JAKARTA, GRESNEWS.COM - Penetapan tersangka seorang jaksa yakni Farizal di Kejaksaan Tinggi Sumatera Barat (Sumbar) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena menerima suap yang melibatkan Ketua DPD Irman Gusman dan pasangan suami istri Xaveriandy Sutanto dan istrinya Memi, kian membuka kotak pandora persoalan laten internal Kejaksaan Agung. Tak hanya lemahnya pengawasan internal tetapi juga masalah sistem pembinaan karir jaksa disinyalir salah satu penyebab perilaku para jaksa menjadi tak terpuji.

Dalam setahun terjadi sejumlah jaksa diproses hukum KPK karena suap. Pada 11 April 2016, KPK tangkap dua orang jaksa penuntut Kejati Jawa Barat Deviyanti Rochaeni dan Fahri Nurmallo dalam kasus dugaan suap perkara dana Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan di Kabupaten Subang. Sebelumnya, KPK juga telah memeriksa Kepala Kejati DKI Jakarta Sudung Situmorang yang diduga akan menerima suap terkait penghentian penyelidikan kasus PT Brantas Abipraya. Lalu jaksa bernama Farizal di Kejati Sumbar diduga suap untuk ringankan tuntutan.

Jaksa Agung Muda Pengawasan (Jamwas) R Widyopramono mengatakan tengah melakukan klarifikasi terhadap semua jajaran jaksa di Kejari Sumbar. Widyo telah menerjunkan tim untuk memeriksa atasan oknum jaksa yang ditangkap KPK, mulai Asiten Pengawasan, Asisten Pidana Khusus dan Asisten Pidana Umum Kejati Sumbar.

"Selaku Jamwas melakukan pemeriksaan terhadap anggotanya yang terkena ranjau pelanggaran hukum, kami lakukan pemeriksaan. Pihak-pihak di mana dia bekerja itu kita mintai laporan dan pertanggungjawaban," kata Widyo di Kejaksaan Agung, Senin (19/9).

Widyo mengaku Kejaksaan Agung telah memiliki sistem melekat untuk memantau kerja para jaksanya. Tidak hanya Bidang Pengawasan tetapi seluruh pimpinan unit kerja wajib melakukan pengawasan terhadap jaksa di bawahnya. Terhadap kasus tangkap tangan oknum jaksa di Kejati Sumbar, Widyo akan memeriksa secara menyeluruh.

"Pejabat atasan jaksa yang ditengarai ditetapkan tersangka saya panggil semua. Kami dengar sejauh mana melakukan pengawasan, pembinaan, monitoring ke yang bersangkutan. Mereka kerja nggak?" kata Widyo.

Widyo menghimbau jaksa untuk mengikuti aturan dan berperilaku baik. Jaksa diminta tidak melanggar aturan dan menyimpang dari ketentuan yang ada.

Penetapan tersangka jaksa Farizal karena diduga menerima suap dari dari Xaveriandy Sutanto atas kasus dugaan gula ilegal dan tanpa Standar Nasional Indonesia (SNI) seberat 30 ton. Farizal adalah Jaksa Penuntut Umum dalam kasus ini. Sementara Xaveriandy Sutanto adalah terdakwanya. Xaveriandy diduga menggelontorkan besel sebesar Rp 365 juta supaya Farizal meringankan tuntutan itu.

Wakil Ketua KPK Alexander Marwata mengatakan, meski Farizal adalah JPU dalam kasus tersebut namun yang bersangkutan tidak pernah datang dalam persidangan. Malah Farizal ini justru bertindak seolah-olah menjadi penasihat hukum Xaveriandy, seperti membuatkan eksepsi.

"Dia juga mengatur saksi-saksi yang menguntungkan terdakwa," kata Alex.

Selain permintaan status tahanan kota juga diduga diatur oleh Farizal. Dengan status tahanan kota kemudian dimanfaatkan Xaveriandy mengunjungi rumah dinas Irman Gusman guna memberikan suap. Ketua DPD RI ini akhirnya juga ditangkap KPK dan ditetapkan tersangka. Irman diduga menerima suap sebesar Rp100 juta dari Xaveriandy untuk menghubungkan dengan Direktur Utama Perum Bulog Djarot Kusumayakti.

SISTEM PEMBINAAN KACAU - Dagang perkara yang melibatkan oknum jaksa diperkirakan akan terus terjadi jika persoalan internal seperti pembinaan dan pengawasan tidak dibenahi. Pengamat Kejaksaan yang juga mantan Komisioner Komisi Kejaksaan Kamilov Sagala mengatakan kasus Farizal akan terus bermunculan satu persatu jika Jaksa Agung tidak memprioritaskan penegakan hukuman dan sanksi terhadap jaksa yang melanggar aturan.

Kata Kamilov, saat ini di internal kejaksaan sistem reward dan punishment tak jelas. Ada jaksa yang jelas-jelas bermasalah diberikan pernghargaan berupa promosi jabatan. Jelas ini kontra produktif dengan jaksa yang ingin bekerja serius dan profesional namun tak mendapatkan penghargaan.

"Akhirnya hal-hal yang tidak profesionallah yang muncul ke pemukaan sebagai bentuk ketidakjelasan, jaksa berprestasi yang harus diberi penghargaan dalam bentuk kenaikan jabatan," kata Kamilov kepada gresnews.com, Senin (19/9).

Kamilov bercerita sewaktu dirinya menjabat komisioner Komisi Pengawasan, ada tiga laporan serupa namun sanksi yang diberikan berbeda. Sanksi yang diberikan pengawasan tidak objektif dan cenderung membuat pelaku mengulangi perbuatannya lagi.

"Ya karena hukumannya ringan. Pengawasan juga tebang pilih sepengamatan saya dalam memeriksa atau menjatuhi hukuman. Oknum jaksa pemeras dan pemain kasus saja masih aman-aman saja," katanya.

Masalah pengawasan tak lepas dari peran bidang pembinaan. Kata Kamilov, pembinaan adalah masalah utama penyakit sumber daya manusia di Kejaksaan.

Perlu diketahui, Kejaksaan Agung telah menjatuhkan sanksi berat kepada 36 orang jaksa dan pegawai tata usaha, selama kurun waktu Januari – Juli 2016. Mereka melanggar kode etik jaksa, seperti menerima suap, korupsi, memeras saat mabok.

"Mereka terbukti melanggar kode etik dan pedoman perilaku jaksa. Mereka dikenakan sanksi sesuai PP No. 53/2010," kata Sekretaris Jaksa Agung Muda Pengawasan (Sesjamwas) M. Jasman Pandjaitan.

Menurut Jasman, dari 36 orang jaksa dan tata usaha yang dikenakan sanksi berat, dua diantaranya dipecat secara tidak hormat dan tiga lainnya diberhentikan dengan hormat.

"Sedangkan, pemberhantian sementara lima orang, penurunan pangkat (14) , demosi (pemindahan ke bagian lain) satu, pembebasan jaksa fungsional empat dan pembebasan dari strukrural tujuh orang," ujarnya.

Jasman menambahkan pihaknya juga telah memberikan sanksi sedang kepada 44 jaksa dan tata usaha. Serta saksi ringan sebanyak 26 orang. "Total jaksa dan tata usaha yang dikenakan sanksi sebanyak 63 orang. Yang tidak terbukti (melanggar kode etik jaksa) 168 orang. Masih dalam proses pemeriksaan sebanyak 69 orang," tegasnya.

Jasman mengungkapkan pelanggaran yang dilakukan, adalah 30 orang terkait indispliner, lalu 40 orang penyalahgunaan wewenang, perbuatan tercela lain 17 dan Perdata satu orang. Bentuk pelanggaran antara lain panitia lelang tidak melakukan sesuai Standar Operasional Prosedur (SOP) seperti terjadi di Kejaksaan Tinggi Sulsel.

Pelanggaran lain, lanjut Jasman, menjadi perantara kasus, mengeluarkan tahanan, korupsi uang operasional penanganan kasus sebesar Rp944 juta Kejati Bali. Sedangkan jaksa yang menerima suap Rp50 juta di Kejati Kalteng, menerima uang Rp25 juta di Nabire, Papua dan menerima uang Rp10 juta di Kajati jatim.

BACA JUGA: