JAKARTA, GRESNEWS.COM - Perkara korupsi penjualan lahan milik PT Garam (Persero) di Jalan Salemba Raya, Jakarta, yang disidik oleh Kejaksaan Tinggi Jawa Timur tak jelas penyelesaiannya. Kasus tersebut terkesan menguap, bahkan Kejaksaan membantah pernah ada penyidikan kasus tersebut.

"Setelah saya tanyakan ke Kasiedik (Kepala Seksi Penyidikan), tidak ada kasus itu," kata Kepala Seksi Penerangan Hukum Kejati Jatim Romy Arizyanto kepada Gresnews.com, Sabtu (21/3).

Romy mengatakan, ia tidak tahu menahu penyidikan kasus penjualan lahan PT Garam itu. Malah dia menerangkan dua kasus yang saat ini tengah ditangani Kejati, salah satunya kasus penggelapan 1.000 ton garam yang tak jelas keberadaannya. Sementara kasus penjualan lahan PT Garam di Jakarta yang melibatkan PT Sintechmasindo Wangsatama tak pernah disidik oleh Kejati Jatim. Kakak CEO MNC Group Hary Tanoesoedibjo yakni Hartono Tanoesoedibjo menjabat sebagai komisaris PT Sintechmasindo Wangsatama. 

Anehnya, pada Oktober 2013, Kepala Kejati Jatim saat itu, Arminsyah, mengakui sedang menyidik kasus penjualan PT Garam di Jakarta. "Saya sudah menugaskan Asisten Pidsus," kata Arminsyah waktu itu kepada gresnews.com.

Bahkan Arminsyah, yang saat ini menjabat sebagai Jaksa Agung Muda Intelijen (Jamintel) Kejaksaan Agung, meminta staf ahlinya untuk menjelaskan kronologi kasus tersebut kepada gresnews.com.

Kasus ini bermula ketika PT Sintechmasindo memperoleh hak pengelolaan lahan dengan model built operate transfer (BOT) dari PT Garam itu selama 20 tahun, sejak 2005. Di lahan itu, Sintechmasindo kemudian membangun pusat bisnis berupa rumah toko (ruko).

Pada 2005, PT Garam yang saat itu dipimpin Leo Pramuka sebagai Direktur Utamanya bermaksud menjual lahan tersebut. Lelang penjualan pun dibuka. Hingga enam kali lelang, ternyata tidak ada pesertanya. Penyebabnya, kontrak perjanjian pengelolaan lahan antara PT Garam dengan Sintechmasindo masih berlaku.

PT Garam kemudian membuka lelang lagi untuk yang ketujuh kalinya. Nah, pada lelang kali ini Sintechmasindo masuk sebagai satu-satunya peserta. Lahan lepas ke tangan Sintechmasindo dengan harga jauh dari sewajarnya, yakni Rp19 miliar. Padahal, saat itu harga lahan seluas dua hektare tersebut sebesar Rp54 miliar. Selisih harga pembelian dengan harga wajar yakni sekitar Rp35 miliar inilah yang dihitung sebagai kerugian negara.

Kejati Jatim saat itu membenarkan tanah milik PT Garam tersebut masih memiliki perjanjian BOT dengan PT Sintechmasindo. Kemudian karena PT Garam memerlukan dana dan ingin menjual aset tersebut maka perusahaan melakukan pelelangan dengan harga lelang awal Rp54 miliar.

"Nah tidak ada yang melakukan penawaran, kemudian diturunkan sampai penawaran kelima menjadi Rp35 miliar. Belum ada yang menawar hingga lelang keenam turun menjadi Rp20 miliar. Kemudian PT Sintechmasindo melakukan penawaran Rp19 miliar," kata staf ahli Kejati Jatim tersebut.

Ia juga menjelaskan karena pihak ketiga yang membuat BOT maka secara otomatis tanah tersebut terikat dengan pihak swasta. Kemudian permintaan Kementerian BUMN agar PT Garam (Persero) harus membuat beberapa opsi penyelesaian dengan pihak ketiga.

Ia mengatakan posisi Hartono Tanoesoedibjo sebagai Komisaris PT Sintechmasindo. Hartono, menurutnya, baru dua kali dipanggil oleh Kejati Jawa Timur dan hingga kini status Hartono masih sebagai saksi.

"Sebenarnya baru dipanggil dua kali bukan empat. Status beliau (Hartono Tanoesoedibjo) belum meningkat, karena masih perlu penyelidikan lebih lanjut," katanya.

Dalam kasus ini Kejati Jatim telah menetapkan dua tersangka yakni mantan Direktur Utama PT Garam Leo Pramuka dan mantan Ketua Panitia Penjualan Aset, Dedy.

Dua penjelasan berbeda di tersebut menimbulkan prasangka publik bahwa kasus penjualan tanah PT Garam menguap.

BACA JUGA: