JAKARTA, GRESNEWS.COM - Tim penyidik Kejaksaan Agung masih mendalami keterangan saksi dalam kasus pengadaan alat Portable Data Terminal (PDT) di PT Pos Indonesia. Meskipun telah ada lima tersangka, penyidik masih menyisir keterlibatan pihak lain yang turut andil. "Semua masih berproses, tim penyidik terus bekerja. Jika ada petunjuk yang mengarah keterlibatan pihak lain akan ditindaklanjuti," kata Direktur Penyidikan Suyadi kepada Gresnews.com di Kejaksaan Agung, Selasa (30/12).

Dalam pengadaan ini patut diduga ada peran mantan Dirut PT Pos Indonesia I Ketut Mardjana. Sebab pengadaan proyek ini dilakukan saat dirinya masih diposisi Dirut. Bahkan Ketut Mardjana juga ikut meneken pengadaan proyek ini.

Saat ini tim tengah fokus menyidik peran lima tersangka untuk mengumpulkan bukti dan informasi menyisir pihak lain yang terlibat. Mereka adalah Direktur Utama PT Pos Indonesia Budi Setiawan, karyawati PT Datindo Infonet Prima Sukianti Hartanto, Direktur PT Datindo Infonet Prima Effendy Christina, dan Muhajirin selaku Penanggung Jawab Satuan Tugas Pemeriksa dan Penerima Barang di PT Pos Indonesia Bandung. Selain itu ada pula Senior Vice Presiden Technologi Informasi PT Pos Indonesia Budhi Setyawan.

Hanya saja Direktur Utama PT Pos dalam dua kali panggilan penyidik selalu mengelak. Pertama beralasan sakit sedang kedua kalinya karena dinas luar kota. Tak heran jika Kejaksaan Agung sedikit geram. Karena Budi Setiawan dinilai punya informasi penting siapa otak kasus korupsi ini.

Suyadi menyampaikan ketidakhadiran saksi jika ada keterangan dibolehkan. Kecuali jika dipanggil tidak ada keterangan bisa disebut mangkir. Jika itu yang terjadi penyidik akan memanggil paksa. "Iya Dirut PT Pos memberikan keterangan resmi, jadi tidak masalah," jelas Suyadi.

Sementara itu Koordinator Advokasi dan Investigasi Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) Uchok Sky Khadafi meminta Kejaksaan untuk menyeret siapapun yang diduga terlibat. Apalagi pengadaan dilakukan saat Dirut sebelumnya dan ikut menandatangani.
"Sudah jelas itu, penyidik harus tegas, tetapkan tersangka," kata Uchok.

Kasus pengadaan PDT berawal saat proyek pengadaan alat PDT dicanangkan pada Mei hingga Agustus 2013. Alat yang bentuknya mirip telepon genggam itu akan digunakan pengantar pos untuk mengirim barang kepada penerima. Nantinya, data yang berasal dari pengantar pos tersebut akan terkirim ke server pusat.

PT Pos menjalin kontrak dengan PT Datindo Infonet untuk pengadaan alat tersebut dan mengeluarkan dana hingga Rp10,5 miliar. Dana itu didapat PT Pos dari Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

Kendala ditemui ketika dari 1725 alat PDT yang dibeli hanya 50 yang berfungsi namun tidak sesuai spesifikasi yang tertera dalam kontrak. Salah satu kekurangan dalam alat tersebut adalah tidak adanya GPS dan daya baterai yang hanya bertahan selama tiga jam. Padahal dalam kontrak, harusnya alat tersebut memiliki GPS dengan daya tahan baterai mencapai delapan jam.

Kini 1725 alat tersebut sudah disita oleh Kejaksaan Agung. Selain itu, penggeledahan yang dilakukan penyidik Kejaksaan Agung di PT Pos, Bandung, menghasilkan temuan berkas pengadaan 1725 PDT, yang juga akan dijadikan sebagai barang bukti.

BACA JUGA: