JAKARTA, GRESNEWS.COM - Kasus korupsi dalam proses dwelling time peti kemas di Pelabuhan Tanjung Priok merembet ke kantor PT Pelabuhan Indonesia II (Pelindo II). Perusahaan pelat merah pimpinan Richard Joost Lino itu diduga terkait kasus dugaan korupsi dalam dalam pengadaan 10 unit mobile crane untuk beberapa pelabuhan di Indonesia.

Karena itulah, pada Jumat (28/8), penyidik dari Direktorat Tindak Pidana Ekonomi Khusus (Dittipideksus) Mabes Polri melakukan penggeledahan di kantor Pelindo II. Ruang sang direktur utama Pelindo II RJ Lino pun tak luput dari penggeledahan.

Aksi para penyidik Polri ini sempat membuat berang Lino. Lino sempat mengontak Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Sofyan Djalil dan mengancam akan mundur dari jabatan sebagai Direktur Utama jika diperlakukan seperti itu.

"Saya tidak pernah teken kontrak. Terus terang saya tadi SMS Pak Luhut Pandjaitan (Menko Polhukam-red). Beliau lagi rapat. Saya protes besar. Saya bilang, kalau begini caranya, saya berhentilah sekarang," kata Lino dalam salah satu percakapannya dengan Sofyan.

Sikap Lino yang langsung mengontak Sofyan Djalil dan mengancam mundur serta dengan sengaja memperdengarkan percakapannya dengan Sofyan itu sendiri mengundang polemik. Sofyan menganggap sikap Lino itu tidak etis.

"Saya dapat SMS ke beberapa menteri, saya ingin tahu apa yang terjadi rupanya dia buka ke wartawan, saya enggak tahu sama sekali, saya telepon karena empati aja, kok Lino digeledah? Tapi itu tidak etis!" kata Sofyan di Istana Negara, Jl Veteran, Jakarta Pusat, Senin (31/8).

Soal ancaman mundur, Sofyan tak berkomentar. Tetapi dia belum laporkan peristiwa ini secara khusus kepada Presiden Joko Widodo. "Yang laporkan kan ada menterinya (BUMN) sendiri," kata Sofyan.

Terkait penggeledahan ini, Menteri Badan Usaha Milik Negara Rini Soemarno juga telah menelepon Kapolri Jenderal Badrodin Haiti untuk meminta penjelasan terkait penggeledahan yang dipimpin langsung oleh Kabareskrim Komisaris Jenderal Budi Waseso itu.

"Saya memang menelepon beliau (Kapolri), kasusnya mengenai apa. Dan beliau mengatakan ini berhubungan dengan pelaporan dari karyawan sehubungan dengan pembelian mobile crane, itu saja," kata Rini pada wartawan di kantor Wakil Presiden, Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta Pusat, Senin (31/8).

Rini mengakui direksi Pelindo II memang kaget dengan penggeledahan itu. Pasalnya, menurut mereka, proses pengadaan mobile crane itu sudah dilakukan sesuai prosedur.

"Semua sudah diproses dengan yang seharusnya dan sudah mendapatkan konfirmasi dari BPK. Pembelian ini oke jadi mereka kaget kenapa ada penggeledahan, itu saja," sambungnya.

Namun Rini menyerahkan semua itu kepada polisi. "Sekarang posisinya sudah di ranah hukum dan kepolisian. Kami harus menunggu hasilnya bagaimana," tegasnya.

SALAHI ATURAN - Rini Soemarno boleh saja membela pihak Pelindo II dalam kasus pembelian mobile crane ini. Meski begitu, polisi juga punya alasan lain untuk menyidik perkara itu.

Dari penyelidikan dan penyidikan, Bareskrim Mabes Polri menyatakan proses pembelian 10 unit mobile crane yang dilakukan PT Pelindo II tahun anggaran 2012 senilai Rp45 miliar sejak awal telah menyalahi aturan mulai dari perencanaannya.

Direktur Tindak Pidana Ekonomi dan Khusus Bareskrim Polri Brigadir Jenderal Polisi Victor Edison Simanjuntak menegaskan, pihaknya memiliki bukti dugaan penyalahgunaan wewenang serta adanya mark up alias penggelembungan harga dalam pembelian 10 unit mobil crane itu.

Terkait penyalahgunaan wewenang, seharusnya pengadaan dilakukan oleh masing-masing pelabuhan. Yakni pelabuhan di Bengkulu, Jambi, Palembang, Teluk Bayur, Cirebon, Banten, Panjang dan Pontianak.

"Mestinya mereka (pihak pelabuhan daerah) yang mengajukan," kata Victor di Mabes Polri, Jakarta Selatan, Senin (31/8).

Namun ternyata, lanjut Victor, fakta dan alat bukti yang didapat dari hasil penyidikan diketahui, pengadaan crane tersebut diadakan sendiri dari pusat yakni Pelindo II. Bahkan pengadaan itu bukan ditandatangani General Manager (GM) masing-masing pelabuhan melainkan hanya ditandatangani seorang manajer teknik.

Sementara indikasi adanya mark up dan kemahalan, kata Victor, buktinya sangat jelas. "Jadi sebenarnya dari sisi itu pun sudah salah. Kemudian spek yang ada sekarang ini yang dibeli tahun 2013, itu kalau kita beli sekarang dengan harga dolar AS yang sekarang pun itu masih terlalu jauh mahal di sana itu," ujar Victor.

Lebih lanjut terkait dengan penggeledahan yang dilakukan penyidik Bareskrim ke kantor PT Pelindo II di Tanjung Priok, Jakarta Utara (28/8) , Victor mengatakan pihaknya sudah menyita sejumlah barang bukti dan telah memeriksa tujuh saksi. "Kemudian kita sudah sita banyak dokumen sebagai barbuk (barang bukti-red). Sebelum tindakan (penggeledahan) kita periksa tujuh saksi," tandas Victor.

TINDAK LANJUT KASUS DWELLING TIME – Kabareskrim Komjen Budi Waseso mengatakan penggeledahan ini dilakukan sebagai bentuk tindak lanjut dari kasus dwelling time. Dari penelusuran penyidik, muncul temuan bahwa tidak berfungsinya beberapa mobile crane di Tanjung Priok menjadi faktor penyebab molornya waktu bongkar muat barang.

Karena itulah polisi kemudian bergerak melakukan penggeledahan untuk menemukan bukti-bukti terkait dugaan adanya tindak pidana korupsi dalam pengadaan mobile crane tersebut.

Badan Pemeriksa Keuangan juga sudah pernah memeriksa Pelindo II terkait pengadaan 10 unit mobile crane ini pada akhir tahun 2014 lalu. Dari hasil pemeriksaan itu memang ada temuan ketidakcermatan Pelindo II.

Hasil pemeriksaan itu sendiri menurut anggota VII BPK RI Achsanul Qosasih sudah diserahkan kepada Presiden Joko Widodo, Menteri BUMN dan seluruh jajaran direksi dan komisaris Pelindo II pada 6 Februari 2015. Di dalam poin 8, 9, 10 dan 11 di laporan tersebut ada temuan soal ketidakcermatan.

"Temuan tersebut lebih pada ketidakcermatan Pelindo II dalam pengadaan 10 unit crane, dan masih dalam wilayah korporasi," terang Achsanul, Senin (31/8).

Achsanul mengatakan, 10 unit mobile crane itu memang awalnya untuk cabang-cabang di daerah. Namun sesuai keputusan direksi, 10 unit crane tersebut dialihkan untuk dipakai di Tanjung Priok. "Sehingga peruntukannya berubah, dan hal ini disetujui direksi," ujarnya.

Selain itu, ada denda keterlambatan Rp456 juta yang harus diterima Pelindo II karena keterlambatan pengiriman crane. Tapi hal ini sudah ditindaklanjuti oleh Pelindo II.

"Semua detail pemeriksaan terebut sudah saya masukkan dalam LHP. Dan kewenangan Bareskrim untuk menindaklanjuti temuan itu," terangnya.

LINO AKUI PENUNJUKAN LANGSUNG- Pihak PT Pelindo II atau IPC menyatakan akan menghormati dan berjanji akan bersikap kooperatif mengikuti seluruh proses hukum. Sekretaris Perusahaan PT Pelindo II Banu Astrini mengatakan, Pelindo II adalah BUMN yang semua kegiatannya dilaporkan secara berkala kepada pemegang saham dan juga diperiksa oleh auditor independen serta Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan dan Badan Pemeriksa Keuangan .

Pihak Pelindo II mengajak semua pihak untuk juga menghormati proses hukum berjalan. "Saat ini operasional perusahaan masih berjalan normal, dengan penyesuan seperlunya," kata Banu lewat pesan singkatnya kepada gresnews.com, Senin (31/8).

Diketahui pengadaan mobile crane oleh Pelindo II dilakukan dengan penunjukan langsung tanpa tender. Penunjukan langsung dilakukan setelah lelang gagal. Persoalan mobile crane ini bermula sejak tahun 2007 ketika sejumlah dermaga memerlukan crane untuk mengangkat peti kemas.

Soal adanya penunjukan langsung ini, Dirut Pelindo II RJ Lino pernah mengakui dirinya memang memerintahkan penunjukan langsung, bukan melalui mekanisme tender. Lino beralasan, penunjukan langsung diputuskan setelah berulang kali proses lelang mengalami kegagalan.

"Begini, alatnya ini sudah dari tahun 2007, tapi nggak pernah bisa datang. Nggak pernah bisa beres. Nggak pernah bisa ada. Gagal terus. Sudah enam atau tujuh kali gagal," kata Lino usai menjalani pemeriksaan di kantor KPK, April 2014 lalu.

"Kalau lelang gagal nggak ada uang keluar. Nggak jadi-jadi. Makanya karena sudah terlalu lama, kita prosedur tahun 2010 dengan cara yang tidak biasa," sambungnya.

Karena penunjukan langsung itu, kata Lino, sejumlah dermaga terkait bisa beroperasi dengan optimal. Untung yang didapatkan pun cukup besar.

"Saya terima konsekuensinya. Menurut saya enggak salah, enggak merugikan negara, malah menguntungkan semua orang. Bahkan harganya lebih murah. (Sekarang) sudah datang. Makanya Pontianak dan pelabuhan lain, lebih bagus dan untungnya lebih banyak," ujar Lino.

Lino ketika itu mengatakan, proses penunjukan langsung itu bukan tak ada payung hukumnya. "Aturan kita ada. Jadi kalau lelang gagal itu bisa ada pemilihan langsung. Kalau pemilihan langsung gagal maka ada penunjukan langsung. Apalagi di lapangan kalian tahulah. Pelabuhan itu berapa lama kapal-kapal menunggu," ujarnya.

TERSANGKA LEBIH DARI SATU - Brigjen Victor Simanjuntak mengatakan, polisi akan segera menetapkan tersangka dalam kasus yang menelan duit negara sebesar Rp45 miliar ini. Dia mengindikasikan, jumlah tersangkanya bisa lebih dari satu orang. "Tersangka bisa berjumlah lebih dari satu orang," kata Victor.

Sejauh ini, polisi memang sudah memeriksa tujuh orang saksi dan menyita banyak dokumen terkait proses pengadaan mobile crane itu. Pihak Bareskrim Mabes Polri masih akan memanggil dan memeriksa beberapa saksi lagi, termasuk RJ Lino.

Meski begitu, Victor menegaskan, belum bisa memastikan kapan RJ Lino akan dipanggil. "Hari ini kita mulai layangkan panggilan, mungkin tiga hari ke depan kita sudah mulai pemeriksaan para saksi. Dirut akan kita panggil terakhir," ujar Victor.

Keterangan Lino, kata Victor, penting untuk mengetahui proses pengadaan 10 unit mobile crane itu. Dia menjelaskan, diantara berkas yang disita ada 26 bundel dokumen terkait perencanaan, berkas pemeriksaan dari auditor terkait pengadaan mobil crane yang disita dari ruang kerja Lino.

"Kemudian ada seperti berkas pemeriksaan dari auditor, dimana di situ disebutkan satu per satu kesalahan masing-masing pribadi, kita sita," ujarnya.

Hal inilah yang menurut Victor akan diklarifikasi kepada Lino. "Dan ada beberapa hal yang akan kita tanyakan terkait pengadaan mobile crane tahun 2013, yang sampai sekarang masih mangkrak di tempat itu," tegasnya.

Victor mengatakan, seharusnya 10 mobile crane itu dikirim ke-8 pelabuhan di beberapa daerah di Indonesia. Diantaranya adalah Bengkulu, Jambi, Teluk Bayur Padang, Palembang, Banten, dan Pontianak. Namun yang menjadi pertanyaan polisi, mengapa hingga kini mobile crane itu belum juga dikirim.

"Kemudian kita selidiki di beberapa pelabuhan itu. Pelabuhan itu ternyata mengatakan mereka tidak butuh (mobile crane). Nah, Kenapa kalau tidak butuh itu dibeli, tentu simulator juga tidak dibutuhkan. Ini yang perlu kita telisik," pungkasnya.

Pengadaan mobile crane ini juga menjadi sorotan KPK. Lembaga anti rasuah ini sudah melakukan penyelidikan sejak tahun lalu, namun sampai saat ini belum juga ada tersangka yang ditetapkan.

Jika Bareskrim Polri fokus mengusut proses pengadaan mobile crane di Tanjung Priok tidak berfungsi, KPK menyasar pada pengadaan crane di sejumlah pelabuhan yang berada di bawah naungan Pelindo II di antaranya pelabuhan di Palembang, Pontianak, Lampung, tahun anggaran 2010. Yang menjadi fokus KPK adalah proses penunjukan perusahaan penyedia mobile crane menjadi sorotan. (dtc)

BACA JUGA: