JAKARTA, GRESNEWS.COM - Perseteruan politik antara Koalisi Merah Putih (KMP) dan Koalisi Indonesia Hebat (KIH) menjadi alasan bagi seorang warga bernama Riyanti mengajukan uji materi atas Pasal 22 Undang Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK). Alasannya perseteruan tersebut dikhawatirkan berimbas pada proses rekrutmen hakim konstitusi yang bersifat tidak permanen atau tetap, sebagaimana halnya hakim agung di Mahkamah Agung.
 
Ia berpendapat, peran MK untuk mengawal konstitusi yang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara para pihak antara warga negara dengan DPR maupun presiden memiliki ruang intervensi yang sangat besar dari kekuasaan eksekutif dan legislatif. Sebab, penetapan hakim konstitusi dari unsur MA, khususnya unsur DPR dan presiden dinilai sarat kepentingan politik dari masing-masing kubu.
 
"Menurut nalar, hakim MK, baik yang diajukan oleh MA, DPR, maupun presiden tidak dapat dijamin independensi-nya dalam memutus permohonan pengujian undang-undang karena keberadaannya yang tidak permanen atau tetap," kata kuasa hukum pemohon, Vivi Ayunita Kusumandari di sidang perdana Pengujian UU MK, di gedung MK, Jakarta Pusat, Kamis (20/11).
 
Padahal, kata dia, kemerdekaan dan independensi adalah syarat mutlak yang harus dimiliki oleh lembaga pelaksana kekuasaan kehakiman demi terlindunginya hak konstitusional warga negara.

Menurut Vivi, ketika ketentuan Pasal 22 UU MK diubah atau dimaknai masa jabatan hakim konstitusi sampai pada usia pensiun, maka kemerdekaan, independensi hakim MK dipastikan terjamin. Sebaliknya, akibat ketidakpermanenan itu, para pemohon akan dirugikan saat mengajukan uji materi undang-undang ke MK, baik itu formal maupun materiil.

Sebab para pemohon akan berhadapan dengan pembuat undang-undang, dalam hal ini adalah DPR dan presiden di MK. Sementara hakim MK yang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara, yang dibuat oleh yang mengangkat hakim konstitusi. "Dapat dipastikan atau setidak-tidaknya sangat potensial para pemohon dirugikan hak konstitusionalnya," ujarnya.
 
Hal tersebut, lanjutnya, berbeda ketika masa jabatan hakim konstitusi bersifat tetap, yaitu sampai dengan batas pensiun seperti yang diberlakukan kepada MA. Dimana usia pensiun MK dan MA sudah sama, yakni 70 tahun. "Bedanya, hakim konstitusi menggunakan periodisasi, sedangkan hakim agung tidak," ujar Vivi.  
 
Padahal pengaturan MK dan MA diatur dalam norma yang sama, yaitu Pasal 24 Ayat (2) UUD 1945. Kemudian putusan MK Nomor 34/PUU-X/2012, yang menyatakan MK dan MA merupakan lembaga yang setara. "Menjadi aneh jika masa kerja hakim pada kedua lembaga tersebut berbeda atau dibedakan," jelas Vivi.
 
Ia mengatakan, norma yang ada pada Pasal 22 MK tidak sinkron dengan Pasal 23 Ayat (1) butir c UU MK yang menyatakan hakim konstitusi diberhentikan dengan hormat dengan alasan telah berusia 70 tahun. Ini, kata Vivi, tidak memberikan kepastian hukum dan bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
 
Karena itu, ia meminta MK menyatakan Pasal 22 UU MK bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sepanjang frasa "masa jabatan hakim konstitusi selama 5 (lima) tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya" dan tidak dimaknai sebagai "masa jabatan hakim Mahkamah Konstitusi sejak mengucapkan sumpah pelantikan sampai memasuki usia pensiun (berusia 70 tahun)".
 
Menyikapi permohonan itu, Hakim Konstitusi Aswanto menyarankan kepada pemohon agar kembali melihat peraturan MK Nomor 6/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara dalam Perkara Pengujian Undang-Undang, khusnya terkait kerugian konstitusional.
 
"Kemudian, apakah benar dengan tidak permanennya masa jabatan hakim itu, ada potensi kemandirian atau independensinya bisa terpengaruh," katanya menyarankan untuk memperbaiki berkas permohonan pemohon.
 
Aswanto juga menyarankan agar pemohon bisa menjelaskan lebih rinci, ketika KMP dan KIH saling berseteru bagaimana mereka mencari dukungan dan akan mempengaruhi para pejabat-pejabat di kekuasaan yudikatif termasuk di MK atau MA.
 
Ia menyarankan, agar pemohon melihat perbandingan dengan Mahkamah Konstitusi di beberapa negara. Apakah pengaturan MK di beberapa negara yang mempunyai MK itu perlakuannya sama dengan yang ada di dalam UU MK atau sama dengan yang diharapakan pemohon melalui pengujian undang-undang ini.
 
Sementara Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams menyarankan agar pemohon menambahkan perbandingan dan ekualitas dari beberapa ketentuan-ketentuan di dalam kedudukan hakim MK dengan hakim agung, khususnya terkait usia pensiun.

"Batas usia pensiun itu sebenarnya sudah sama, yakni 70 tahun. Bedanya,  yang satu menggunakan periodisasi untuk MK, sedangkan untuk hakim agung tidak, itu yang bisa saudara uraikan," jelasnya.

BACA JUGA: