JAKARTA, GRESNEWS.COM - Dugaan adanya monopoli atau kartel dalam bisnis asuransi semakin menguat. Setelah beberapa waktu lalu Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menyatakan adanya dugaan kartel asuransi, kini kecurigaan yang sama juga dilontarkan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Hanya saja perbedaannya, kecurigaan OJK akan adanya kartel asuransi didasarkan pada banyaknya perusahaan asuransi yang sulit memasarkan produk-produknya.

Hal ini, menurut Deputi Komisioner Pengawas Industri Keuangan Non Bank (IKNB) OJK Dumoly Pardede, terjadi karena ada perusahaan asuransi yang menjalin kerjasama dengan perusahaan tertentu seperti perbankan untuk memasarkan produknya. Nah, kerjasama ini membuat perusahaan yang menjadi mitra asuransi seperti perbankan tadi hanya bisa menjual produk-produk perusahaan tertentu saja.

Akibatnya perusahaan asuransi lain tidak bisa ikut memasarkan produk-produknya di penjual agen asuransi tersebut. "Kami sebagai OJK harus memastikan tidak ada bisnis semacam itu, kalau hanya business to business menyebabkan industri lain nggak bisa masuk, itu nggak fair," kata Dumoly pada acara HUT ke-34 Media Asuransi dengan Tema ´Ekspektasi Bank dan Multifinance Terhadap Asuransi,´ di Hotel Le Meridien, Jakarta, Kamis (27/3).

Lebih jauh Dumoly menjelaskan, pihaknya meminta kepada seluruh perusahaan asuransi di Indonesia untuk terbuka dalam menjalin kerjasama dengan agen penjual asuransi. "Pokoknya eksklusif deal itu tidak sehat. Ini membuat pasar keuangan berdampak tidak sehat. Banyak industri sulit menjual produknya ke bancassurance, harusnya terbuka dikasih kesempatan yang lain," terang dia.

Untuk itu, pihaknya bakal berdiskusi dan mengatur terkait hal ini dengan para dewan komisioner di kalangan OJK. Hal ini untuk mengantisipasi melebarnya monopoli distribusi produk asuransi pada satu perusahaan tertentu. "Posisi kita mengimbau, nanti kita lihat, kita lagi minta arahan dari dewan komisioner. Kami akan minta arahan. Banyak kan antara asuransi dan leasing tertentu, antara dapen tertentu dengan fund manager tertentu. Termasuk BUMN dengan BUMN. Ini akan diatur agar efisien," pungkasnya.

Berbeda dari OJK, KPPU mencium adanya persaingan usaha tidak sehat dalam penentuan harga premi asuransi risiko banjir oleh Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) pada tahun lalu. Dasar kecurigaan itu adalah terbitnya SK Nomor 02/AAUI/2013 tanggal 14 Februari 2013 tentang Pembaharuan Pedoman Suku Premi dan Zona Banjir Atas Asuransi Risiko Banjir (SK 02) yang berlaku pada tanggal 14 Maret 2013.

SK yang penyusunannya dibantu oleh PT Asuransi MAIPRAK Indonesia ini mengatur beberapa perubahan dalam premi asuransi properti. Di antaranya adalah tentang zona (risiko banjir) yang dibedakan berdasarkan tingkat risiko, mulai dari zona low yaitu daerah yang tidak pernah kebanjiran atau pernah banjir dengan ketinggian 30 cm, zona moderat yaitu daerah yang pernah banjir dengan kedalaman 30 cm-60 cm, hingga zona tinggi yaitu kawasan yang pernah banjir dengan ketinggian di atas 60 cm.

Tarif tiap zona ini berbeda-beda. Untuk zona low tarif preminya ditetapkan sebesar 0,045 persen dari nilai pertanggungan. Untuk zona moderat tarifnya sebesar 0,170 persen dan zona tinggi 0,52 persen. Ketentuan zonasi ini berlaku hingga ke wilayah di luar Jakarta. Pembagian zonasi ini tidak ada dalam SK sebelumnya.

Karena itulah KPPU melihat, penetapan harga ini memenuhi unsur adanya kartel penetapan harga yang dilarang berdasarkan Pasal 5 UU Nomor 5 Nomor 1999. Dalam pasal itu disebutkan: "Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga atas suatu barang dan atau jasa yang harus dibayar oleh konsumen atau pelanggan pada pasar bersangkutan yang sama".

Hanya saja dugaan adanya kartel asuransi, risiko banjir ini belakangan menjadi tak jelas. Beberapa waktu lalu Direktur Eksekutif AAUI Julian Noor sudah bertemu dengan pihak KPPU. Pihak OJK juga dilibatkan dalam pembahasan masalah ini. Untuk sementara AAUI sendiri menunda pemberlakuan tarif zonasi itu sampai persoalan ini tuntas. Kini diharapkan OJK serius mendalami masalah tersebut termasuk dugaan kartel penjualan asuransi bekerjasama dengan bank.

Sementara itu pihak asuransi sendiri beralasan penjualan melalui perbankan dilakukan karena penetrasi produk asuransi di Indonesia dinilai masih minim. Saat ini, penetrasi pasar asuransi di Indonesia baru sekitar 5%.

Direktur Hukum dan Kepatuhan PT Sun Life Financial Indonesia Rista Manurung mengatakan, Indonesia merupakan pasar potensial bagi produk-produk asuransi. Industri asuransi dalam 5 tahun terakhir tumbuh 20-30% per tahun. "Penetrasi asuransi masih minim hanya 5%, perlu pemasaran yang lebih agresif. Industri asuransi dalam 5 tahun terakhir tumbuh rata-rata 20-30% per tahun, ini potensial," kata Rista, di Hotel Le Meridien, Jakarta, Kamis (27/3).

Menurut dia, untuk memperluas pasar asuransi tersebut dibutuhkan kerjasama dengan lembaga keuangan seperti bank atau multifinance untuk membantu pendistribusian produk-produk asuransi secara efisien. Selain itu, lembaga tersebut memiliki jaringan yang luas untuk mencapai target market yang dituju. "Market penetration masih sangat kecil. Untuk memperluas pasar, pendistribusian mengharapkan kerjasama yang baik merangkul para partner seperti bank dan multifinance," ujarnya. (dtc)

BACA JUGA: