JAKARTA, GRESNEWS.COM - Presiden Joko Widodo  (Jokowi) didesak untuk menunda eksekusi hukuman mati terhadap Mary Jane Veloso yang masuk dalam daftar terpidana mati gelombang kedua. Alasannya proses hukum yang telah dilalui belum melalui tahap yang seadil-adilnya. Padahal proses peradilan eksekusi mati seharusnya menggunakan prinsip kehati-hatian.

Komisioner Komisi Nasional Perempuan Yuniyanti Chuzaifah menuturkan Presiden Joko Widodo perlu memberikan waktu dan kesempatan pada Mary untuk mendapatkan proses keadilan berikutnya. Sebab ada proses pengadilan yang tidak adil bagi Mary,  seperti hanya poin terkait psikotropika tanpa melihat Mary merupakan korban perdagangan manusia.

"Misalnya selama proses pemeriksaan, penyidikan, dan pengadilan Mary didampingi penerjemah bahasa Inggris. Padahal ia hanya menguasai dengan baik bahasa Tagalog," ujar Yuniyanti pada konferensi pers soal hukuman mati terhadap MJV di Komnas Perempuan, Jakarta, Jumat (24/4).

Akibat menggunakan penerjemah bahasa Inggris, Mary hampir tidak memahami apa yang dituduhkan padanya. Termasuk saat ia ditanya soal apakah Mary menyesal atas perbuatannya oleh hakim. Karena tidak mengerti bahasa yang digunakan hakim, akhirnya ia menjawab tidak menyesal yang mempengaruhi putusan hakim.

Selanjutnya, selama proses hukum, Mary hanya didampingi penasihat hukumnya selama persidangan berlangsung pada pengadilan tingkat pertama. Sehingga ia menilai penasihat hukum tidak bisa memberikan bantuan hukum secara komprehensif. Akibatnya, kesalahan-kesalahan di atas membuat fakta peristiwa sesungguhnya yang dialami Mary tidak terungkap.

Atas pertimbangan masih belum tercapainya keadilan dalam proses hukum yang telah dilalui, tim kuasa hukum Mary berupaya mengajukan peninjauan kembali tahap dua dengan novum atau bukti baru diantaranya memasukkan dimensi narkotika dan perdagangan manusia. Lalu di Filipina juga sedang diinvestigasi melalui upaya hukum terkait pelaku perdagangan orang yang menjerat Mary.

"Kita khawatir kalau eksekusi dilakukan beberapa hari ke depan, Mary terlanjur dihukum mati saat pengadilan di Filipina berhasil mengungkapkan fakta bahwa Mary merupakan korban perdagangan manusia," ujar Yuniyanti.

Ia menambahkan ada beberapa bukti kunci yang sudah dikirimkan sore ini ke Jakarta untuk dijadikan sebagai novum. Ia berharap dengan adanya sejumlah bukti baru masih sempat untuk menjadi bahan pertimbangan bagi presiden Joko Widodo atas eksekusi tehadap Mary

Terkait hal ini, Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Roichatul Aswidah menyatakan tidak setuju dengan hukuman mati lantaran hak hidup dianggap sebagai sesuatu yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Apalagi dalam proses hukum untuk bisa sampai ke hukuman mati di Indonesia dianggap jauh dari the most carefull procedure yang putusannya sama sekali tidak mengandung keraguan.

"Pantauan dari Komnas HAM, sebagian besar yang mengalami hukuman mati tidak difasilitasi penerjemah untuk terpidana yang berasal dari negara lain," ujar Roichatul pada kesempatan yang sama.

Ia melanjutkan khusus kasus Mary, Komnas HAM meminta pemerintah untuk menunda eksekusi matinya. Setidaknya sampai upaya hukum yang dilalui Mary lebih paripurna baik upaya hukum di Filipina maupun di Indonesia melalui pengajuan peninjauan kembali.  

Untuk diketahui, Mary merupakan salah satu terpidana mati yang masuk dalam 10 orang yang akan dieskusi mati dalam gelombang kedua. Sebelumnya pemerintah sudah mengeksekusi mati enam orang terpidana mati gelombang pertama pada Januari 2015.

BACA JUGA: