dieksekusi.

Haryanto diketahui dapat mengoperasikan anggota sindikatnya yang berada di luar penjara untuk memesan barang keluar negeri dan memasukannya, kemudian mendistribusikannya ke berbagai pelasok dan terakhir menghimpun pundi-pundi haram itu melalui tangan-tangannya yang sebagian ada di luar penjara.

Selain duit puluhan miliar, BNN juga menyita  satu unit rumah mewah di Jawa Timur dan satu unit mobil minibus atau jika diuangkan barang-barang itu senilai Rp9,6 miliar. Padahal keduanya berada di lokasi yang berbeda. LLT berada di penjara Cipinang sementara A berada di penjara Medaeng, Surabaya.  

"A kami amankan di dalam Lapas juga, tapi di luar Jakarta. Tepatnya di Lapas Medaeng, Surabaya. LLT juga merupakan narapidana tervonis empat tahun penjara," kata Kepala BNN Komjen Budi Waseso di Kantor Pusat BNN, Cawang, Jakarta Timur, Selasa (13/6).

BNN pun akhirnya mengembangkan kasus yang semula bisnis narkoba menjadi Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) yang melibatkan sejumlah bandar kakap yang berada dibalik jeruji. Kasus Haryanto yang berbinis narkoba dari balik penjara merupakan cerita lama.

Budi Waseso atau biasa disapa Buwas pernah  menyebut bahwa 39 penjara terindikasi menjadi sarang peredaran narkoba. Ia mengaku berani membuktikan dengan akurat keterlibatan para napi di 22 lapas.

"Kami dapat membuktikan keterlibatan 22 LP itu dengan bukti akurat," kata Budi Waseso, Februari lalu.

Deputi Pemberantasan Narkoba BNN, Inspektur Jenderal Arman Depari juga mengamini pernyataan Buwas, menurutnya  hampir seluruh Lapas di Indonesia terindikasi sebagai tempat transaksi narkoba.

"Praktik bisnis gelap narkoba dari balik penjara banyak terjadi di LP di kota-kota besar, seperti LP Cipinang, LP Wanita Pondok Bambu di Jakarta Timur, LP Kerobokan di Bali, LP Medaeng di Surabaya, dan LP Pemuda Tangerang," ujar Arman.

Hanya saja menurutnya, sejauh ini BNN dan Polri tak memiliki kewenangan untuk melakukan pembersihkan praktik tersebut di Lapas.

Maraknya bisnis narkoba dari balik penjara juga ditengarai karena adanya keterlibatan oknum petugas lapas. Petugas lapas yang harusnya membina justru ikut bermain, memberikan kemudahan terjadinya transaksi maupun kemudahan bandar menjalankan bisnisnya di penjara.

Sejumlah kasus pengungkapan narkoba dari penjara telah terulangkali terjadi. Sebut saja kasus Hartomy yang sempat menghebohkan masyarakat. Karena ia bisa leluasa mengendalikan bisnis narkoba dari balik NUsakambangan. Ia juga diketahui kerap keluar masuk Nusakambangan kendati dalam status menghuni lapas. Setelah kasusnya terbongkat kepolisian, terungkap ia tak sendiri mengoperasikan bisnis narkobanya di bali penjara.

Kasusnya menyeret sejumlah petugas lapas diantara Kalapas Narkotika di Nusakambangan Marwan Adli dan dua bawahannya, yaitu Fob Budhiyono (Kepala Seksi Bina Pendidikan) dan Iwan Syaefuddin (Kepala Pengamanan LP). Bahkan menyeret nama cuc dan anaknya karena polisi menemukan bukti transfer bos narkotika itu ke rekening mereka.
 
Ada juga kasus terkait Yoyok, terpidana di Nusakambangan yang mampu mendistribusikan sabu hingga 10 kilogram, dalam sehari. Atau dalam sehari Yoyok meraup keuntungan hingga Rp 20 miliar kendati diusahakan dari balik penjara.

Penggerebekan juga pernah dilakukan BNN terhadap pabrik sabu-sabu rumahan di Kompleks Cipinang Lontar Indah, Jatinegara, Jakarta Timur tak jauh dari LP Cipinang. Belakangan diketahui rumah mewah berlantai tiga yang dijadikan pabrik sabu dikendalikan oleh Densos, seorang petugas LP Cipinang. Ironisnya hasil produksi sabu itu diedarkan ke dalam LP Cipinang. Hasil penelusuran BNN Densos diindikasikan merupakan bagian dari jaringan narkoba internasional yang diotaki Mr Lee asal China. Dari penggerebekan BNN mendapati barang bukti, 2,5 kilogram sabu-sabu dan bahan-bahan lain ditaksir senilai Rp 6 miliar.   

Kemudian BNN juga pernah membekuk Pony Tjandra seorang narapidana LP Nusakambangan. Saat tanggap ia justru tengah berada di rumahnya di bilangan Pluit, Jakarta tengah berkaraoke. Pony disebut mengendalikan peredaran ekstasi yang omzetnya hingga Rp 600 miliar dari dalam Lapas Nusakambangan.

Selain itu kasus yang baru-baru ini juga terungkap adalah kasus yang melibatkan terpidana mati narkoba, Freddy Budiman. Ia kedapatan  membuat pabrik sabu di dalam LP Narkoba Cipinang. Kegiatan haramnya berjalan lancar karena diduga menjalin Kongkalikong dengan Wakil Kepala Pengamanan LP,Gunawan Wibisono. Bahkan dari dalam lapas      Freddy mampu memproduksi sabu seberat 2,4 kilogram per hari.

Juga terungkapnya sindikat narkotika internasional di kawasan Medan, Sumatera Utara yang dikendalikan dari Lapas Tanjung Gusta, Medan. BNN berhasil mengamankan 10 Kilogram sabu, yang bahan-bahannya didatangkan dari Malaysia. Dalam kasus ini 12 orang napi diamankan.

UPAYA KEMENKUMHAM -  Mengatasi kasus peredaran narkoba di lingkungan penjara, beberapa waktu lalu Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly menyatakan akan mengambil langkah-langkah, diantaranya menjalin koordinasi dengan Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Badan Narkotika Nasional, dan Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri untuk mewujudkan kondusifitas penjara sekaligus memberantas peredaran narkoba.

Pihaknya juga mengaku akan menjalin komunikasi intens dengan kepala divisi pemasyarakatan, kepala kantor wilayah, kepala rumah tahanan, dan kepala lembaga pemasyarakatan seluruh Indonesia.

Yasonna juga meminta dilakukan redistribusi penjara over kapasitas. Sekaligus menetapkan lembaga pemasyarakatan (lapas) dan rumah tahanan negara (rutan) sebagai proyek perintis pemberantasan peredaran narkoba dan telepon genggam.

Selain itu, menurut Yasona, Direktorat Jenderal Lembaga Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia (Ditjen PAS) juga melakukan penguatan regulasi, meningkatkan keamanan berbasis teknologi informasi, dan memberikan pembinaan reintegrasi sosial.

Yasonna juga memerintahkan khusus kepala kantor wilayah untuk redistribusi atau memindahkan penghuni lapas dan rutan yang sudah kelebihan kapasitas.

Bahkan untuk penataan lapas dan rutan Kemenkumham telah meminta tambahan anggaran sebesar Rp1,6 triliun. Dana tersebut untuk pembangunan lapas baru dan penambahan blok rehabilitasi narkoba.

Namun setelah sejumlah upaya dan tambahan dana itu. Pada kenyataannya  kasus peredaran narkotika di lembaga pemasyarakatan masih saja ditemukan terjadi di dalam penjara.

BACA JUGA: