JAKARTA, GRESNEWS.COM - Indonesia Corruption Watch (ICW) menyampaikan catatan terkait tren penegakan hukum kasus korupsi tahun 2014. Catatan ICW didasarkan dari pantauan kasus dari 1 Januari hingga 31 Desember 2014. Kasus-kasus tersebut telah masuk tahap penyidikan.

Dalam catatannya, ICW menyebut sebanyak 1.328 orang telah ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi selama 2014. Jumlah tersangka itu berasal dari 629 kasus tindak pidana korupsi. Pada semester I terdapat 659 tersangka dan pada semester II 669 tersangka.

Terdapat peningkatan penetapan tersangka dibanding pada 2013 sebanyak 1.271 orang. Sedangkan pada 2014 naik menjadi 1.328 orang.

"Ada penambahan 57 orang,” papar Koordinator Divisi Investigasi dan Publikasi Indonesia Corruption Watch (ICW) Tama S Langkun dalam siaran persnya yang diterima Gresnews.com, Kamis (19/2).

Dari 1.328 tersangka itu, dua diantaranya adalah menteri aktif pada periode pemerintahan lalu yakni Menteri Agama Suryadharma Ali dan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Jero Wacik. Selain itu, juga terdapat pejabat tinggi negara seperti mantan Ketua BPK Hadi Purnomo dan mantan Ketua Komisi VII DPR Sutan Bhatoegana.

Dari data yang berhasil dikumpulkan ICW juga disebutkan bahwa terdapat 43 kepala daerah menjadi tersangka kasus korupsi sepanjang 2014. Kebanyakan kepala daerah yang menjadi tersangka kasus korupsi ini terafiliasi kepada Partai Golkar dan Partai Demokrat.

Kemudian, ada 81 anggota DPRD yang menjadi tersangka kasus korupsi sepanjang 2014. "Terdapat peningkatan kepala daerah yang ditetapkan menjadi tersangka," ujarnya.

Melihat data di atas, ICW menilai kebijakan desentralisasi masih memberikan ruang atau celah besar bagi terjadinya praktik korupsi. Karena itu, kebijakan ini harus diarahkan pada penguatan kelompok masyarakat, sehingga mekanisme kontrol bisa berjalan secara efektif di tengah situasi kontrol parlemen dan pengawasan internal justru menjadi bagian dari persoalan korupsi.

Tama mengatakan, tren latar belakang korupsi pada 2014 ada di sektor pengadaan barang dan jasa. Adapun kasus sumber daya alam di daerah sampai saat ini belum ditangani pihak kepolisian dan kejaksaan. Dia pun menyarankan agar sektor infrastruktur, keuangan daerah (sosial kemasyarakatan seperti hibah), dan bidang pendidikan menjadi perhatian pemberantasan ke depannya.

"Modus yang dilakukan para tersangka korupsi masih sama dengan modus konvensional, seperti penggelapan, mark up , dan laporan fiktif," paparnya.

Sementara dari tiga penegak hukum yang menangani kasus korupsi, baru Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang berani menyentuh posisi-posisi strategis, sedangkan kejaksaan dan kepolisian belum pernah menyentuh pejabat tinggi negara.

"Para mantan menteri dan pejabat tinggi negara semua yang menangani KPK. Kejaksaan dan kepolisian belum pernah," ujarnya.

Korupsi memang masih menjadi kejahatan luar biasa di Indonesia. Di era pemerintahan baru Jokowi-JK ini, komitmen pemberantasan Jokowi diharap lebih besar, sesuai dengan Nawa Cita.

Menyelaraskan semangat tersebut, Kejaksaan Agung di awal 2015 membentuk tim satuan khusus penyelesaian dan penuntasan kasus korupsi. Tim terdiri dari 100 jaksa terbaik.

Itu sebagai jawaban atas keraguan masyarakat atas kerja Kejaksaan memberantas korupsi. "Korupsi telah merambah hingga ke desa, ini tidak bisa dibiarkan," begitu kata Jaksa Agung pilihan Jokowi HM Prasetyo.

Namun di tengah bersemangat memberantas korupsi, sebuah kekuatan secara diam-diam mematikan semangat itu. Ujung tombak pemberantasan korupsi yakni Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dilumpuhkan secara perlahan. Dua pimpinan KPK ditetapkan tersangka oleh Polri.

Belum lagi 21 penyidik KPK juga terancam menjadi tersangka. Kini semua berharap Jokowi komit dengan Nawa Citanya. Berkomitmen untuk membentuk pemerintahan bersih dan jauh dari praktik KKN.

BACA JUGA: