JAKARTA, GRESNEWS.COM - Kejahatan korupsi terjadi lazimnya terjadi dua arah, ada penyuap dan orang yang disuap. Biasanya kasus korupsi berkelindan antara penguasa dan pengusaha. Pengusaha ingin mendapatkan kemudahan dari perizinan yang dikeluarkan penguasa seperti pada kasus yang menjerat pemilik PT Mitra Maju Sukses (MMS) Andrew Hidayat.

Andrew menjalani sidang perdananya hari ini dan telah resmi menjadi terdakwa melakukan penyuapan kepada Adriansyah yang merupakan anggota DPR RI Komisi IV dan mantan Bupati Tanah Laut, Kalimantan Selatan. Suap itu tidak hanya sekali, tetapi sudah beberapa kali sehingga dipandang Jaksa sebagai perbuatan berlanjut.

Jaksa KPK Yudi Kristiana membeberkan kronologi terjadinya suap secara berlanjut ini. Pada 2012, Andrew diberi kepercayaan oleh Jason Surjana Tanuwijaya yang merupakan pengendali PT Indoasia Cemerlang (IAC) dan Budi Santoso Simin salah satu pemegang saham PT MMS untuk bertemu Adriansyah yang masih menjabat sebagai Bupati Tanah Laut.

"Dengan maksud akan melakukan jual beli batubara milik PT IAC dan PT Dutadharma Utama (PT DDU) yang memiliki Izin Usaha Pertambangan di Kabupaten Tanah Laut," kata Jaksa Yudi Kristiana saat membacakan surat dakwaan, Senin (29/6).

Selanjutnya, Andrew menemui Adriansyah di ruang kerjanya dan menyampaikan PT IAC sedang bersengketa dengan PT Arutmin terkait sengketa lokasi pertambangan. Andrew juga menemui H. Rahim (Kepala Desa Sungai Cuka) terkait dengan pemblokiran jalan yang dilalui angkutan batubara perusahaannya yang mengakibatkan tidak bisa berproduksi.

Andrew meminta Adriansyah turun tangan membantu permasalahan ini. Atas permintaan tersebut, politisi PDI Perjuangan ini pun akhirnya berhasil menyelesaikan masalah melalui jalan musyarawah. Sehingga pada 2013, PT IAC kembali dapat memproduksi batubara seperti sebelumnya.

BANTU PERMUDAH PERIZINAN - Andrew kembali meminta bantuan untuk mempermudah pengurusan perizinan PT IAC dan PT DDU diantaranya terkait Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi. Adriansyah akhirnya membantu mengurus izin tersebut padahal permohonan PT DDU tanpa dilengkapi persyaratan dokumen teknis berupa hasil eksplorasi, studi kelayakan, dan dokumen Analisis Dampak Lingkungan.

Kemudian terkait pengurusan surat Eksportir Terdaftar PT IAC dan PT DDU. Dimana kala itu batas waktu pengurusan hanya sampai akhir Agustus 2014, namun hingga 19 Agustus di tahun yang sama, ternyata kedua perusahaan tersebut belum mendapat persetujuan Rencana Kerja Anggaran Biaya (RKAB) dari Pemerintah Kabupaten Tanah Laut sebagai syarat.

Karena, luas area izin PT DDU diketahui di atas 200 ha, maka perlu adanya Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) sebagai syarat penerbitan RKAB. Untuk mengurus Amdal, memerlukan waktu yang tidak sebentar dan memerlukan persetujuan Gubernur Kalimantan Selatan.

"Karena PT DDU memerlukan RKAB secepatnya, maka terdakwa Andrew Hidayat menghubungi Adriansyah untuk memberitahukan permasalahan itu," terang Jaksa lainnya Trimulyono Hendardi.

Sebenarnya, Andrew telah menghubungi Bambang Alamsyah yang merupakan Bupati Tanah Laut. Tetapi Bambang enggan membantu Andrew menyelesaikan permasalahan itu. Andrew akhirnya langsung menghubungi Adriansyah yang merupakan ayahanda dari Bambang untuk menyelesaikan perkara ini.

Andrew menyanggupi permintaan ini. Ia kemudian mengutus M. Hanil selaku Kepala Dinas Pertambangan dan Energi dengan maksud agar RKAB PT DDU segera diterbitkan. M. Hanil lantas menghubungi bawahannya Antoeng Mas Rhoedy Erhansyah selaku Kepala Bidang Pertambangan Umum agar segera menerbitkan surat itu.

JASA SUAP - Atas jasa-jasa inilah Andrew memberikan uang kepada Adriansyah sebesar SG$50 ribu. Uang tersebut diberikan kepada ajudannya Agung Krisdiyanto untuk menyampaikan uang yang kemudian disepakati lokasi pemberian uang berada di Bali.

"Atas perintah Adriansyah kemudian Agung melaporkan kepada Andrew bahwa uang dollar Singapura dibawa ke bali, yang kemudian Adriansyah mengirim pesan singkat tempat penyerahan uang yang berbunyi ´di Sanur Hotel Swiss Belhotel´," imbuh Jaksa Tri.

Pada 9 April 2015, Agung akhirnya pergi ke Bali dengan membawa uang SG$44 ribu dan sekitar Rp57 juta. Uang itu adalah pecahan dari SG$50 ribu yang sebagian ditukarkan kedalam bentuk rupiah. Uang tersebut dimasukkan amplop berwarna coklat.

"Ini Pak ada titipan amanah dari Pak Andrew, dan untuk permintaan Bapak juga sudah saya tukarkan. Semua kuitansi penukarannya juga ada di dalam amplop," ucap Jaksa Tri menirukan perkataan Agung ketika itu.

Uang SG$50 ribu ternyata bukan yang pertama kali yang diberikan Andrew kepada Adriansyah. Pada Kamis, 13 November 2014, Andrew juga memerintahkan Agung memberikan uang suap sebesar US$50 ribu yang dimasukkan ke dalam goody bag. Agung menyerahkan uang di lantai atas Mall Taman Anggrek.

Ada lagi uang Rp500 juta yang diberikan pada 20 November 2014. Uang tersebut diserahkan di Apartemen GP Plaza di daerah Slipi, Jakarta Barat. Kemudian keesokan harinya pada 21 November 2014, diberikan lagi uang Rp500 juta.

Atas perbuatannya, Andrew diancam Pasal 5 ayat (1) huruf b Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang telah diubah dengan Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2001 Juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP dengan ancaman pidana maksimal 5 tahun.

PULUHAN DPR TERTANGKAP - Selama berdirinya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menjerat 36 anggota DPR terkait korupsi. Lima di antaranya ditangkap basah atau dibekuk usai transaksi termasuk Adriansyah yang ditangkap di Bali.

Adriansyah ditangkap KPK saat berada di hotel di Sanur, Bali. Diamankan uang ratusan ribu dolar Singapura untuk suap terkait izin usaha di Kalimantan. Politisi PDIP itu ditangkap bersama seorang kurir Agung Krisdianto dan pengusaha Andrew Hidayat di Jakarta.

Dari data statistik di laman KPK sudah  ada 36 anggota DPR yang kena ciduk lembaga anti rasuah tersebut sejak 2008. Masing-masing 7 kasus di tahun 2008, 10 kasus di tahun 2009, 7 kasus di tahun 2010, 2 kasus di tahun 2011, 6 kasus di tahun 2012, dua kasus di tahun 2013 dan dua kasus di tahun 2014.

Sebelum Adriansyah, sedikitnya sudah ada lima orang anggota DPR yang tertangkap tangan KPK. Mereka sudah menjalani persidangan dan dinyatakan bersalah. Sebagian bahkan ada yang sudah bebas dari tahanan. Mereka berasal dari partai yang berbeda-beda.

Berikut daftarnya:

1. Al Amin Nasution (PPP)

Politisi PPP ini adalah anggota DPR pertama yang ditangkap KPK. Kala itu, dia menjabat sebagai anggota Komisi IV dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (F-PPP). Amin ditangkap di Hotel Ritz-Carlton, Jakarta, Rabu (9/4/2008) sekitar pukul 01.30 WIB karena diduga melakukan tindak pidana suap.

Al Amin bersama Sekda Kabupaten Bintan digulung KPK, Rabu 9 April dinihari. Mereka tertangkap tangan sedang melakukan praktek suap. Dari kejadian itu, KPK berhasil menyita uang tunai Rp 71 juta.

Dalam perkembangannya, kasus ini heboh karena dibumbui wanita. Bahkan masalah tersebut jadi perhatian hakim Pengadilan Tinggi Jakarta, meski dibatalkan oleh Mahkamah Agung. Al Amin akhirnya divonis 8 tahun penjara dalam putusan akhirnya. Dia juga diminta mengembalikan uang negara sebesar Rp 2,3 miliar.

2. Bulyan Royan (PBR)

Bulyan Royan ditangkap KPK saat duduk sebagai anggota Fraksi Partai Bintang Reformasi DPR RI. Dia dibekuk di Plaza Senayan, Jakarta. Dia tertangkap tangan pada pukul 17.30 WIB, 1/8/2008.

Anggota Dewan dari daerah pemilihan Riau itu menerima suap US$ 60 ribu dan 10 ribu euro. Suap itu terkait dengan pengadaan kapal patroli di Ditjen Perhubungan Laut Departemen Perhubungan. Di tingkat pertama, dia divonis 6 tahun penjara.

3. Abdul Hadi Jamal (PAN)

Abdul Hadi Jamal ditangkap bersama pejabat Departemen Perhubungan, Darmawati Dareho. Dalam penangkapan itu, KPK menyita uang 90.000 dollar AS dan Rp 54 juta. Penangkapan keduanya diduga terkait proyek dermaga dan bandara di wilayah timur Indonesia

Di pengadilan Tipikor, Abdul Hadi Jamal divonis tiga tahun penjara.

4. Chairun Nisa (Partai Golkar)

Chairun Nisa menjabat sebagai anggota Fraksi Golkar saat ditangkap. Dia adalah perantara suap Akil Mochtar dari Bupati Gunung Mas Hambit Bintih ke Akil Mochtar. Suap diberikan untuk pengurusan sengketa Pilkada Gunung Mas yang tengah bergulir di MK.

Nisa ditangkap saat sedang berada di rumah Akil pengusaha Cornelis Nalau Antun. Dari penangkapan, disita duit Rp 3 miliar.

Sebagai imbalan atas jasa Nisa sebagai perantara, Hambit memberikan duit Rp 75 juta kepada mantan anggota DPR dari fraksi Golkar itu. Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Jl HR Rasuna Said, Kuningan, Jaksel, Kamis 27 Maret 2014 menjatuhkan hukuman 4 tahun penjara kepada Chairun Nisa. Hukuman itu lebih ringan dari tuntutan JPU yang menuntut 7,5 tahun penjara.

5. Luthfi Hasan (PKS)

Penangkapan politikus PKS Luthfi Hasan berbeda dengan kasus lainnya. Dia dijemput KPK saat berada di gedung DPP PKS. Penangkapan terhadap Luthfi dilakukan sehari setelah rekannya, Ahmad Fathanah, ditangkap di Hotel Le Meridien bersama seorang wanita.

Luthfi dinyatakan bersalah menerima suap dari PT Indoguna Utama lewat Fathanah. Di tingkat pertama, hakim menjatuhkan hukuman 16 tahun penjara dan denda Rp 1,3 miliar karena terbukti melakukan penerimaan suap terkait pengaturan kuota impor daging di Kementan pada 2013. Durasi hukuman 16 tahun bui itu merupakan akumulasi dari pasal korupsi dan pencucian uang. Untuk korupsi, dia dihukum 10 tahun dan pencucian uang 6 tahun. Di tingkat kasasi, hukuman pria beristri tiga ini ditambah, hukuman korupsi jadi 10 tahun dan pencucian uang 8 tahun. (dtc)

BACA JUGA: