JAKARTA, GRESNEWS.COM - Jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi mengungkap nota dinas wajib pajak sejumlah pejabat dan korporasi dalam sidang lanjutan suap yang menjerat Handang Soekarno. Dalam nota dinas itu ada nama 2 wakil ketua DPR yaitu Fahri Hamzah dan Fadli Zon.

Awalnya Fahri berang dan merasa diserang KPK berkaitan dengan itu. Fahri menantang KPK untuk mengambil selisih pajaknya yang bernilai Rp 4,46 miliar itu jika memang terbukti.

"Luar biasa. Kalau saya punya pajak segitu, KPK suruh ambil saja, buat beli rumah, sembunyikan vila-vila di puncak itu. Bahlul itu!" ujar Fahri di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (10/5).

"Suruh ambil saja dia buat beli vila secara sembunyi. Nggak usah meras orang lain, meras tersangka, peras saya saja bilang. Kutip saja. Suruh peras saya, kelakuan KPK itu," sambungnya.

Belakangan Fahri mengakui ada kekeliruan terkait perbedaan daftar harta dengan LHKPN miliknya. Data itu terbongkar di sidang kasus suap pajak untuk terdakwa Handang Soekarno beberapa waktu lalu.

Fahri berkata,sebagai manusia biasa,dirinya tak bisa lepas dari kekeliruan itu. Dia lalu disarankan orang dekatnya untuk ikut program pengampunan pajak (tax amnesty).

"Saya ini kan juga tidak aman dari kekeliruan dan saya tak mau kekeliruan saya jadi dasar saya dikriminalisasi. Saya dinasehati teman saya, orang-orang pajak, dia bilang, ´udah ikut aja tax amnesty´," ujar Fahri di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (15/5).

Fahri lalu mengikuti saran tersebut. Setelah itu, dia baru tahu bahwa ada aset atau hartanya yang tak terdaftar dengan baik. Fahri bersama istri lalu taat menjalankan program tersebut.

Menurutnya, permasalahan pajaknya telah selesai saat ikut program tax amnesty. Fahri heran mengapa jaksa KPK kembali mengungkit persoalan pajaknya tersebut.

"Ya sudah dong, kalau ada perbedaan itulah tax amnesty, tapi kenapa KPK mainkan ini untuk nakuti saya dan itu saya tak terima," curhat Fahri.

Menurutnya, KPK telah bertindak sewenang-wenang. KPK tak seharusnya mengulik kembali soal tax amnesty dirinya dalam sidang itu.

Selain itu, jika memang ada perbedaan daftar harta miliknya dengan LHKPN, Fahri menganggapnya wajar karena dia ikut tax amnesty. Dengan mengungkit-ungkit persoalan pajaknya, Fahri berkata KPK telah berpolitik.

"Kalau saya ada perbedaan bayar, itu karena kita mengidentifikasi ulang tadi itu. Kalau itu (diungkit), nanti semua orang ributin tax amnesty, ada yang masa lalu kekurangannya triliunan. Ini yang saya bilang KPK suka gunakan ruang sidang untuk belok dari perkara, nakuti orang yang suka mengkritik. KPK nggak profesional, kayak jadi lembaga politik tempat orang saling berkompetisi, nggak bagus," tegasnya.

Dalam sidang kasus suap pajak untuk terdakwa mantan Kasubdit Bukti Permulaan Direktorat Penegakan Hukum Ditjen Pajak Handang Soekarno yang berlangsung di PN Tipikor, Rabu (10/5), jaksa KPK sempat menunjukkan slideshow.

Slideshow itu mencantumkan sebuah nota dinas milik Fahri soal penyampaian SPT tahunan PPh orang pribadi yang isinya tidak benar atau tidak lengkap atas nama Fahri untuk tahun pajak 2013 sampai 2014. Jaksa KPK menyebut daftar harta Fahri berbeda dengan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN). Ada selisih Rp 4 miliar lebih.

"Daftar harta 2014 berbeda dengan LHKPN dengan jumlah selisih Rp 4,46 miliar," kata jaksa KPK dalam sidang.

Dalam kasus ini, Handang didakwa menerima uang tunai sebesar US$ 148.500 atau Rp 1,9 miliar. Penerimaan uang itu berkaitan dengan jabatan Handang selaku Kasubdit Bukti Permulaan Direktorat Penegakan Hukum Ditjen Pajak terkait proyek pengurusan pajak PT EK Prima (EKP) Ekspor Indonesia.

Sementara itu, Country Director PT EK Prima Indonesia (EKP) Ramapanicker Rajamohanan Nair alias Mohan telah divonis 3 tahun penjara dan denda Rp 200 juta subsider 5 bulan kurungan. Mohan dinyatakan terbukti menyuap Handang.
SIKAP KPK - KPK mempelajari fakta persidangan kasus suap pengurusan pajak dengan terdakwa Handang Soekarno. Fakta persidangan itu berupa adanya nota dinas berisi surat pemberitahuan (SPT) pajak milik Fahri Hamzah dan Fadli Zon.

"Kapasitas yang dilakukan penuntut umum adalah untuk klarifikasi bukti yang didapatkan di rangkaian penyidikan. Penting bagi JPU (jaksa penuntut umum) untuk klarifikasi itu kepada saksi," kata Kabiro Humas KPK Febri Diansyah di kantornya, Jalan Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Jumat (12/5).

Febri menyebut, apabila ada kesalahan atau unsur pidana, hal itu merupakan kewenangan Direktorat Jenderal Pajak. Meski demikian, Febri mengatakan, tidak tertutup kemungkinan KPK bisa menanganinya sepanjang termasuk kewenangan lembaga antirasuah itu.

"Kewenangan tindak pidana pajak itu ada di Direktorat Jenderal Pajak," kata Febri.

Saat sidang, jaksa menunjukkan nota dinas yang bertuliskan soal penyampaian SPT tahunan PPh orang pribadi yang isinya tidak benar atau tidak lengkap atas nama Fahri untuk tahun pajak 2013 sampai 2014. Jaksa KPK menyebut daftar harta Fahri berbeda dengan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN). Ada selisih Rp 4 miliar lebih.

"Daftar harta 2014 berbeda dengan LHKPN dengan jumlah selisih Rp 4,46 miliar," kata jaksa KPK dalam sidang, Rabu (10/5) kemarin.

Terkait hal itu, Febri menyebut ada koordinasi yang dilakukan KPK dengan Ditjen Pajak. Apabila selisih itu berkaitan dengan pajak, tentunya Ditjen Pajak yang seharusnya menindaklanjuti.

"KPK akan berfokus pada pembuktian. Dari LHKPN bersangkutan tentu fakta-fakta akan kita lakukan lebih lanjut. Tindak lanjutnya, pelajari fakta persidangan dan sinkron laporan LHKPN-nya. Ada tugas kewenangan KPK untuk cari tahu kebenaran. Tentu tidak tertutup kita lakukan karena kita ingin LHKPN tepat dan patuh. Terkait pelaporan pajak dan tidak benar, itu domain Direktorat Jenderal Pajak. Sekaligus kita lihat kaitannya dengan amnesti yang dilakukan," jelas Febri. (dtc)

BACA JUGA: