JAKARTA, GRESNEWS.COM - Ahli yang diajukan sembilan orang buruh pemohon penafsiran Pasal 81 UU Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (UU PPHI) Timbul Siregar menyatakan, tanggung jawab pemutusan hubungan kerja harus dibebankan kepada pemberi kerja bukan buruh. Alasannya, jika gugatan PHK dilakukan buruh, posisi buruh sering kali lemah dan pasal tersebut menjadi semacam alat melarikan diri bagi pengusaha untuk tidak membayar upah pekerja selama perselisihan berlangsung.

Pasal 81 UU PPHI berisi ketentuan gugatan perselisihan hubungan industrial diajukan pada Pengadilan Hubungan Industrial pada pengadilan negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat pekerja. Para pekerja mempermasalahkan ketentuan PHK dengan gugatan yang menghilangkan kewajiban pengusaha membayarkan upah PHK.

Karena itu, kata Timbul, Pasal 81 UU PPHI seharusnya ditafsirkan agar pemutusan hubungan kerja (PHK) dilakukan melalui permohonan pemberi kerja dan bukan gugatan pekerja. "Sebab jika PHK dilakukan melalui gugatan yang diajukan pekerja, justru tidak memberikan kepastian hukum dan tidak memenuhi rasa keadilan. Sebab pekerja dipaksa membuktikan dalil gugatan. Padahal pembuktian atas dalil gugatan dimiliki lengkap oleh pemberi kerja," kata Timbul dalam persidangan di Mahkamah Konstitusi (MK), Selasa (31/3).

Timbul, yang juga Sekjen Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI), itu menjelaskan, Pasal 81 UU PPHI membuat pemberi kerja bertindak pasif ketika ingin memutus hubungan kerja pekerjanya. "Artinya tidak ada kepastian hukum terhadap pekerja. Banyak pekerja ketika putus hubungan kerja (PHK) tidak punya kepastian masih dalam posisi bekeja atau tidak. Sementara pekerja tidak boleh bekerja," ujar Timbul.

Ia melanjutkan, status pekerja yang ´digantung´ oleh pemberi kerja akan ´memaksa´ pekerja mengajukan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial (PHI). Akibatnya pekerja pun dipaksa membuktikan dalil atas gugatannya pada pemberi kerja. "Padahal pekerja pasti memiliki keterbatasan kemampuan pembuktian beracara dalam proses hukum. Begitu pun dengan dokumen yang dimiliki pekerja tidak akan selengkap yang dimiliki pemberi kerja. Sementara, kalau pemberi kerja yang mengajukan permohonan izin PHK pada PHI secara aktif, maka pembuktian dalil dilakukan oleh pemberi kerja," ujarnya menjelaskan.

Timbul mengatakan mengacu pada Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan, mensyaratkan pemberi kerja dituntut untuk aktif ketika ingin melakukan PHK pada pekerjanya. Sehingga pemberi kerja mengajukan permohonan PHK pada panitia penyelesaian perselisihan perburuhan daerah (P4D) di bawah kementerian tenaga kerja (menaker). Tapi sejak UU 22/1957 diubah ke UU Nomor 2 Tahun 2004 tentang PPHI, pemberi kerja dibiarkan pasif sehingga tak harus mengajukan permohonan PHK ke pengadilan. "Sehingga pekerja yang harus aktif menuntut kepastian hukum akan statusnya," tegas Timbul.

Menurutnya, adanya ´pemaksaan´ yang membuat pekerja mengajukan gugatan pada pemberi kerja dalam UU PPHI tentu sangat merugikan pekerja. Sebab pemberi kerja justru tidak diwajibkan memberi upah ketika proses peradilan berlangsung. Padahal berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, selama masih belum ada putusan PHI, pekerja masih berstatus sebagai karyawan dan harus mendapatkan upah.

Ia melanjutkan Pasal 81 UU PPHI perlu dimaknai agar pemberi kerja harus proaktif ketika ingin melakukan PHK pekerjanya. "Sehingga pemberi kerja yang membuktikan dalilnya dan bukan lagi pekerja yang tentu tidak memiliki kemampuan membuktikan dalil. Sebab semua dokumen pasti dimiliki lengkap oleh pemberi kerja," lanjut Timbul.

Menanggapi keterangan Timbul, Hakim Konstitusi Patrialis Akbar menanyakan pemecahan rasionalnya seperti apa yang diharapkan ketika Pasal 81 UU PPHI nantinya dikabulkan. Dia mencontohkan, bagaimana tanggapan buruh, ketika terjadi situasi dimana justru pemberi kerja sengaja menunggu buruh mengundurkan diri, dan suasana dibuat tidak nyaman.

Lalu pekerja terpaksa meminta kepastian soal hak mereka. "Siapa yang akan selesaikan ini? Bukankah kepastian hukum justru tidak ada karena tidak ada yang menangani masalah ini?" ujarnya pada kesempatan yang sama.

Menjawab pertanyaan ini, Timbul menjelaskan kalau Pasal 81 UU PPHI dikabulkan maka akan menjadi referensi bagi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk merevisi UU PPHI. Sehingga putusan MK bisa lebih menekankan dalam melakukan PHK yang harus aktif adalah pemberi kerja.

Sehingga pemberi kerja yang melakukan permohonan PHK dan bukan pekerja yang melakukan gugatan pada PHI. "Jika pemberi kerja melakukan permohonan maka otomatis dalil juga akan dibuktikan oleh pemberi kerja. Sehingga dalam permohonan PHK pekerja ada peran pemerintah," tegas Timbul.

Sebelumnya, sembilan orang pemohon yang bekerja sebagai buruh diantaranya Abda Mufti, Agus HUmaedi Abdillah, Muhammad Hafidz, Chairul Eillen Kurniawan, Ali Imron Susanto, Mohamad Robin, Riyanto, Havidh Sukendro, dan Wawan Suryawan mengajukan gugatan atas Pasal 81 UU PPHI. Mereka mempermasalahkan PHK dengan gugatan yang menghilangkan kewajiban pengusaha membayarkan upah PHK.

BACA JUGA: