JAKARTA, GRESNEWS.COM - Mantan Kepala Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) Syahrul Raja Sampurnajaya dituntut Jaksa Penuntut Umum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan pidana penjara 10 tahun dan denda Rp1 miliar. Syahrul menurut Jaksa terbukti melakukan tindak pidana korupsi terkait jabatannya sebagai penyelenggara negara.

"Menjatuhkan pidana 10 tahun dikurangi masa kurungan dan denda Rp1 miliar subsider 8 bulan penjara," kata Jaksa KPK Elly Kusumastuti saat membacakan amar tuntutan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Rabu (22/10).

Dalam mengenakan tuntutan, Jaksa mempunyai beberapa pertimbangan baik yang memberatkan, maupun meringankan. Syahrul dianggap tidak mendukung program pemerintah yang sedang giat memberantas tindak pidana korupsi, menjadi pertimbangan memberatkan. Sedangkan yang meringankan, terdakwa belum pernah dihukum, mengakui perbuatannya, dan juga bersikap baik selama persidangan.

Jaksa Elly mengatakan, tuntutan itu disusun berdasarkan syarat obyektif dan subjektif. Jaksa telah melakukan pembuktian dari fakta-fakta persidangan serta keterangan para saksi. Selain itu, Jaksa juga sudah menguraikan pertanggungjawaban yang harus dilakukan Syahrul selaku terdakwa.

Syahrul diyakini jaksa melakukan 5 tindak pidana korupsi dan satu pidana pencucian uang. Dan kesemuanya, dianggap Jaksa telah terbukti secara sah dan meyakinkan. Pertama, Syahrul dianggap melanggar Pasal 12 huruf e UU no 31 Tahun 1999 tentang Tindak pidana Korupsi.

"Terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah selaku pegawai negeri atau penyelenggara negara melakukan beberapa perbuatan berlanjut, menyalahgunakan kekuasaan, memaksa seseorang mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri sesuai Pasal 12 huruf e  UU No 31 Tahun 1999 tentang Tindak pidana Korupsi sebagaimana dakwaan kesatu," kata Jaksa Elly.

Kemudian  terdakwa menerima hadiah padahal patut diketahui hadiah diberikan karena melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 12 huruf b UU Tipikor sesuai dengan dakwaan kedua.

Dan dakwaan ketiga, Syahrul selaku pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji padahal patut diduga hadiah itu diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya dan bertentangan dengan kewajibannya dalam Pasal 12 huruf a UU Tipikor.

Dakwaan Keempat, Syahrul diyakini Jaksa melanggar Pasal 11 UU Tipikor. "Terdakwa memberi atau menjanjikan sesuatu dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabat dengan kekerasan, ancaman atau penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, saranan atau keterangan sengaja menganjutkan orang lain supaya melakukan perbuatan menerima hadiah atau janji terkait kewenangannya," sebut Jaksa Elly.

Selanjutnya untuk dakwaan kelima, terdakwa telah melakukan atau turut serta melakukan beberapa perbuatan berlanjut, memberi atau menjanjikan sesuatu memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri dengan maksud agar pegawai negeri itu berbuat dalam jabatannya. Perbuatan itu bertentangan dengan Pasal 5 Ayat (1) huruf a UU Tipikor.

Jaksa KPK lainnya, Sigit Waseso menjabarkan beberapa tindakan Syahrul sesuai enam dakwaan tersebut. Pertama, ia dianggap memaksa Dirut  PT Bursa Berjangka Jakarta (BBJ) Made Sukarwo dan Dirut PT Kliring Berjangka Indonesia (PT KBI) Surdiyanto Suryodarmodjo untuk mengumpulkan fee transaksi.

Selanjutnya Syahrul menanyakan realisasi penyisihan fee transaksi kepada I Gede Raka Tantra, Ketua Asosiasi Pialang Berjangka Indonesia (APBI), dan Fredericus Wisnusbroto, Ketua Ikatan Perusahaan Pedagang Berjangka Indonesia (IP2BI) melalui Sekretaris Kepala Bappebti Nizarli.

"Bantuan operasional total Rp1,675 miliar tidak ada yang digunakan untuk pengembangan kegiatan pedagangan berjangka melainkan hampir seluruhnya digunakan untuk kepentingan terdakwa," kata jaksa Sigit.

Kedua, Syahrul menerima uang Rp1,5 miliar yang diyakini sebagai imbalan karena Syahrul selaku Kepala Bappebti melakukan mediasi antara Maruli T Simanjuntak dengan CV Gold Aset anak perusahaan PT AXO Capital Futures yang tengah bersengketa. Jaksa mengesampingkan alasan Syahrul yang menyebut duit diberikan Maruli untuk investasi di PT Garindo Perkasa.

"Jika berinvestasi seharusnya Maruli Simanjuntak membuat perjanjian kerjasama dengan Sentot Susilo Dirut PT Garindo Perkasa bukan dengan terdakwa," tegas jaksa.

Ketiga, Syahrul menerima duit Rp7 miliar dari Komisaris Utama PT BBJ Hasan Wijaya melalui Dirut PT BBJ Bihar Sakti Wibowo. Duit ini diberikan terkait permohonan izin usaha PT Indokliring Internasional, lembaga kliring yang didirikan BBJ.

"Setelah menerima uang, terdakwa memerintahkan James Bintaryo (Kabiro Perniagaan Bappebti) memproses permohonan izin PT Indokliring Internasional," sebut jaksa.

Pada pidana keempat, Syahrul meminta uang operasional untuk perjalanan dinas ke luar negeri, kepada pihak swasta pada Maret 2013. Syahrul mengontak Kepala Biro Hukum Bappebti Alfons Samosir untuk mencari tambahan uang saku. Alfons lalu menghubungi Direktur PT Milenium Penata Futures (PT MPF) Runy Syamora, meminta agar disediakan uang Aus$5 ribu.

Namun uang ini tidak jadi digunakan Syahrul karena berhalangan untuk melakukan perjalanan dinas. Atas anjuran Syahrul, duit akhirnya digunakan oleh Alfons untuk kepentingan pribadi.

Selain itu, Syahrul pada dakwaan kelima, dinilai terbukti menyuap pejabat sejumlah pejabat di Kabupaten Bogor terkait rekomendasi pemberian izin lokasi Tempat Pemakaman Bukan Umum (TPBU) di Tanjungsari Bogor.

"Terdakwa bersama-sama Sentot Susilo (Dirut PT Garindo Perkasa) dan Nana Supriyatna (Direktur Operasional PT Garindo Perkasa) memberikan uang Rp1,390 miliar," ujar jaksa Sigit.

Terakhir, jaksa meyakini Syahrul melakukan pidana pencucian uang. Selain menempatkan uang, Syahrul  juga membelanjakan uang hasil tindak pidana korupsi antara lain untuk pembelian Toyota Vellfire, dan cicilan unit apartemen di Senopati, pembayaran cicilan Toyota Hilux Double Cabin, dan pembayaran asuransi.

Menurut jaksa, harta kekayaan Syahrul tidak sesuai dengan profil penghasilan yang tercantum pada laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN). Pada LHKPN per 1 Februari 2010, Syahrul yang tidak memiliki penghasilan lain, memiliki harta kekayaan Rp1,576 miliar.

"Apabila dibandingkan dengan LHKPN, ada ketidakwajaran sehingga patut diduga harta kekayaan tersebut diketahui atau patut diduga berasal dari hasil tindak pidana korupsi," sambung jaksa.

Kuasa Hukum Syahrul, Eko Abadi Prananto menganggap tuntutan ini terlalu berat. Karena, kesalahan kliennya hanya melakukan usaha dengan mencantumkan jabatannya sebagai Kepala Bappebti. "Soal TPPU juga kan masih banyak perdebatan, kira-kita itu yang akan di ada dalam pledoi nanti," kata Eko seusai sidang.

BACA JUGA: