JAKARTA, GRESNEWS.COM - Bupati Sabu Raijua Provinsi Nusa Tenggara Timur Marthen Luther Dira Tome kecewa lantaran Pengadilan Negeri Jakarta Selatan batal menggelar sidang perdana pra peradilan kasus korupsi program Pendidikan Luar Sekolah (PLS) tahun anggaran 2007 senilai Rp 77miliar, Selasa (3/5). Sidang Marthen selaku tersangka melawan KPK itu ditunda lantaran lembaga itu belum siap.

Hakim yang ditunjuk sempat membuka sidang perdana gugatan pra peradilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Setelah itu hakim membacakan surat dari KPK yang menyebutkan tim KPK belum siap mengikuti sidang dengan agenda pembacaan gugatan dari pemohon. Sidang pun akan digelar ulang pada Selasa (10/5).

Nasib Marthen Luther Dira Tome sejak ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) hingga kini masih belum jelas. Meski sudah ditetapkan sebagai tersangka sejak 2014 lalu, kasus yang menjerat Marthen masih menggantung di lembaga antirasuah itu. Merasa tidak mendapat perlakuan yang adil saat penetapannya sebagai tersangka, Marthen kemudian mengajukan praperadilan terkait penetapannya sebagai tersangka.

Kuasa hukum Marthen Luther Dira Tome, Yohanis Daniel Rihi menyatakan penetapan kliennya sebagai tersangka sudah menyalahi ketentuan perundang-undangan. Kalau menetapkan seseorang sebagai tersangka itu, mesti ada bukti permulaan yang cukup. Paling kurang dua alat bukti. "Kami merasa ketika klien kami ditetapkan sebagai tersangka belum ada bukti permulaan yang cukup," ujarnya kepada gresnews.com Rabu (4/5) melalui saluran teleponnya.

Johanis menyebutkan langkah hukum mempraperadilankan KPK sebagai langkah terakhir, jika lembaga antirasuah itu tidak memenuhi sejumlah masukan dan harapan yang sudah disampaikannya pada saat tatap muka dengan pihak KPK awal Februari lalu di Jakarta. Dalam pertemuan tersebut, Marthen, kata Johanis berharap KPK segera menghentikan penyidikan yang sedang dilakukan bahkan perlu menutup kasus itu, karena tidak cukup bukti.

Dia menambahkan, bagi dia, melayangkan gugatan ini, tidak dalam rangka mempermalukan atau menyalahkan KPK. Tetapi di sini tempat untuk mendapatkan keadilan. "Adil itu, ketika orang salah dihukum kalau benar harus dilepas. Di KPK tidak ada SP3, satu-satunya ruang adalah praperadilan," ungkapnya.

Marthen ditetapkan sebagai tersangka karena diduga terlibat melakukan tindak pidana korupsi pada kasus dana pendidikan luar sekolah (PLS) Provinsi NTT tahun anggaran 2007 yang diduga merugikan negara senilai Rp59 miliar. Marthen ditetapkan tersangka saat masih menjadi kasubdin PLS Provinsi NTT atau Pejabat Pembuat Komitmen (PPK).

KEJANGGALAN KASUS - Johanis menilai ada kejanggalan dalam perkara yang menjerat kliennya tersebut. Perkara ini sejatinya sudah ditangani oleh Kejaksaan Negeri Kupang pada 2007 kemudian ditutup karena tidak cukup bukti. Lalu pada tahun 2011 dibuka kembali Kejaksaan Tinggi dan kemudian Kajati kemudian ditutup kembali dengan alasan yang sama. Namun 2014 diambilalih oleh KPK.

Dia menyebutkan kejanggalan lainnya adalah penetapan tersangka Marthen, tanpa pemeriksaan sebagai saksi oleh KPK, termasuk tanpa pemeriksaan sejumlah saksi lainnya. "Klien saya ditetapkan sebagai tersangka, baru para saksi diperiksa," katanya.

Menurut Johanis sampai saat melayangkan gugatan praperadilan ini pun KPK masih memanggilkan saksi-saksi sekitar 200 lebih. "Itu yang kami pertanyakan, kalau KPK bilang sudah ada dua alat bukti, kenapa prosesnya terbalik," ujarnya.

Hal lainnya, kata Johanis, penetapan tersangka oleh KPK terhadap Marthen Luther Dira Tome, yang saat itu menjabat sebagai Kepala Sub Bagian PLS Dinas Pendidikan dan Kebudayaan NTT, bukan wewenangnya KPK. Marthen, katanya, saat itu masih berada pada jenjang eselon III yang oleh aturan bukan menjadi kewenangan KPK untuk memeriksanya, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi.

Dalam perkara itu, KPK mengenakan Marthen dengan Pasal 2 Ayat (1) atau Pasal 3 Undang-Undang (UU) Nomor 31/1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20/ 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) jo Pasal 55 ayat (1) ke-(1). 

Pasal tersebut, berbunyi "Setiap orang baik pejabat pemerintah maupun swasta yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp.200.000.000,00 (dua ratus juta) dan paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).”

Kuasa hukum KPK, Nur Chusniah menjelaskan alasan pengambilalihan perkara tersebut. Menurutnya secara undang-undang, KPK bisa saja melakukan pengambilalihan perkara sebagaimana diatur Pasal 6, 7, 8 dan 9 dalam Undang-Undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi.

Landasan hukum itu menurutnya KPK mempunyai tugas koordinasi dan supervisi. Dengan begitu KPK memiliki kewenangan mengambil alih kasus tersebut dari Kejaksaan Tinggi Kupang. "Dasar hukumnya ada namun secara substansi akan kami jawab dalam persidangan nanti," ujarnya kepada gresnews.com, Rabu (4/5).

Mudzakkir pakar hukum pidana dari Universitas Islam Indonesia (UII) Jogjakarta melihat ada kejanggalan penetapan Marthen sebagai tersangka. Karena menurut KUHAP, kata Mudzakkir, sebelum ditetapkan sebagai tersangka calon tersangka harus diperiksa terlebih dahulu.

"Sebelum ditetapkan sebagai tersangka, calon tersangka harus diperiksa dan berhak mengajukan alat bukti atau saksi, itu untuk mengkonfirmasi bukti-bukti yang diajukan oleh tim penyidik." kata Mudzakkir kepada gresnews.com, Rabu (4/5).

Selain itu, pengambilalihan perkara tersebut oleh KPK menjadi perhatian Mudzakkir. KPK tidak berwenang melakukan take over perkara tanpa alasan yang memungkinkan untuk dilakukan. Dalam kasus itu, pengajar UII ini menyatakan tidak ada alasan bagi KPK untuk mengambil alih kasus ini.

"Dimungkinkan apabilia penyidik terlibat dalam tindak pidana korupsi dalam melakukan penyidikan kasus pidana korupsi yang diselidikinya atau karena penyidik merasa terancam dengan perkara yang diselidiknya," katanya.

BACA JUGA: