JAKARTA, GRESNEWS.COM - Pegiat hukum dan internet meminta Mahkamah Agung (MA) menyatakan Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 19 Tahun 2014 tentang Penanganan Situs Internet Bermuatan Negatif tidak sah dan tidak berlaku secara umum serta bertentangan dengan sejumlah peraturan perundang-undangan.

Antara lain bertentangan dengan UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, dan UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.

"Munculnya beragam permasalahan penerbitan dan implementasi Permen 19/2014, kami memohon agar Mahkamah Agung melakukan uji materi terhadap seluruh ketentuan Permen itu," kata salah satu pemohon, Damar Juniarto, Regional Coordinator Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFENET), kepada Gresnews.com, Sabtu (22/11).

Alasan Damar dan tujuh pemohon lainnya setidaknya ada empat. Pertama, Permen 19/2014 gagal merumuskan secara definitif yang dimaksud "konten bermuatan negatif". Hal ini, menurutnya, memiliki implikasi serius pada perlindungan hak asasi, karena tanpa batasan yang jelas konten apapun di internet dapat dikategorikan sebagai konten negatif.

Kedua, penerbitan Permen 19/2014 didasarkan pada UU Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dan UU Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi (UU Pornografi). Seharusnya larangan dalam Permen 19/2014 tidak melebihi tindakan-tindakan yang diatur UU ITE dan UU Pornografi.

Misalnya hanya mengatur perbuatan-perbuatan yang dilarang Pasal 27 hingga 29 UU ITE, atau melarangan situs bermuatan pornografi. Damar mencontohkan, situs miliknya yang bukan bermuatan pornografi, tidak bisa dijalankan karena diblokirnya situs vimeo.com.
 
Ketiga, Permen 19/2014 tidak memiliki dasar acuan undang-undang yang jelas dalam pemberian kewenangan pada Kementerian Komunikasi dan Informatika (Keminfo) untuk menilai apakah suatu situs bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Terlebih lagi untuk menutup situs tersebut. "Karena itu, legitimasi kewenangan Kominfo pada Permen 19/2014 dianggap tidak sah karena tidak berdasar," ujarnya.

Keempat, pemblokiran ´konten yang dilarang´ sudah aktif dilakukan Internet Service Provider atas perintah Keminfo dengan merujuk pada daftar TRUST+Positive yang dibentuk berdasarkan Permen 19/2014. Pada implementasinya, materi pengaturan pemblokiran ini membatasi hak dan kebebasan yang dijamin UUD 1945.

Seharusnya, lanjut Damar, materi Permen 19/2014 diatur oleh undang-undang untuk menjamin adanya partisipasi publik dalam pembahasannya, serta memastikan transparansi dan akuntabilitas dalam tindakan pembatasannya.

Gugatan atas Permen 19/2014 itu sendiri sudah dilayangkan  empat lembaga dan individu pegiat hukum dan internet ke MA, Jumat (21/11) kemarin. Pengajuan itu dilakukan oleh kuasa hukum para penggugat diantaranya Supriyadi Widodo Eddyono, Wahyudi Djafar, Erasmus Napitupulu, dan Robert Sidauruk.

BACA JUGA: