JAKARTA, GRESNEWS.COM - Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) menyatakan ketidakjelasan lembaga pelaksana pemilihan kepala daerah (pilkada) menjadi permasalahan mendasar pada  agenda pilkada serentak 2015. Sebab Mahkamah Konstitusi (MK) dalam putusan nomor 97/PUU-XI/2013, menyatakan pilkada bukan rezim pemilihan umum (pemilu). Sebab pilkada diatur dalam Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, sementara pemilihan umum diatur dalam Pasal 22.

Putusan MK itu berdampak pada Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota (Perpu Pilkada) yang telah disahkan DPR menjadi undang-undang. Termasuk dalam kaitan lembaga yang menyelenggarakan pilkada. Akibatnya, pelaksanaan pilkada serentak di 2015 menjadi "samar-samar" dan belum memiliki landasan yang kuat untuk dilaksanakan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU).

"Pilkada 2015 akan menjadi masalah besar bagi semua pihak ketika tidak clear siapa yang wewenang dalam melaksanakannya," kata Manajer Koordinator JPPR, Sunanto kepada Gresnews.com di Jakarta, Kamis (29/1). Sebab KPU hanya berwenang menyelenggarakan pemilu, sementara pilkada sudah diputuskan bukan rezim pemilu.

Menurut  Sunanto, ketika pelaksanaanya tetap dipaksakan diberikan kepada KPU, maka akan menimbulkan gugatan atas keabsahan hasil pilkakada tersebut. Ketidakjelasan lembaga mana yang berwenang melaksanakan pilkada, lanjutnya, menambah ruwet agenda pilkada serentak 2015. Sebab revisi Perpu Pilkada yang baru disahkan DPR menjadi undng-undang juga belum tuntas menyelsaikan berbagai persoalan yang ada.

"Putusan Mahkamah Konstitusi  bukan berarti penyelenggaraan pemilu dilaksanakan oleh pemerintah daerah," jelasnya. Karena itu, dia berharap agar pemerintah, DPR dan lembaga terkait lainya segera menuntaskan persolanan-persoalan tersebut untuk kepastian pelaksanaan pilkada serentak 2015 tetap konstitusional.

Di sisi lain, kewenangan penyelenggaraan pilkada oleh KPU saat ini masih dipersoalkan oleh Victor Santoso Tandiasa, Denny Rudini, Bayu Segara dan Kurniawan ke  MK. Mereka mengajukan permohonan pengujian Perpu Pilkada terkait konstitusionalitas KPU menyelenggarakan pilkada. Menurut para pemohon itu, KPU tidak lagi memiliki dasar hukum untuk melaksanakan pilkada. Hilangnya kewenangan KPU ini sesuai ketentuan Pasal 22E ayat (1) dan (5) UUD 1945; Putusan MK atas permohonan 97/PUU-XI/2013; Disahkannya Undang Undang Nomor 22 Tahun 2014 tentang Pilkada Perwakilan (UU Pilkada Perwakilan); dan terbitnya Perpu Pilkada.

Pasal 22E ayat (5) menyatakan pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri. Sementara ayat (1) merupakan pengaturan pemilu yang berbunyi "Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum bebas, rahasia, jujur dan adil setiap lima tahun sekali". Selanjutnya pada ayat (2) dikatakan pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan perwakilan Rakyat Daerah.

Merujuk pada Pasal 22E ayat (5) dan dikaitkan dengan ayat (1) dan ayat (2),  dapat dikatakan bahwa KPU bersifat nasional, tetap, dan mandiri, dibentuk untuk menyelenggarakan Pemilihan Umum yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil setiap lima tahun sekali, untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden dan wakil Presiden, dan DPRD.

"Dapat dikatakan penyelenggaraan pilkada oleh KPU Provinsi, KPU Kabupaten, KPU Kota adalah bertentangan dengan Konstitusi," tutur Denny saat membacakan pokok-pokok pemohonannya di Gedung MK, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat.

Hal itu kata dia diperkuat dengan putusan nomor 97/PUU-XI/2013 yang memutuskan pilkada bukan merupakan bagian rezim pemilihan umum. Karena itu, penyelenggaraan pilkada baik diselenggarakan secara langsung maupun secara perwakilan (DPRD) oleh KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota dalam menyelenggarakannya adalah bertentangan dengan UUD 1945.

BACA JUGA: