JAKARTA, GRESNEWS.COM - Kejaksaan Agung masih melakukan perburuan terhadap buronan kasus-kasus korupsi. Salah satunya pengusaha asal Medan Handoko Lie yang telah masuk daftar pencarian orang (DPO). Namun dalam kasus Handoko ini muncul masalah lainnya yakni keberadaan bangunan di atas lahan seluas 7,3 hektar yang telah disita jaksa.

Aset yang telah disita jaksa dan menjadi barang bukti tersebut telah dibangun pusat perbelanjaan terbesar di Medan bernama Centre Point. Selain itu juga dibangun apartemen dan ruko yang telah dijual. Centre Point  kini mempekerjakan 3000 orang.

Jaksa Agung Prasetyo berharap aset lahan yang saat ini menjadi pusat perbelanjaan di Kota Medan tidak serta merta dirubuhkan sia-sia. "Saya akan sampaikan ke PT KAI dan Meneg BUMN supaya diatur penyelesaiannya apakah akan diatur dengan BOT (built, operate, transfer), saya akan kirim surat seperti itu. Yang namanya aset negara harus diselamatkan," kata Prasetyo di Kejaksaan Agung, Jumat (17/2).

Sebelumnya, PT KAI sendiri berencana merubuhkan bangunan tersebut paska putusan Mahkamah Agung yang mengabulkan Peninjauan Kembali (PK) pada 2015 lalu. PT KAI saat itu juga melakukan gugatan perdata atas kepemilikan lahan tersebut. Dari pengadilan tingkat pertama hingga kasasi dimenangkan PT Arga Citra Kharisma (ACK) dimana Handoko Lie pemiliknya. Namun pada PK, MA memutuskan jika lahan tersebut murni milik PT KAI.

Kepala Divre PT KAI Sumut dan Aceh, Saridal saat itu menyampaikan dengan dikabulkan PK membatalkan putusan Pengadilan Negeri (PN) Medan, putusan Pengadilan Tinggi (PT) Medan, dan putusan kasasi MA yang memenangkan PT Arga Citra Kharisma (ACK).

Saridal mengatakan setelah ada putusan MA tersebut, pihaknya menunggu instruksi dari direksi dan komisaris PT KAI. "Jadi, kami menjalani sesuai dengan instruksi dari pimpinan. Kalau ada instruksi dirobohkan, ya dirobohkan. Tinggal bagaimana nanti mencari konsultannya saja, berapa biayanya, baru kemudian dirobohkan," ujar Saridal.  
HANDOKO LIE DIKEJAR - Handoko Lie saat ini telah masuk dalam DPO Kejaksaan Agung. Jaksa Agung M Prasetyo menyatakan akan melakukan semua upaya menangkap Handoko Lie agar dapat mempertanggung jawabkan perbuatannya. "Kami akan cari terus apapun caranya, kalau di luar akan kerjasama dengan interpol. Harapan kita secara sukarela Handoko Lie datang untuk serahkan diri dan mempertanggung jawbkan perbuatannya," kata Prasetyo.

Handoko Lie adalah terpidana kasus pencaplokan lahan milik PT KAI di Medan yang dibangun kawasan Centre Point, Medan. Kasus pencaplokan lahan PT KAI di pusat Kota Medan ini telah merugikan negara sebesar Rp1,3 triliun.

Dalam dakwaan yang dibacakan jaksa, Handoko didakwa berlapis. Dakwaan primair melanggar Pasal 2 Ayat 1 junto Pasal UU Pemberantasan Korupsi junto Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP. Dakwaan subsidair melanggar Pasal 3 junto Pasal 18 UU Pemberantasan Korupsi junto Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP. Namun di Pengadilan Negeri Handoko Lie sempat dinyatakan tidak bersalah. Handoko Lie pun bebas melenggang.

Mendapat putusan ini JPU langsung mengajukan kasasi. Belakangan putusan kasasi JPU dikabulkan MA. Handoko Lie dinilai terbukti bersalah dengan vonis 10 tahun penjara. Selain Handoko Lie, Kejaksaan Agung juga menetapkan bekas Walikota Medan, Rahudman Harahap dan Abdillah yang terlibat dalam penjualan lahan tersebut sebagai tersangka. Proses hukumnya masih berjalan.

Kasus penyerobotan lahan ini bermula tiga dekade silam. Awalnya PT KAI memiliki lahan 7 hektar di Jalan Jawa Medan, peninggalan Deli Spoorweg Maatschappij. Lahan dibagi menjadi blok A, B, C dan D.

Di atas area A, C, dan D, sudah dibangun perumahan bagi karyawan PT KAI dan berbagai fasilitas umum. Lahan B yang berada di Jalan Jawa, Jalan Madura, Jalan Timor seluas 34.776 meter persegi atau (3,4 hektar) mulanya dihuni gubuk-gubuk liar.

Pada 1981, PT KAI ingin membangun perumahan karyawan di lahan Kelurahan Gang Buntu, Kecamatan Medan Timur (Blok B). Namun karena kekurangan dana, PT KAI kerja sama dengan menggandeng swasta. Pihak swasta membangun seluruh fasilitas perumahan dengan imbalan tanah.

PT KAI pun menggandeng PT Inanta, pihak swasta dengan rekanan. Kerja sama itu mengharuskan PT KAI untuk melepaskan hak atas tanah terlebih dulu. Pemerintah saat itu hanya menyetujui jika pelepasan tanah kepada pemerintah daerah. PT KAI lalu melepas hak atas tanah kepada Pemerintah Kota Medan.

Pada 1982, Pemkot Medan mengajukan Hak Pengelolaan Lahan (HPL) atas tanah PT KAI tersebut. Tahun yang sama keluar izin dari Menteri Dalam Negeri. Kurun 1982 hingga 1984 terjadi perubahan-perubahan perjanjian kerja sama. Pada 1989, hak dan kewajiban PT Inanta membangun kawasan itu dialihkan ke PT Bonauli. Pada 1990 terjadi perubahan lokasi pembangunan perumahan karyawan.

Hingga 1994, PT Bonauli tidak kunjung melaksanakan kewajiban membangun perumahan karyawan. Anehnya, PT Bonauli bisa memperoleh HGB (Hak Guna Bangunan) di atas HPL Pemkot Medan. Padahal, di perjanjian, rekanan tidak dapat memperoleh HGB sebelum memenuhi kewajiban membangun rumah.

Tanpa persetujuan PT KAI selaku pemilik lahan, PT Bonauli mengalihkan hak dan kewajibannya kepada PT ACK pada 2002. PT ACK sempat menawarkan ganti rugi Rp13 miliar kepada PT KAI. Uang dititipkan di Pengadilan Negeri Medan. Tentu saja tawaran itu ditolak PT KAI.

Perumahan karyawan yang dijanjikan tak kunjung dibangun. Belakangan PT ACK membangun kompleks bisnis Centre Point di lahan itu.

BACA JUGA: