JAKARTA, GRESNEWS.COM - Pemerintah melalui Dirjen Penyelenggaraan Haji dan Umroh Kementerian Agama Abdul Jamil menyatakan norma Pasal 4 dan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji (UU PIH) telah memberikan kepastian hukum dengan adanya setoran awal Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH). Setoran awal BPIH ini justru menjadi cara pemerintah untuk menekan banyaknya antrian calon jamaah haji.

Jamil menjelaskan kesempatan untuk menunaikan haji bergantung pada kebijakan kuota dari pemerintah Arab Saudi. Kuota tersebut menurutnya tidak sebanding dengan animo masyarakat Indonesia yang ingin melaksanakan haji. Daftar tunggu calon haji hingga 31 Desember 2014 untuk haji regular telah mencapai 2.684.305 orang dan haji khusus sebanyak 95.000 orang. Sementara kuota yang disediakan setiap tahunnya hanya 168.800 orang dalam jangka waktu tiga tahun terakhir.

"Sesuai amanat konstitusi, pemerintah sebagai pembentuk undang-undang mengatur syarat bagi hak setiap warga negara yang ingin menunaikan haji," ujar Jamil dalam sidang pengujian UU PIH di gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa (3/3).

Menurutnya pemerintah tidak bisa melarang umat Islam menjalankan ibadah haji, sebab akan dianggap melanggar hak asasi manusia sesuai Pasal 29 ayat (2) Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Pasal 29 menyebutkan negara harus menjamin kemerdekaan penduduk untuk memluk agama dan beribadat menurut agamanya masing-masing. Sehingga kalau pemerintah orang yang sudah pernah menundaikan haji, maka pemerintah tidak melaksanakan Pasal 29 UUD 1945.

Selanjutnya, terhadap Pasal 5 UU PIH yang mewajibkan calon jamaah haji membayarkan setoran awal Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) pada saat mendaftar merupakan cara pemerintah untuk mempersingkat antrian daftar calon haji. Sebab syarat bagi yang ingin menunaikan haji hendaknya mampu secara jasmani, rohani, dan keamanan yang senada substansinya dengan Qs. Al Imran ayat 97.

Dalam hal ini, setoran BPIH merupakan salah satu indikator kesiapan calon jamaah haji yang dibayar pada saat mendaftar. Adanya setoran awal pembayaran BPIH dianggap sebagai salah satu ukuran kemampuan dari sisi finansial. Justru kalau setoran awal dihilangkan maka pemerintah menilai daftar tunggu jamaah akan meningkat secara signifikan. Lalu tidak ada kepastian persiapan pembiayaan operasional penyelenggaraan ibadah haji tahun berjalan. Pasalnya calon jamaah haji yang sudah mendaftar dan membayar setoran awal BPIH seringkali mengundurkan diri. Jumlahnya mencapai 6000 orang per tahun.

Lalu Jamil menilai Pasal 4 dianggap telah sesuai dengan UUD 1945 lantaran negara harus menjamin hak setiap warganegara menjalankan peribadatan. Lalu Pasal 5 juga dianggap telah memberikan kepastian hukum, keadilan dan keteraturan. Sebab tanpa adanya setoran awal justru akan membuat penyelenggaraan ibadah haji mengalami ketidakpastian dan kekacauan. Sebab penyelenggarannya membutuhkan perencanaan dan pengelolaan yang akuntabel.

Sebelumnya, pemohon yang terdiri dari dua calon jamaah haji daftar tunggu dan seorang mahasiswa yaitu Fathul Hadie Utsman, SUmilatun, dan Raisal Haq merasa dirugikan atas Pasal 4 dan Pasal 5 UU PIH. Pasal 4 menyenbutkan warga negara yang beragama Islam berhak menunaikan haji dengan syarat.

Menurut Fathul ada kepastian hukum lantaran pasal tersebut tidak menjelaskan definisi orang Islam yang berhak melaksanakan haji. Ia mempertanyakan apakah yang sudah berhaji diperbolehkan melaksanakan haji lagi dengan daftar tunggu calon haji yang tinggi di atas kuota.

"Sebab hak menunaikan haji bisa terhambat lantaran banyaknya orang yang sudah pergi haji kembali mengajukan diri jadi calon jamaah haji," ujar Fathul.

Lalu Pasal 5 UU PIH menurutnya juga merupakan bentuk pemaksaan kehendak bagi jamaah haji daftar tunggu. Sebab pembayarannya dilakukan tanpa ada perjanjian, persyaratan, dan persyaratan yang jelas. Padahal pelaksanaan ibadah haji masih akan dilakukan 15-25 tahun ke depan.

BACA JUGA: