Perubahan iklim telah menjadi permasalahan global yang terus diperbincangkan, sementara dampak buruk perubahan iklim telah dialami seluruh dunia. Situasi tersebut menciptakan berbagai solusi, salah satunya adalah Reduced Emissions from Deforestation and Forest Degradation (REDD)+, yang menitikberatkan pada pengelolaan hutan. Namun, solusi ini masih menjadi perdebatan di tingkat dunia, pasalnya di beberapa tempat, kehadiran REDD+ telah menimbulkan konflik dan pengabaian hak masyarakat, laki-laki dan perempuan, dalam pengelolaan hutan.

Begitupun di Indonesia, REDD+ telah berdampak pada kehidupan masyarakat, khususnya perempuan, yang tinggal dan hidup di sekitar dan di dalam kawasan hutan. Temuan perempuan komunitas bersama SP Palu, SP Boengung Jeumpa Aceh, dan Lembaga Solidaritas Perempuan dan Anak (eLSPA) di  Kalimantan Tengah, Aceh, dan Sulawesi Tengah, yang menjadi wilayah proyek REDD+, memperlihatkan bahwa kebijakan dan proyek iklim yang dibangun belum, bahkan hampir tidak melibatkan perempuan. Sementara, temuan pada proyek Kalimantan Forests and Climate Partnership (KFCP)  di Kalimantan Tengah, menunjukkan bahwa proyek REDD+ telah menimbulkan persoalan mulai terjadi konflik horizontal, dan pelanggaran hak asasi perempuan, yaitu hak atas ekonomi, sosial dan budaya karena mereka dilarang memasuki hutan, sehingga mereka kehilangan haknya untuk akses dan kontrol terhadap lahan yang selama ini mereka kelola.  Situasi tersebut telah melanggar hak-hak perempuan dalam pengelolaan hutan, baik hak atas informasi, hak terlibat partisipasi dan konsultasi, dan pelanggaran hak untuk memanfaatkan hasil hutan.

Pelanggaran dan pengabaian hak perempuan tersebut telah mendorong Solidaritas Perempuan untuk membangun sebuah standar aturan perlindungan perempuan dan panduan pemantauan perempuan, yang memastikan bahwa kebijakan dan proyek iklim harus memenuhi prinsip inklusif, sensitif dan responsif gender, sehingga hak-hak perempuan dalam pengelolaan hutan tidak terlanggar dan diabaikan.

"Adanya standar aturan perlindungan perempuan dan panduan pemantauan perempuan terhadap kebijakan dan proyek iklim, ditujukan untuk memastikan tidak terjadinya pengabaian dan pelanggaran hak asasi manusia dan hak asasi perempuan dalam pengelolaan hutan," kata Ketua Badan Eksekutif Nasional Solidaritas Perempuan Wahidah Rustam, Rabu (26/6/2013).

Standar Aturan Perlindungan Perempuan merupakan sebuah alat/instrumen/kerangka pengaman yang menjadi acuan bagi pemerintah, pemberi dana atau pelaksana proyek iklim (REDD+) dalam pelaksanaan proyek iklim, untuk memastikan perlindungan hak-hak perempuan dalam konteks kebijakan dan proyek iklim sehingga tidak terjadi pelanggaran HAM. Pemerintah dan pelaksana proyek harus melakukan kajian, analisa terhadap situasi sosial, ekonomi, budaya, dan gender, di daerah yang berpotensi dilaksanakannya proyek iklim.

Proyek iklim juga harus informatif untuk setiap kalangan, terutama perempuan, yang selama ini termarjinalisasi karena sistem dan budaya patriarki. Informasi yang jelas terhadap perempuan mengenai kebijakan dan proyek iklim, menjadikan perempuan paham dan dapat menganalisa dampak yang akan terjadi bila suatu proyek iklim masuk di wilayah mereka,  sehingga dapat memutuskan, setuju atau tidak setuju proyek iklim ini dilaksanakan di wilayah mereka. Sementara, perempuan komunitas juga terus dikuatkan untuk mampu memantau proyek iklim dan memastikan bahwa hak-hak mereka dalam pengelolaan hutan tidak terampas atau terlanggar dengan kehadiran proyek iklim.

"Standar aturan perlindungan perempuan ini penting untuk diadopsi oleh pemerintah, dijadikan prasyarat dan harus ditaati oleh siapapun pelaksana proyek, baik pemerintah, pemberi dana, maupun pelaksana proyek, untuk menjamin perlindungan hak-hak perempuan dalam kebijakan maupun proyek iklim," kata Wahidah.

Donna Swita Hardiani
Woman and Politization of Religion Division
Solidaritas Perempuan (Woman´s Solidarity of Human Rights)
Jln. Siaga II no.36 Pejaten Barat-Pasar Minggu-Jakarta 12540
Indonesia

DISCLAIMER: Rubrik Sikap dan Opini merupakan wadah yang terbuka bagi pribadi maupun organisasi untuk menyampaikan sudut pandang terhadap sebuah persoalan (siaran pers, somasi terbuka, pernyataan sikap, testimoni, esai, naskah pidato, paparan hasil riset, deklarasi politik, opini hukum, dan sebagainya). Hanya pengirim naskah yang melampirkan identitas dan kontaknya secara jelas yang akan dimuat. Materi naskah sepenuhnya tanggung jawab pengirim dan tidak serta merta merupakan opini dan sikap Redaksi.

BACA JUGA: