JAKARTA, GRESNEWS.COM - Kerugian Indonesia yang diakibatkan pembukaan lahan perkebunan kelapa sawit tak luput dari lemahnya penegakan hukum serta peraturan yang ada. Lubang-lubang dalam peraturan perundangan selalu saja menjadi alasan pembenar terjadinya praktik-praktik korupsi pembukaan lahan.

Peraturan menteri pertanian (Permentan) tahun 2007 tentang revitalisasi perkebunan misalnya, dianggap terlalu memihak pada pengusaha lantaran tidak mengindahkan hak-hak masyarakat. "Pada Ayat (2), tentang hak atas tanah jika tanah sudah ada yang menempati, maka penyelesaiannya harus dilakukan secara musyawarah dengan masyarakat," kata staf Divisi Advokasi Hukum Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) Andi Muttaqin dalam diskusi "Modus Korupsi di sektor Perkebunan Sawit” di Cheese Cake Factory, Cikini, Minggu (26/4).

Ayat kedua Permentan ini diketahui tak pernah dijalankan, disinyalir akibat pengusaha sawit tak mau ambil pusing lantaran telah membayar miliaran rupiah untuk mendapat satu izin. "Mereka pasti malas bernegosiasi dengan masyarakat karena pikirnya telah diselesaikan dengan uang suap," katanya.

Jika berdasar pada undang-undang agraria maka seharusnya perusahaan berhak atas lahan ketika telah memiliki izin hak guna usaha (HGU). Setelah HGU didapatkan barulah mereka dapat melakukan aktivitas penanaman.

Tapi, kenyataan yang didapat amatlah berbeda, tak perlu HGU keluar, penanaman sawit sudah laangsung dilakukan. "Kenyataannya tidak, perusahaan sudah mulai menanam saat mendapat izin lokasi," katanya.

Padahal, izin lokasi hanya diperuntukkan guna perusahan membuka perkebunan di wilayah yang ditentukan, bukan untuk menanam. Peraturan-peraturan di bidang perkebunan ini juga terlampau memihak pada pengusaha ketimbang petani sawit. Merujuk pada Undang-undang Nomor 39 Tahun 2014 Tentang Perkebunan, terdapat sebuah kelemahan dimana perusahaan dapat mengubah hutan lindung menjadi hutan industri dan memperluas lahan ilegalnya. "Bahkan di undang undang perkebunan sendiri sangat lemah. Itu baru catatan soal pengawasan hutan lindung," kata Andi.

Penyelewengan perizinan lahan perkebunan sawit pada tahun 2014 lalu membuat negara rugi mencapai Rp177 miliar. Kerugian ini diprediksi akan bertambah lantaran Pilkada serentak pada Desember 2015 nanti. Sebab, banyak modus para kepala daerah untuk balik modal dengan menjual izin perkebunan.

Indonesia Corruption Watch (ICW) melakukan riset pada tahun 2009-2014 terhadap 9 perusahaan besar di Indonesia yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia atau Bursa Efek Singapura untuk melihat berapa potensi pajak dibayarkan ke negara. Kesembilan perusahaan tersebut antara lain Austindo Nusantara Jaya, Astra Agro Lestari, Bumitama Agri Limited (Singapura), BWPT, First Resources Limited (Singapura), PTPN IV, Salim Invomas, Sampoerna Agro, serta Smart tbk.

"Sembilan perkebunan sawit saja dapat menimbulkan potensi kerugian negara di sektor pajak sebesar Rp5,65 triliun. Banyaknya upaya pengemplangan pajak ini dilakukan perusahan-perusahaan besar," ujar R Maona Wasef, Peneliti ICW dalam kesempatan yang sama.

Kongkalikong antara perusahaan dan aparat dianggapnya sangat kental selama ini. Sehingga apapun peraturan yang ada dan dibuat tak akan berpengaruh banyak. "Hal ini dikarenakan berbagai peraturan tersebut dikeluarkan untuk menguntungkan pengusaha dan merugikan petani kelapa sawit," kata Wasef.

BACA JUGA: