JAKARTA, GRESNEWS.COM - Pemerintah dikabarkan tengah menyusun sebuah instruksi presiden yang ditujukan untuk aparat penegak hukum. Inpres itu sendiri dikabarkan akan berisi larangan untuk mempublikasikan sebuah kasus khususnya korupsi dan mengekspose tersangka sebelum memasuki tahap penuntutan.

Rencana itu terungkap dari pernyataan Sekretaris Kabinet Pramono Anung beberapa waktu lalu. "Intinya adalah selama orang sedang dalam proses tersangka, belum menjadi terpidana atau terperiksa, tidak dipublikasikan. Jadi prosesnya itu di internal kepolisian atau kejaksaan," ujar Sekretaris Kabinet Pramono Anung Wibowo.

Soal regulasi sendiri, Pramono belum memastikan apa bentuknya. Tetapi kemungkinan besar akan diumumkan oleh masing-masing lembaga penegak hukum, namun bisa juga dalam bentuk Peraturan Presiden.

Alasan pembentukan beleid baru yang bakal melindungi aib tersangka khususnya kasus korupsi ini, kata Pramono, lantaran seringkali seseorang baru menjadi saksi saja sudah dianggap menjadi tersangka. Tak jarang kemudian spekulasi bermunculan dan berujung pada nama baik orang tersebut, padahal belum terbukti di meja pengadilan.

"Kalau tersangka kan baru datang saja sudah ditanya-tanya sama teman-teman wartawan. Memangnya bisa disembunyiin? Jangankan tersangka, datang ke KPK lapor LHKPN saja sudah heboh. Ketika masih dalam proses terperiksa, kan gitu, kasihan juga kalau masih diperiksa sudah diperlakukan seperti itu," ungkap Pramono.

Hal senada juga diungkapkan Kepala Kepolisian RI Jenderal Badrodin Haiti. Pemerintah, kata Badrodin, sedang mempersiapkan peraturan berupa instruksi presiden yang memperketat pemidanaan pejabat negara akibat diskresi atau kebijakan yang diambil.

Salah satu poin dalam draf instruksi presiden tersebut meminta penegak hukum tidak mempublikasikan proses penyelidikan hingga memasuki penuntutan, termasuk pengumuman tersangka.

"Tidak mempublikasikan secara luas kasus-kasus sampai pada tingkat penuntutan," katanya.

Tentu saja niat pemerintah ini banyak mendapatkan tentangan dari para pegiat hukum terutama pegiat antikorupsi. Indonesia Corruption Watch (ICW) misalnya, khawatir beleid ini nantinya akan "melegalisasi" ketidakterbukaan dalam penyelidikan dan penyidikan kasus korupsi pejabat.

Ujung-ujungnya, membuka peluang pengusutan kasus jadi melempem dan ada tawar menawar penyelesaian kasus. "Ini langkah mundur penindakan korupsi menjelang 1 tahun pemerintahan Jokowi. Justru peraturan ini jadi proteksi untuk pejabat yang punya rekam jejak berpotensi korupsi," kata Koordinator Divisi Monitoring Hukum dan Peradilan ICW Emerson Yuntho.

Dewan Perwakilan Rakyat pun ikut bersuara miring soal ini. Anggota Komisi III DPR RI Desmond Mahesa menyatakan wacana ini merupakan upaya pelemahan hukum. Tujuannya, kata dia, agar pejabat yang terlibat masalah hukum atau menyelewengkan anggaran tak dipidana.

"Ini harus dipertanyakan, melanggar hukum acara dan UU informasi publik tidak? Karena sama saja memberi ruang korupsi pejabat," katanya kepada gresnews.com, Jumat (2/10).

OTORITER - Jika Perpres, Inpres ataupun PP tentang larangan publikasi tersangka ini jadi terbit, menurut Desmond, ini menandakan pemerintah tengah mengadopsi gaya kepemimpinan otoriter. Dia minta rakyat waspada terhadap aturan-aturan hukum yang dibuat pemerintah.

Dia juga mengkritisi pemahaman hukum presiden yang dinilainya lemah ditambah penasehat hukum yang kurang mumpuni. "Ini terjadi hari ini, banyak aturan yang dilanggar pemerintah sekarang," ujarnya.

Jika Inpres atau Perpres ini benar diteken, Desmond menganjurkan agar publik bisa memakai mekanisme gugatan di Komisi Penyiaran Indonesia atau menggugat di pengadilan agar pemerintah mencabutnya. "Ini bukan masalah internal pejabat negara, tapi masalah publik juga," katanya.

Sementara itu, menurut anggota Komisi III dari Fraksi PDIP Masinton Pasaribu, beleid ini bertentangan dengan semangat transparansi hukum. Dia menilai aturan itu berpotensi dijadikan alasan bagi penegak hukum untuk memendam kasus.

"Transparansi penegak hukum jadi hilang. Akses informasi dalam penanganan hukum ditutup, sementara publik berhak tahu," kata Masinton.

Dia menilai, dalam sebuah kasus, jika penegak hukum sudah memiliki dua alat bukti yang cukup dan proses penyelidikan dan penyidikan dilakukan dengan benar, aparat penegak hukum dapat mempublikasikan kasus itu termasuk identitas tersangka.

Ketua Komisi III Aziz Syamsuddin menilai, secara hukum, sejak penetapan tersangka maka oknum tersebut sudah dapat disebut tersangka dan soal publikasi memang bisa diserahkan kepada kewenangan penegak hukum tanpa perlu diatur khusus. "Secara hukum membebaskan, dapat dipublikasi atau tidak," ujarnya lewat pesan singkat kepada gresnews.com, Jumat (2/10).

LINDUNGI HAK TERSANGKA - Tak semua kalangan mengkritik niat Jokowi membuat beleid yang melarang publikasi tersangka dalam kasus korupsi sebelum masuk penuntutan. Ada juga pihak yang membela pemikiran pemerintah dengan alasan untuk melindungi hak tersangka.

Pengamat Hukum Pidana Teuku Nasrullah misalnya, mengaku sepaham dengan wacana menerbitkan beleid ini. Dia mengaku selama ini melihat, ketika orang ditetapkan sebagai tersangka, publik terlanjur ramai memberitakan dan mengetahuinya.

Padahal, hasil penyidikan belum diumumkan atau bahkan menyatakan ketepatan statusnya. "Image orang tersebut sudah hancur padahal belum tentu perkaranya sampai ke pengadilan," katanya kepada gresnews.com, Jumat (2/10).

Nasrullah mengatakan, ada proses panjang dari penyidikan ke penuntutan. Dalam perjalanan panjang itu, jika tak ada cukup bukti, maka akan dikembalikan ke penyidik, pada tahap inilah perkara banyak yang terhenti tetapi nama baik tersangka tak bisa dipulihkan.

"Juga banyak kasus yang sudah diumumkan tersangkanya namun harus menunggu beberapa tahun kemudian untuk bisa naik perkara," ujarnya.

Nasrullah menyatakan keterbukaan informasi dapat disampaikan kepada publik pada waktu yang tepat. Publik bisa mengetahui informasi ketika penuntutan tak cukup bukti dan kasus dikembalikan.

Hukum, menurutnya, harus lebih mengutamakan hak dari nama baik yang diperiksa. "Nasib tersangka, keluarga, pekerjaan akan habis begitu ditetapkan menjadi tersangka," ujarnya.

INKOMPETENSI PENYIDIK - Nasrullah menilai wacana penerbitan Inpres ini termasuk terlambat. Padahal sudah banyak kasus dimana penegak hukum mengumumkan status tersangka namun penyidikannya macet sehingga kerap dituding hanya sekadar mencari simpati publik.

Hal ini, kata dia, bisa terjadi lantaran banyak juga penyidik yang tidak memiliki kompetensi. Nasrullah mengungkapkan, tak semua penyidik berstatus sarjana hukum, bahkan kata dia, sebagian besar tak berlatar belakang sarjana hukum.

Baru di tingkat penuntut umum lah latar belakang sarjana hukum melekat. "Jadi ketika penyidik menetapkan pidana, belum tentu hukum menyatakan dia pelaku kejahatan, karena yang bawa ke pengadilan itu penuntut umum," ujarnya.

Misalnya saja, diambil contoh dari penyidik kepolisian, KPK, atau penyidik pegawai negeri sipil yang latar belakangnya banyak bukan sarjana hukum. Apalagi penyidik pegawai negeri sipil (PPNS) yang ia yakini hanya 1/4 persen dari total saja yang berijazah sarjana hukum.

Secara kasar di Indonesia, persentase penyidik yang merupakan lulusan sarjana hukum, bisa berada di bawah 10 persen. "Rata-rata PPNS itu latar belakangnya akuntansi, padahal ia berwenang menetapkan tersangka, jadi belum tentu yang sudah digeledah itu bersalah," katanya.

Sebagai salah satu anggota tim penyusun RUU KUHP yang baru, Nasrullah dan tim memasukkan rumusan dalam RPP KUHP tentang kompetensi penyidik. Dimana semua penyidik dari kalangan manapun diharapkan berstatus sarjana hukum.

Hal ini bertujuan agar pihak yang menetapkan status tersangka benar-benar mengerti substansi hukum yang menjerat subjek tersebut menjadi tersangka. "Tapi sayang terdapat komplain akibat tidak tersedianya sumber daya manusia, sehingga kita tetapkan lulusan PTIK sudah cukup dengan syarat ada penguatan pemberian materi hukum di PTIK," tutupnya.

KPK TAK TERPENGARUH - Wacana penerbitan Inpres ini juga menjadi perhatian Komisi Pemberantasan Korupsi yang selama ini dinilai cukup transparan dalam menangani perkara korupsi. Jika beleid ini jadi terbit tentunya eksistensi KPK sebagai lembaga yang transparan bisa terancam.

Meski begitu, kata Plt Pimpinan KPK Indriyanto Seno Adji, regulasi seperti itu tak akan pernah berlaku di KPK. "Bagi KPK tidak mempermasalahkan hal ini karena KPK memang memliki UU khusus yang tidak memiliki kaitannya pada RPP (Rancangan Peraturan Pemerintah) tersebut," kata Indriyanto, Kamis (1/10).

KPK memang selalu mengungkapkan ke publik suatu kasus korupsi yang tengah ditanganinya ketika sudah masuk ke penyidikan dan sudah ditetapkan tersangka. Toh, KPK juga mengumumkan tersangka dengan menyebut inisial dan tak pernah menyebut nama lengkapnya meski kerap disebut lengkap oleh media.

Pun demikian dengan segala perkembangan dalam proses penegakan hukum, selalu bisa diakses media, meski tentu saja ada batasan-batasan yang berkaitan dengan kepentingan di bidang penindakan yang tidak boleh dilanggar.

"Jadi tata cara dan norma juga etika pemeriksaan KPK memang sudah dijalankan sesuai aturan, selain itu memang KPK tidak pernah publish secara detail atas proses pemeriksaan kasus tipikor mengingat KPK tetap mempertimbangkan penghargaan terhadap perlindungan HAM dari tersangka atau terdakwa," tegas Indriyanto.

Salah satu tujuan KPK selalu memberitahukan saat ada kasus yang sudah masuk ke penyidikan adalah agar masyarakat bisa tahu proses pemberantasan korupsi. Selain itu, sekaligus sebagai kontrol agar KPK selalu bekerja secara transparan dan akuntabel.

Apalagi KPK tak punya kewenangan untuk menghentikan kasus, sehingga KPK harus bisa memberikan jaminan kinerja ke masyarakat. Terlebih lagi, masyarakat juga memiliki hak untuk mengetahui segala perkembangan proses pemberantasan korupsi. (dtc)

BACA JUGA: