JAKARTA, GRESNEWS.COM - Pemohon uji materi Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menginginkan pernikahan beda agama agar diakui di Indonesia mengubah petitumnya. Jika sebelumnya pemohon uji materi Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan, yakni mahasiswa dan alumni Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FH UI), Anbar Jayadi, Damian Agata Yuvens, Rangga Sujud Widigda, Varida Megawati Simarmata, dan Lutfi Sahputra meminta pasal tersebut dihapuskan dari UU perkawinan. Dalam perubahan petitumnya mereka meminta ada pemaknaan baru, yakni kondisional konstitusi.

Sebelumnya mereka menafsirkan, Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan yang berbunyi, "Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing- masing agamanya dan kepercayaan itu" telah menyebabkan ketidakpastian hukum bagi yang akan melakukan perkawinan beda agama di Indonesia.  Namun dalam sidang perbaikan pemohonan mereka mengubah sedikit permohonannya.

"Bunyi pasal yang kami inginkan adalah  Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaan itu sepanjang penafsiran mengenai hukum agama dan kepercayaannya itu diserahkan kepada masing-masing mempelai," tutur Damian, dalam sidang lanjutan perkara nomor: 68/PUU-XII/2014 dengan agenda Perbaikan Permohonan (II) di Gedung MK, Jakarta Pusat, Rabu (17/9).

Petitum itu diubah pemohon bersamaan dengan perbaikan sejumlah permohonan mereka. Seperti penambahan elaborasi sila pertama Pancasila terhadap UU Perkawinan, dikaitkan dengan kedudukan warga negara di dalam perkawinan.

Kemudian, memasukan perbandingan ketatanegaran; Menjelaskan potensi kerugian konstitusional, khususnya pada bagian keberagaman yang ada di Indonesia, dan tingkat mobilitas di Indonesia.

Mereka juga mengubah permohonan dari awalnya hanya uji materil menjadi uji materil dan formil. Namun, penambahan permohonan uji formil ini ditolak majelis hakim lantaran dinilai sudah daluarsa.
"Selain harus melihat ada tidaknya kedudukan hukum dari Pemohon maka wajib pula dilihat batas waktu (daluarsa) dalam mengajukan Pengujian Formil," jelas Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams.

Berdasarkan putusan No 27/PUU-VII/2009, ungkap Adams,  telah ditetapkan batas waktu 45 hari setelah UU tersebut dimuat di Lembaran Negara. "Uji formil ini sudah lewat waktunya karena tenggat waktunya adalah 45 hari setelah UU tersebut dimuat di Lembaran Negara. Jadi uji formil tidak bisa dilakukan," jelasnnya sesaat akan menutup sidang.

Sidang perbaikan itu hanya berlangsung sekitar 10 menit. Empat rekan Damian selaku pemohon tidak tampak ikut mendapingi seperti sidang pendahuluan, Kamis (4/9) lalu.

Damian yang dikonfirmasi soal perbaikan gugatan mereka,  mengaku tidak boleh berkomentar terhadap perbaikan-perbaikan yang mereka mohonkan. "Mohon maaf, kami sudah bersepakat tidak boleh berkomentar kepada wartawan. Pada saatnya dalam waktu seminggu ini kami akan mengundang kawan-kawan pers," kata Damian kepada Gresnews.com sebelum sidang dimulai di Gedung MK, Rabu (17/9).

Seperti diketahui, pada persidangan pendahuluan pemohon meminta MK menguji UU Perkawinan, karena ingin ada kepastian hukum bagi warga yang menikah beda agama. Mereka menafsirkan, Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan telah menyebabkan ketidakpastian hukum bagi yang akan melakukan perkawinan beda agama di Indonesia.

Akibatnya, masyarakat Indonesia yang hendak melangsungkan pernikahan beda agama justru menghindari pasal tersebut dengan cara penyelundupan hukum, yaitu dengan menggunakan modus pernikahan di luar negeri atau juga penikahan secara adat.

Karena itu, mereka meminta kepada MK untuk menyatakan Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28B ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E ayat (1), Pasal 28E ayat (2), Pasal 28I ayat (1), dan Pasal 29 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 karena tidak punya kekuatan hukum yang mengikat.

BACA JUGA: