JAKARTA, GRESNEWS.COM - Sidang gugatan Keputusan Gubernur Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang menerbitkan izin reklamasi Pulau F, I dan K berlanjut setelah sempat tertunda. Ahok menerbitkan izin reklamasi Pulau F dan I pada 22 Oktober 2015, sedangkan SK gubernur untuk Pulau K dikeluarkan 17 November 2015. Semua izin yang dikeluarkan Ahok itu kemudian digugat ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta.

Hakim PTUN Jakarta mulai menyidangkan perkara reklamasi Pulau F, I dan K dengan agenda pembacaan duplik tergugat. "Semuanya sudah sesuai prosedur. Intinya, duplik hari ini sama saja dengan jawaban kami," kata Nadia, kuasa hukum tergugat Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, di PTUN Jakarta, Jalan Sentra Primer Baru Timur, Jakarta, Kamis (19/5).

Ia menegaskan dalam eksepsi yang diajukannya di persidangan konsisten dengan jawaban pada persidangan sebelumnya. Dasar hukum penerbitan izin pulau tersebut mengacu pada Pasal 4 Keputusan Presiden Nomor 52 Tahun 1995 tentang Reklamasi Pantai Utara Jakarta. Aturan ini terbit dalam rangka keperluan pengembangan kawasan di pantai utara Jakarta.

Dalam Pasal 4 Keputusan Presiden Nomor 52 Tahun 1995 ini dengan tegas menyatakan bahwa wewenang dan tanggung jawab reklamasi pantai utara Jakarta berada pada Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Dijelaskan pula pengaturan wilayah reklamasi yang meliputi bagian perairan laut Jakarta yang diukur dari garis pantai utara Jakarta secara tegak lurus sampai garis yang menghubungkan titik-titik terluar yang menunjukkan kedalaman laut delapan meter.

Aturan yang dikeluarkan oleh Presiden Soeharto pada 13 Juli 1995 itu juga mengatur pembentukan Badan Pengendali yang bertugas mengendalikan perencanaan, pelaksanaan, dan pengelolaan serta penataan kawasan pantura yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden. Dalam Pasal 9 Ayat (1) dinyatakan bahwa areal hasil reklamasi pantai utara diberikan status hak pengelolaan kepada Pemerintah DKI Jakarta.

Sekadar mengingatkan, pada era Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso, Keppres Nomor 52 Tahun 1995, ditindaklanjuti dengan membuat aturan teknis terkait reklamasi di pantai utara Jakarta. Bentuknya Kepgub Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 138 Tahun 2000 Tentang Tata Cara Penyelenggaraan Reklamasi Pantai Utara Jakarta. Aturan tersebut merinci teknis pelaksanaan reklamasi mulai tahap perencanaan hingga perjanjian pengembangan. Aturan ini juga sebagai aturan yang merinci tentang Badan Pelaksana Reklamasi Pantura yang diatur dalam Peraturan Daerah DKI Jakarta Nomor 8 Tahun 1995 Tentang Penyelenggaraan Reklamasi dan Rencana Tata Ruang Kawasan Pantura Jakarta.

Sementara dasar hukum penggugat yang menyatakan Gubernur DKI tak berhak lagi mengeluarkan izin berdasarkan Perpres Nomor 54 Tahun 2008 Tentang Penataan Ruang Kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, Cianjur dibantah Nadia. Dalam Pasal 72 Ketentuan Perailhan Perpres Nomor 54Tahun 2008, dinyatakan bahwa Keppres Nomor 52 Tahun 1995 tidak belaku sepanjang terkait dengan penataan ruang.

Ia menjelaskan Pasal 72 Peraturan Presiden Nomor 54 tersebut bukan mencabut semua materi dalam Keputusan Presiden Nomor 52 Tahun 1995 sehingga izinnya tetap melekat pada pemerintah daerah, bukan pemerintah pusat.

Selain itu, Nadia juga menegaskan bahwa rencana pemerintah untuk melakukan moratorium tidak berdampak pada reklamasi. "Tidak ada pengaruhnya moratorium. Kami jalan terus,"ujarnya.

Namun Nadia menyayangkan proses hukum yang sedang berlangsung di PTUN sering dikaitkan dengan kasus korupsi yang sedang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dia menyatakan proses hukum di PTUN hanya memeriksa administrasinya dan tidak ada kaitannya dengan kasus reklamasi lainnya.

"Menyayangkan gugatan selalu dikait-kaitkan dengan dengan kasus lain. Itu beda lah," ungkap Nadia.

Untuk mendukung dupliknya, Nadia mengatakan telah menyiapkan bukti-bukti yang akan diajukan dalam persidangan. Namun Nadia tidak membeberkan bukti apa saja yang akan diajukannya nanti pada persidangan selanjutnya. "Udah siap bukti untuk itu, tapi nantilah,"kata Nadia.

HENTIKAN REKLAMASI - Kuasa hukum penggugat, Martin Hadiwinata, Ketua Bidang Pengembangan Hukum dan Pembelaan Nelayan Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI), menyatakan sebaiknya pembangunan pulau reklamasi dihentikan saja. Menurutnya, sejauh ini telah terlihat pelanggaran administrasi dalam pembangunan pulau reklamasi khususnya Pulau F, I dan K.

"Seharusnya tidak ada pembangunan lagi. Dihentikan saja dan dicabut izinnya," ujar Martin saat dihubungi via telepon selularnya.

Keterangan Pemrov DKI soal Analisa Dampak Lingkungan (Amdal) yang telah terpenuhi dan dijadikan dasar pemberian izin juga dikritik Marthin. Menurutnya pemberian izin reklamasi bukan hanya bersandar pada Amdal semata, perlu kajian yang lebih luas cakupannya. Sesuai Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) Amdal reklamasi tidak boleh dibuat secara parsial karena harus mempertimbangkan pengaruh yang lebih komprehensif. Sejauh ini, izin Pulau reklamasi hanya mendasarkan pada Amdal per Pulau.

Penggugat tiga izin tersebut adalah Koalisi Selamatkan Teluk Jakarta. Perkumpulan itu terdiri dari sejumlah organisasi seperti Wahana Lingkungan Hidup (WALHI), Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara), KNTI, dan Lembaga Bantuan Hukum Jakarta.

Keputusan hukum yang mereka persoalkan adalah Surat Keputusan Gubernur DKI Jakarta tentang pemberian izin pelaksanaan reklamasi, masing-masing bernomor 2268/2015 (Pulau F kepada PT Jakarta Propertindo), 2269/2015 (Pulau I kepada PT Jaladri Kartika Pakci) dan 2485/2015 (Pulau K kepada PT Pembangunan Jaya). SK pemberian izin reklamasi Pulai F dan I terbit 22 Oktober 2015, sementara SK untuk Pulau K muncul pada 17 November 2015.

Martin menuturkan, Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama mengeluarkan SK tersebut secara diam-diam tanpa tidak melibatkan warga setempat.

Menurut para penggugat, Pemprov DKI Jakarta tidak berwenang mengeluarkan izin reklamasi di Jakarta Utara. Martin mengatakan, daerah tersebut merupakan kawasan strategis nasional yang masuk ke ranah pemerintah pusat. Mengutip Undang-Undang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, ujar Martin, penerbitan izin reklamasi harus didasarkan kepada peraturan daerah yang mengatur zonasi. Sampai saat ini, menurut para penggugat, Pemprov dan DPRD DKI Jakarta belum membuat peraturan daerah tersebut.

BACA JUGA: